KETIDAKWAJARAN ITU MENJADI KEWAJARAN

Tercatat resmi per hari ini jumlah korban jiwa Tragedi Kanjuruhan berjumlah 134. Jumlah yang tidak bisa dikatakan sedikit untuk sebuah tragedi yang sebenarnya sangat bisa dicegah. Di lain pihak, rekomendasi TGIPF yang dipimpin oleh Pak Mahfud MD tidak diindahkan oleh PSSI sebagai Federasi Sepak Bola di Indonesia. Proses pengusutan pelanggaran Tragedi Kanjuruhan pun berjalan sangat lambat.

Industri sepak bola modern memang berorientasi pada bisnis. Jangankan Liga 1 di Indonesia, Piala Dunia yang akan dihelat bulan depan di Qatar pun demikian. Sialnya kita sebagai supporter hanya dijadikan konsumen bagi para pelaku industri sepakbola. Mungkin, jika pada akhirnya sepakbola menjadi tontonan yang menghibur, bagi supporter tidak masalah jika harus mengeluarkan sejumlah uang demi menikmati atmosfer kegembiraan dalam menyaksikan sebuah pertandingan sepakbola. Bahkan, meski sekadar menonton dari layar kaca. Seperti kita kebanyakan saat ini.

Bagi kita yang menikmati tayangan sepakbola Eropa, misalnya, tidak akan merasa rugi mengeluarkan uang untuk berlangganan tayangan pertandingan sepakbola Eropa itu. Karena, memang ada beberapa hal yang membuat kita memutuskan melakukan hal itu. Ada jaminan pertandingan sepakbola yang menarik untuk ditonton. Ada drama pertandingan yang selalu menarik buat diikuti. Ada atmosfer yang dibangun dengan baik sehingga pertandingan sepakbola terasa sah-sah saja jika kemudian menjadi sebuah industri. Jika sepakbola diatur oleh manajemen yang baik, maka akan menghasilkan output yang baik juga. Sayangnya, hal itu tidak kita lihat di Indonesia.

Sepakbola di Indonesia adalah olahraga rakyat. Mbah Nun pada sekitar 30 tahun silam, dalam tulisan “Sepakbola Kultural” sudah menggambarkan dengan jelas bagaimana sepakbola sebagai industri adalah sebuah keniscayaan yang akan dihadapi oleh penduduk dunia. Dalam tulisan itu, Mbah Nun membedakan 2 jenis sepak bola; sepakbola agraris dan sepakbola industrial.

Indonesia secara kultur adalah bangsa yang paling kompatibel untuk menerapkan sepakbola agraris. Secara normal, para pemain sepakbola memerlukan bakat alami, intuisi dan insting. Dengan modal itu saja sudah cukup untuk kemudian menghidupkan dunia sepakbola di Indonesia. Tujuan utamanya adalah olahraga. Bertanding sepakbola atas dasar keakraban, persahabatan, kekeluargaan. Tapi tentu saja sepakbola agraris tidak akan menghasilkan talenta-talenta yang mampu mencapai limitnya untuk menjadi pemain sepakbola professional.

Maka industri sepak bola adalah hal yang mutlak dibutuhkan untuk pengelolaan sepakbola secara profesional. Yang seharusnya dilakukan PSSI sebagai federasi sepakbola di Indonesia. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan dengan baik. 

Apa yang terlihat dari Tragedi Kanjuruhan sampai hari ini adalah cerminan pengelolaan sepakbola kita yang sesungguhnya. Ada banyak hal yang tidak wajar kemudian dianggap wajar dan biasa-biasa saja, kemudian semua itu akan berlalu dengan sendirinya. Kita tidak bisa menafikan fakta bahwa sebagai masyarakat Indonesia kita adalah sebuah kumpulan orang yang memang mudah melupakan. Sehingga, bagi sebagian pihak, sifat mudah melupakan ini yang kemudian menjadi bantalan untuk menormalisasi hal-hal yang tidak normal. Dan ini yang juga kita lihat dalam Tragedi Kanjuruhan ini.

Adalah hal yang wajar jika Presiden FIFA datang ke Indonesia, lalu mengajak pengurus PSSI untuk bermain bola dalam rangka menyambut tamu jauh. Tentu akan aneh kalau Presiden FIFA disambut dengan mengadakan acara lempar lembing bersama pengurus PSSI. Meskipun dalam soal lempar-melempar tanggung jawab mereka sudah sangat ahli.

Adalah hal yang wajar jika kemudian Pengurus PSSI bersikukuh untuk tidak mundur meskipun sudah didesak oleh banyak pihak untuk mundur. Dan sesuatu yang wajar pula ketika mereka beralasan mereka ingin bertanggung jawab atas peristiwa di Kanjuruhan ini dengan cara mereka melanjutkan kepengurusan mereka dan berjanji akan memperbaiki pengelolaan sepakbola di Indonesia. Wajar kan kalau mereka berjanji?

134 nyawa yang menjadi korban di Kanjuruhan ternyata memang tidak cukup untuk menyatakan bahwa sepakbola di Indonesia ini tidak wajar. Karena para stakeholder sepakbola di Indonesia pun membela diri bahwa mereka sudah melakukan hal-hal yang seharusnya mereka lakukan. Bukankah itu adalah sesuatu yang wajar?

PSSI bersama PT LIB dan juga Panitia Pelaksana pun merasa baik-baik saja dengan tidak mengindahkan saran untuk memindahkan jam pertandingan ke sore hari. Mempertimbangkan rating televisi dan juga perhitungan industrinya sendiri. Hal yang wajar bukan?

Pihak kepolisian pun merasa tidak bersalah dengan sejumlah gas air mata yang menurut mereka adalah bagian dari prosedur pegamanan kerumunan massa di stadion sepakbola. Bahkan mereka merasa tidak bersalah dengan tembakan gas air mata itu, karena mereka beranggapan sebuah kerumunan massa jika ditembaki gas air mata, mereka akan berlari menyebar dan membubarkan diri dari kerumunan massa. Bukankah itu hal yang wajar?

Kita memang semakin terbiasa untuk berekpektasi terlalu tinggi, sehingga kemudian saat harapan kita itu tidak terwujud, kita tidak putus asa untuk kembali berharap. Antara tidak kapok dan tangguh, menjadi tidak jelas mana yang pantas untuk menggambarkan diri kita sesungguhnya. Apa perlu kata tangguh dalam KBBI perlu direvisi agar kita tidak salah memaknainya.

Mungkin memang hanya kita yang menganggap serangkaian peristiwa di Kanjuruhan adalah hal yang tidak wajar. Karena mungkin yang berlaku di Indonesia ini, sesuatu yang tidak wajar itu justru merupakan sebuah kewajaran.

Lihat juga

Back to top button