KESATRIA KHIDIR, BANGKIT!
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya Edisi Agustus 2024)
Nabi Khidir a.s., ketika nama ini disebut, imaji kita terpancang pada adegan yang melekat kuat di ingatan. Saat mana beliau mengajak Nabi Musa a.s. berjalan-jalan melintasi kawasan laut dan daratan. Di sepanjang perjalanan, terjadi tiga peristiwa yang cukup menggoyahkan keyakinan yang selama ini digenggam Nabi yang pernah mengenyam gelimang kenikmatan istana Firaun. Meski kemudian, karena ketidakmampuan menyembunyikan aspek keawamannya, nabi Musa bertanya dan nabi Khidir a.s. menjawab hal ihwal apa yang dilakukannya.
Sebagai sosok misterius yang tersembunyi dalam lipatan sejarah dan spiritualitas Islam, Nabi Khidir telah lama menjadi simbol pengetahuan rahasia yang melampaui logika manusia. Dalam pertemuannya dengan Nabi Musa tersebut, Khidir menunjukkan bahwa tidak semua yang tampak buruk atau tidak masuk akal di mata manusia, benar-benar demikian dalam kebijaksanaan Ilahi. Kisah ini bukan sekadar cerita, tetapi sebuah pengingat tentang betapa terbatasnya pemahaman kita terhadap takdir dan keputusan Allah.
Dalam perbincangan kali ini, kita akan mengkomparasikan nilai-nilai yang diwakili oleh Khidir dengan realitas Indonesia serta nilai-nilai Maiyah. Ketiga elemen ini: nilai-nilai yang dibawa oleh Nabi Khidir, glosarium kebajikan yang dititipkan Allah swt kepada Mbah Nun serta realitas yang dalam keseharian keindonesiaan yang lalu lalang di depan mata kita, dapat kita sikapi melalui perspektif spiritual yang holistik.
Sebagai ”kesatria” yang bertindak atas perintah langsung dari Allah, Khidir menjadi representasi dari keberanian untuk menjalankan kebenaran, bahkan ketika itu bertentangan dengan norma-norma umum. la adalah sosok yang melawan arus, bukan karena keinginannya sendiri, tetapi karena ia memegang kunci pengetahuan yang tak terjangkau oleh pikiran biasa. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh logika dan rasionalitas, Khidir mengajarkan kita untuk melepaskan keterikatan pada pemahaman yang dangkal dan membuka diri pada hikmah yang lebih tinggi.
Khidir, dalam kisah Al-Quran, adalah simbol dari kebijaksanaan Ilahi yang melampaui pemahaman manusia. la bertindak berdasarkan pengetahuan yang diberikan langsung oleh Allah, yang sering kali tidak dapat dipahami oleh logika manusia biasa. Tindakannya, tampak tidak rasional atau bahkan tidak adil pada awalnya, namun pada akhirnya terbukti sebagai tindakan yang membawa kebaikan. Ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati sering kali tersembunyi di balik tindakan yang tidak langsung terlihat sebagai “baik” atau “benar” oleh standar manusia.
Ketika pembicaraan kita arahkan ke butir-butir inti Maiyah sebagai sebuah metode hidup yang menurut Mbah Nun dan kita yakini bukan berasal dari beliau melainkan langsung dari Allah Swt., hal pertama adalah kesadaran akan adanya kesamaan dengan apa yang telah diguratkan oleh Nabi Khidir a.s.
Meski tidak bisa disejajarkan dengan sekian banyak mobilisasi massa dan ideologis yang pernah kita kenal, sebagai sebuah gerakan, Maiyah adalah gerakan spiritual dan sosial yang menekankan pada kesadaran kolektif, kebersamaan, dan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Maiyah mendorong kita untuk tidak hanya melihat dunia dari permukaan, tetapi juga untuk menyelami makna di balik setiap peristiwa dan fenomena.
Seperti yang kita endapkan betul dari olah batin dan pemikiran selama ini, hanya di Maiyah saja nilai-nilai seperti keterbukaan hati, ketulusan, dan keikhlasan menjadi kunci untuk memahami dan menghadapi realitas kehidupan. Jajaran kata-kata itu adalah seperangkat nilai yang telah sekian lama—oleh usikan eksternal maupun kejumudan internal—abai atau justru menguap dari khasanah dan bekal kehidupan.
Sekarang mari kita alihkan fokus pada kenyataan yang telah menjadi “sega jangan” dalam hari-hari hidup di tanah air. Pada negara dimana kita adalah pemilik sah dan kian terasa menjadi rakyat tiri, yang 79 tahun usianya kita peringati di bulan ini, banyak catatan bertinta merah bis akita tuliskan. Keputusan dan aturan yang lebih berpihak pada pemilik modal, gaya hidup dan aksi eksebisionis para petinggi dimana tak mereka kenal lagi suba sita dan empati. Perampokan sumber daya alam seolah taka da lagi hari nanti serta penghambaan kepada pihak manapun di luar negeri yang mampu memberi keuntungan bagi pundi-pundi pribadi serta modifikasi aturan perundang-undangan hanya untuk kepentingan anak-cucu dan para kroni adalah catatan nyata yang masih kita temui.
Untuk lebih menggarisbawahi peran dan kehadirannya sebagai sebuah spirit, kita sebut Nabi Khidir sebagai Kesatria Khidir. Dengan kata ini, kita lebih leluasa untuk menjadikannya sebagai satu predikat kepada orang-orang yang pantas untuk menerimanya. Di forum rutinan kita Agustus 2024 ini, marilah kita diskusikan ketiga nilai tersebut di atas. Tak kalah penting, di tengah atmosfir persaudaraan dan kegembiraan, mari lambungkan ke langit jutaan pengharapan semua dari kita akan segera bangkitnya Kesatria Khidir!
(Redaksi Bangbang Wetan)