INNALLAHA MA’ANA INNALLAHA ROBBUNA

(Liputan Tawahshsulan JM Malang Raya Edisi ke 22. Rabu, 29 November 2023 di Rumah Maiyah Al-Manhal Malang)

Rabu, 29 November 2023. Malang Raya yang biasanya sore hari diguyur hujan sampai malam, hari itu cuaca cukup cerah dengan angin sepoi yang menyejukkan. Sejuknya menambah suasana kemesraan para penggiat Rumah Maiyah Al-Manhal yang mulai sore bersiap menyiapkan acara dari mbeber kloso; menyiapkan logistik dan mengecek sound system.

Penyelenggaraan Tawashshulan dari edisi pertama sampai yang terakhir, JM Malang Raya memiliki ciri khas tidak menambah rangkaian acara setelah pembacaan Tawashshul selain ramah tamah sederhana antar jamaah. Berbeda dengan edisi ke 22, para penggiat mencoba formula baru dengan mengundang narasumber yang berasal bukan orang Maiyah atau JM untuk hadir membersamai. “Selain bertawasul, adanya narsum ini akan memperkaya kita (JM) melihat orang luar memandang sosok guru kita, Mbah Nun. Selain itu, tentu ini menjadi momen  kangen kita semua kepada Mbah Nun”, ujar Cak Kaji Haris selaku pemandu acara.

Pra acara, Cak Kaji Haris membukanya dengan menanyakan kabar para jamaah yang datang. Dari menanyakan kabar, aktivitas dan persinggungan mereka dengan Maiyah atau Rumah Maiyah Al-Manhal bagi jamaah yang pertama kali ikut melingkar.

Mas Jujut yang sudah sering hadir di kegiatan Rumah Maiyah Al-Manhal, membawa rekan-rekannya dari Teater Bangkit, FKIP UNISMA Malang. Mas Jujut bercerita bersama Teater Bangkit berencana menampilkan drama dengan mengangkat naskah Perahu Retak karangan Mbah Nun di UNISMA. “Saya sengaja memilih naskah ini karena mengangkat isu demokrasi, kemanusiaan dan hubungan antar manusia yang beragam”, ujar Mas Jujut.

Lihat juga

Sebelum microphone berpindah ke jamaah yang lain, Cak Kaji Haris meminta Mas Jujut dan team untuk mendialogkan potongan dialog di drama Perahu Retak. Dipilihlah dialog antara Syech Jangkung dengan Raden Mas Kalong, muridnya.

JANGKUNG : Itu pernyataan besar, Kalong. Sampai beberapa abad mendatang sejarah tetap saja berputar-putar dalam rahasia yang terkandung di balik kalimatmu itu. Tapi aku ingin bertanya dulu, apakah Pangeran Benowo itu kalah?

KALONG : Mengalah, untuk akhirnya sungguh-sungguh kalah. Bungkam, untuk akhirnya benar-benar tenggelam.

JANGKUNG : Hati-hati mengucapkan kata, Kalong. Pada suatu hari kau bisa dipermalukan oleh jarak yang terentang antara ucapan mulutmu, dengan hatimu, dengan pikiran dan kenyataan hidupmu.

KALONG : Maka aku belajar untuk utuh, Guru.

JANGKUNG : Padahal kau datang kepadaku untuk belajar berkelahi.

KALONG : Tidak, Guru. Belajar mempertahankan diri.

Potongan dialog tersebut mendapatkan tepuk tangan meriah dari jamaah yang datang.

Perahu Retak bercerita tentang perselisihan antara kaum warok dan santri di awal berdirinya Kerajaan Mataram. Kaum warok mewakili tradisi Jawa yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, sedangkan kaum santri mewakili agama Islam yang baru datang ke Jawa.

Kisah dimulai dengan pertemuan antara dua tokoh utama, yaitu Kalong dan Jangka. Kalong adalah seorang pemuda warok yang kecewa dengan Panembahan Senopati, raja Mataram yang juga seorang santri. Ia merasa bahwa Panembahan Senopati tidak memenuhi harapan rakyat, terutama kaum warok.

Sementara itu, Jangka adalah seorang guru spiritual yang berusaha untuk mendamaikan kedua kelompok yang berselisih. Ia percaya bahwa kedua kelompok tersebut dapat hidup berdampingan secara harmonis, jika saja mereka mau saling memahami dan menghormati.

Naskah Perahu Retak sendiri terdiri dari 17 babak, dengan masing-masing babak terdiri dari beberapa adegan. Perahu Retak sudah dipentaskan di berbagai tempat di Indonesia. Naskah tersebut juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman.

Naskah Perahu Retak merupakan sebuah refleksi atas kondisi Indonesia saat ini. Kita dapat mengambil pelajaran dari lakon pada naskah tersebut, terutama tentang pentingnya toleransi dan dialog antarkelompok yang berbeda.

Memasuki inti acara, Cak Yasin mengajak semua jamaah yang hadir untuk menata hati dan pikirannya terlebih dahulu. Untuk ridho, menerima semua yang Allah berikan dan memaafkan orang-orang yang berbuat salah dan zalim kepada diri kita. Kemudian kemudi diambil alih oleh Cak Majid seraya mengajak para jamaah yang datang untuk fokus menyambungkan hati dan pikirannya ke Allah dan Nabi Muhammad SAW. Pembacaan Tawashshul sangat khusyuk, atmosfer itu semakin terasa saat suara terbang dari rekan-rekan Manunggaling Manah mengiringi bacaan sholawat yang dilantunkan para jamaah.

Selesai pembacaan Tawashshul para jamaah bersantai sejenak, meluruskan kaki seraya menikmati jadah pasar hasil sengkuyungan para jamaah. Seraya menikmati hidangan, Cak Kaji Haris mempersilahkan Pak Ahmad Yulianto untuk bisa maju ke depan.

Ini biar kita semakin akrab, saya panggil Mas Yuli saja ngeh. Monggo, kulo aturi pinarak teng ngajeng, Mas Yuli”, ujar Cak Kaji Haris seraya mempersilahkan untuk duduk di depan.

Keseharian Mas Ahmad Yulianto sebagai dosen di program studi Pendidikan Agama Islam, UIN Malang. Aktivitas di luar kampus, ia lalui dengan mengajar kitab-kitab kuning di banyak kelompok masyarakat di Malang. Malam itu, diundang datang ke rumah Maiyah Al-Manhal untuk berbagi tentang pandangannya melihat pemikiran Mbah Nun.

Pertama, saya melihat Cak Nun dari sisi innallaha Ma’ana”, ujar Mas Yuli selepas mengucap salam.

Dari kalimat itu, Mas Yuli memandang Cak Nun sebagai orang yang paling merdeka, cenderung bebas, dan tanpa terikat dari siapapun kecuali dengan Allah. Kalimat itu sudah mendarah daging ke Mbah Nun, sehingga beliau sangat berani mengatakan apa yang benar tanpa takut nama baiknya menjadi buruk di mata manusia. Mbah Nun sadar betul bahwa manusia tidak pernah sendirian dalam menghadapi kehidupan. Allah SWT selalu bersama dengan manusia, baik dalam suka maupun duka. Kehadiran Allah SWT ini memberikan kekuatan, bimbingan, dan ketenangan batin bagi beliau.

Dari sisi kemanusiaan, laku Mbah Nun dari dulu sudah mencerminkan innallaha Ma’ana, yaitu selalu saling menguatkan dan menolong. Ketika seseorang sedang menghadapi kesulitan, Mbah Nun hadir untuk memberikan dukungan dan pertolongan. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong.

“Mbah Nun sudah bisa membebaskan rohaninya, beda dengan kita yang tidak lepas dari gila duniawi; jabatan; omongan tetangga”, ujar Mas Yuli diiringi gelak tawa jamaah.  “Berbeda dengan Mbah Nun yang sudah membebaskan hal itu kecuali dengan Allah”, Mas Yuli melanjutkan.

Diskusi berjalan dengan santai, ramah dan penuh kemesraan. Tidak lama, Mas Yuli menutup sesi diskusi dengan menambahkan bahwa perjuangan Mbah Nun dari innallaha ma’ana menuju innallaha robbuna.

Innallaha Ma’ana memiliki arti, “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Kalimat ini merupakan penegasan akan kehadiran Allah SWT yang selalu bersama dengan hamba-Nya di setiap keadaan, baik dalam suka maupun duka. Sedangkan, Innallaha Robbuna: Artinya, “Sesungguhnya Allah adalah Tuhan kita.” Kalimat ini merupakan pengakuan akan keesaan dan kekuasaan Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam yang menciptakan, memelihara, dan mengatur seluruh makhluk.

“Innallaha Ma’ana Innallaha Robbuna” merupakan ungkapan keyakinan dan penyerahan diri seorang hamba kepada Allah SWT. Kalimat ini memberikan rasa tenang, damai, dan kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Sebab, dengan kalimat itu lah bentuk penyerahan utuh hamba kepada Tuhannya.

Jika melihat Mbah Nun, kita akan menemukan keindahan dalam proses pendekatan “muraqqabah” dan menerima kesaksian “musyahadah” beliau dengan Allah. Sikap “ihsan” yang berulang kali dicontohkan Mbah Nun. Secara sederhana sikap itu tergambar dalam satu kalimat: tidak menyembunyikan keburukannya sebagai manusia dan tidak menonjolkan superioritas dalam dirinya. “Itulah Ihsan dari Mbah Nun,” ungkap Mas Yuli.

Menyandarkan segala sesuatu bukan pada orang lain atau bahkan dirinya sendiri, melainkan segala kejadian berasal dari kekuatan Allah sebagai Rabb kita. Sehingga dengan keyakinan semacam itu kita mampu menerima “khoirihi wa wasyarrihi minallahi ta’ala.” Pada tahap selanjutnya akan mengakui dan mampu merasakan bahwa Allah bersama kita, “innallaha Ma’ana.”

Sebagai penutup acara, Cak Kaji Haris mengucapkan terima kasih banyak kepada para jamaah yang datang, khususnya ke Mas Yuli yang berkenan menyempatkan waktunya untuk berbagi dengan dulur-dulur Jamaah Maiyah Malang Raya.

Dulur-dulur, apa yang disampaikan Mas Yuli tadi, silahkan direnungkan dan disimpulkan sendiri di rumah. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada guru, ayah dan marja’ kita semua, Emha Ainun Nadjib. Semoga beliau diberikan kesehatan untuk melanjutkan perjuangan”, ujar Cak Kaji Haris.

(Redaksi Rumah Maiyah Al-Manhal)

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button