MENCARI CAHAYA DI TENGAH KEGELAPAN

(Reportase Tawashshulan JM Malang Raya Edisi ke 23  di Rumah Maiyah Al-Manhal Malang. Jumat, 29 Desember 2023) 

Di tengah anomali cuaca kota Malang, serta situasi sosial politik yang gelap dan syarat dengan kebencian dan hoax, para JM Malang Raya tetap istiqomah mencari cahaya dan cinta dari Allah dan Rasul-Nya. Para JM melingkar ber-Tawashshulan sebagai sebuah sikap mengemis (nyuwun paring-paring) kepada Allah dengan melantunkan shalawat dan doa-doa. Tawashshulan sendiri bukanlah sebuah ritual syariat, melainkan sebuah ijtihad hati, jiwa, dan akal manusia untuk mendekatkan diri pada Allah dan Rasulullah.

Tawashshulan JM Malang Raya sudah berlangsung sejak Maret 2022, dan pada Jum’at, 29 Desember 2023 masuk edisi yang ke 23. Acara ini diadakan di Rumah Maiyah Al-Manhal Malang, sebuah rumah peninggalan Mbah Fuad yang dijadikan kegiatan berbagai simpul Maiyah di kota Malang. 

Sebelum memasuki acara, Cak Kaji Haris membukanya dengan menanyakan kabar para jamaah yang datang. Dari menanyakan kabar, aktivitas dan persinggungan mereka dengan Maiyah atau Rumah Maiyah Al–Manhal bagi jamaah yang pertama kali ikut melingkar. 

Edisi malam ini, kita buka dengan pembacaan Surat Yasin yang akan dipandu oleh Cak Bagong, kita khususkan untuk Almarhumah Ibu dari Mas Ali Haris dan permohonan do’a dari donatur pembangunan Rumah Maiyah Al–Manhal Malang serta seluruh keluarga kita yang telah berpulang mendahului kita. Selain itu, kita hadiahkan berkah dari surat Al-Fatihah untuk Ayah, Guru, Marja’ kita, Mbah Nun dan Mbah Mif yang sakit agar lekas sembuh dan meneruskan perjuangan”, ujar Cak Kaji Haris.

Memasuki inti acara, Cak Yasin sebagai pemandu jamaah membaca tawashul, mengajak semua jamaah yang hadir untuk menata hati dan pikirannya terlebih dahulu. Untuk ridho, menerima semua yang Allah berikan dan memaafkan orang-orang yang berbuat salah dan zalim kepada diri kita. Pembacaan Tawashshul sampai selesai berlangsung dengan khidmat terutama saat mahalul qiyam. 

Lihat juga

Setelah pembacaan teks Tawashshulan, acara dilanjutkan dengan sesi membedah jalan pemikiran Cak Nun. Sesi ini merupakan bagian dari rangkaian tema yang diusung oleh para penggiat untuk mengenal lebih dalam sosok Mbah Nun. Pada edisi ini, penggiat mengundang Khalid Rahman, S.Pd.,M.Pd.I, seorang pengajar di FILKOM Universitas Brawijaya, sebagai orang di luar Maiyah atau JM untuk berbagi pandangannya tentang Mbah Nun.

Sebelum dimulai, para jamaah bersantai sejenak sambil menikmati polo pendem. Kemudian Cak Kaji Haris mempersilahkan Mas Kholid untuk bergabung di depan sambil menikmati hidangan.

Biasa dipanggil Khalid. Seorang pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang. Ia mengaku pertama kali bertemu dengan Mbah Nun saat di Ponpes Kyai Ngabehi Agus Sunyoto, Pakis, Malang. Kesan pertama saat bertemu, ia menilai bahwa Mbah Nun orangnya tidak mau istirahat. 

“Bertemu setelah ashar, setelah mengisi acara tidak mau istirahat di hotel, padahal sudah disiapkan. Katanya mau ketemu temannya di Desa Mangliawan Malang”. Ujar Mas Khalid.

Mas Khalid Rahman yang dari awal hadir mengikuti jalannya acara mengawali paparannya dengan mengajak jamaah yang hadir membaca Surat Al-fatihah dan mengirimkan keberkahan untuk kesembuhan Mbah Nun agar bisa menemani kita kembali. 

Kebetulan mas Khalid mengikuti acara dari awal. Ia mengaku ada wirid yang menurutnya tidak ada di wirid yang lain, yaitu Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi jasadi; Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi qolbi; Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi ruhi & Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi  hayati. 

Itu sangat indah, sepengetahuan saya itu tidak ada di wirid lain, wirid Robbana dst tadi mengajarkan kita untuk meneladani sifat Rasulullah”, ucap Mas Khalid.

Upaya Tawashshulan Maiyah ranahnya adalah ijtihad, bukan syariat Islam. Tidak ada perintah langsung dari Allah atau Rasulullah. Yang selama ini dilakukan merupakan upaya hati, jiwa dan akal manusia mendekatkan diri pada Allah dan Rasulullah. Termasuk ibadah ghoiru mahdhah atau muamalah, bukan kewajiban syar’i. Hanya ungkapan kerinduan makhluk pada Sang Khaliq seperti tradisi “Tahlilan” yang sudah dilakukan umat Islam.

Mas Khalid juga berpendapat perihal Tawashshul memang masih masuk di wilayah khilafiyah. Tawashshulan yang barusan dibaca oleh para JM, sandarannya langsung kepada Allah dan Rasulullah. Namun, ada juga tawashshul yang bersandar orang sholeh atau amal sholehnya. 

Seperti halnya kisah Ashabul Kahfi, tujuh pemuda yang tertidur di dalam gua selama 309 tahun untuk menyelamatkan iman mereka dari kezaliman Raja Dikyanus. Dalam kisah tersebut, mereka bertawasul kepada Allah dengan amal sholeh yang telah mereka lakukan. Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita boleh bertawasul dengan orang sholeh yang masih hidup atau yang telah meninggal? Mas Khalid menjawab, “Boleh, dan itu dicontohkan lewat doa setelah adzan (Muhammad sebagai wasilah), yang mencontohkan langsung Rasulullah sendiri”, jawab Mas Khalid.

“Susunan tawashshul yang ada ini, dibuat sangat hati-hati karena apa yang terkandung di dalamnya langsung bersandar kepada Allah dan Rasulullah”, – lanjut Mas Khalid seraya membolak-balikan buku Tawashshsulan Maiyah.

Mas Khallid juga mengapresiasi Mbah Nun sebagai orang yang berani dan jujur. Kita bisa meniru sosoknya yang selalu konsisten. Tidak segan bicara mana yang Haq dan batil, melawan ketidakadilan, dan senantiasa bersama masyarakat lemah. Semua itu bukan tanpa alasan.

“Keberanian Mbah Nun tidak dibentuk oleh pendidikan, budaya, dan kondisi sosial saja. Ada dalam darahnya mengalir gen yang baik, terutama dari lokasi lahir. Kemudian, ditempa oleh kondisi zaman, merespons dari ketidakadilan, lingkungan, dan kezaliman. Kemudian, diteriakkan lewat jalur budaya, agama, musik, menyusun dzikir, dan sebagainya.” – Ujar Mas Khalid, yang juga alumni Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang.

Perihal Mas Khalid yang berpendapat tempat lahirnya Mbah Nun, yaitu Jombang, memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakternya yang kuat dan visioner. Jombang sendiri adalah salah satu daerah yang pernah menjadi bagian dari kerajaan Majapahit, kerajaan besar yang menguasai hampir seluruh Nusantara pada abad ke-13 hingga ke-16. Selain itu, Jombang juga merupakan salah satu pusat pondok pesantren di Jawa, yang melahirkan banyak tokoh nasional, seperti Gus Dur dan Cak Nur. Dengan latar belakang sejarah dan budaya yang kaya itu, tidak heran jika Mbah Nun tumbuh menjadi sosok yang berwawasan luas dan berjiwa besar.

Sesi membedah jalan pemikiran Cak Nun berlangsung selama sekitar satu jam. Jamaah berkesempatan untuk menggali pemikiran Mbah Nun bersama Mas Khalid. Sebagai akademisi, Mas Khalid memberikan penilaian terhadap karya-karya Mbah Nun yang meliputi buku, drama, dan musik. Jamaah juga menanyakan tentang sanad ilmu dan Gen Nusantara yang berkaitan dengan Mbah Nun. Mas Khalid memberikan jawaban yang tegas dan jelas, serta menyertakan pandangan dan referensi yang sesuai. Ia juga mengutarakan pendapatnya tentang karya-karya Mbah Nun.

Karya Mbah Nun tulisannya berani, masuknya karya ilmiah populer. Berbeda dengan di dunia akademik yang terstandar, ada hipotesis, teori dan analisis ilmiah. Karyanya keluar dari pakem dunia akademik. Karyanya Mbah Nun adalah karya bebas”, Mas Khalid

Tercatat sudah 50 buku dan 6 naskah drama yang terbit dan semuanya di luar pakem, Mbah Nun terobos itu semua. “Mbah Nun menulis bukan karena tuntutan, murni karena ingin membuat umat yang maslahat”,  lanjut Mas Khalid 

Apa yang Mbah Nun tulis tidak hanya tentang hal-hal yang bersifat teoritik, melainkan juga tentang hal-hal yang aktual dan relevan dengan kondisi masyarakat. Sebagai pembaca kita dapat melihat karakter Mbah Nun lewat tulisan-tulisannya, menjadi seorang yang kritis dan kreatif, yang selalu mencari solusi dan alternatif untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh umat masyarakat.

Sebelum acara dipungkasi, Mas Khalid menyampaikan jika semakin banyak orang bermaksiat. Ada orang khos (sebutan untuk orang tertentu yang dianggap wali atau menurunkan salah satu sifat rasulullah yakni memikirkan keselamatan orang banyak) menanggung beban dari apa yang mereka buat. Harusnya, JM mengambil bagian untuk mengurangi hal tersebut dengan ikut menyebarkan apa yang selama ini diajarkan dan Mbah Nun lakukan.

Al-ulama’ waratsatul anbiya` guru-guru kita adalah pewaris para nabi. Sehingga sangat bersungguh-sungguh dalam memikirkan keselamatan orang banyak di atas keselamatan dirinya sendiri. Tidak heran jika Nabi diberi gelar oleh Allah harish (orang yang bersungguh-sungguh) dalam salah satu ayat yang sering diijazahkan oleh Mbah Nun : laqad jaakum rasulun min anfusikum ‘azizun ‘alaihima ‘anittum harishun ‘alaikum bil mu’minina raufur rahiim. Sebutan khos (khusus) dalam sejarahnya pertama kali populer karena digunakan oleh Gus Dur dalam salah satu bukunya yang berjudul Kyai Khos: ulama yang dianggap punya kemampuan spiritual khusus.

“Orang-orang khos seperti Mbah Nun, menghindari dikultuskan oleh orang-orang. Oleh karena itu, tawashshsulnya langsung ke Allah dan Rasulullah. Mbah Nun adalah orang yang tercerahkan,” tutup Mas Khalid.

Acara Tawashshulan JM Malang Raya edisi ke 23 ditutup oleh Cak Kaji Haris. Ia mengucapkan terima kasih banyak kepada para jamaah yang datang, khususnya ke Mas Khalid yang berkenan menyempatkan waktunya untuk berbagi dengan dulur-dulur Jamaah Maiyah Malang Raya. 

Apa yang disampaikan Mas Khalid tadi semoga menambah kekayaan wacana dan cinta kita, monggo direnungkan dan disimpulkan sendiri di rumah. Tidak lupa, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada guru, ayah dan marja’ kita semua, Emha Ainun Nadjib. Semoga beliau diberikan kesehatan untuk melanjutkan perjuangan”, ujar Cak Kaji Haris.

(Redaksi Rumah Maiyah Al-Manhal)

 

Lihat juga

Back to top button