Tadabbur Hari ini (7), TAKBIRAN UNTUK NAN MAHA SENDIRIAN

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
(Al-Fatihah 1-5)

“Takbir” itu kosakata Bahasa Arab, kalau “Takbiran” itu Bahasa Indonesia, berasal tradisi budaya lisan rakyat Indonesia. Sama dengan Tahlil dan Tahlilan, Tawashshul dan Tawashshulan. Bahkan main “bal” dijadikan “Balbalan”.

Untuk menyiapkan tahap-tahap pemahaman berikutnya, harus dituturkan bahwa pada momentum Takbiran “Idul Fithrati” kemarin saya mengajak Jamaah Maiyah di Kenduri Cinta dll. untuk memaksimalkan kenikmatan Takbiran. Agar kalau sedang Takbiran akal pikirannya turut bekerja sehingga menambah mantap dan khusyuknya hati.

Yakni dengan cara menghayati maknanya. Pada kelengkapan teks Takbir:

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِـيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا لَا إلٰهَ إِلَّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ، لَا إلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لَا إلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ

Ada peneguhan 4 (empat) janji Allah. Kalimat “Shadaqa wa’dah, wa nashara ‘abdah, wa a’azza jundah, wa hazamal ahzaba wahdah”. (1). Allah bersungguh-sungguh dengan janji-Nya. (2) Allah menolong hamba-hamba-Nya. (3) Allah meninggikan derajat para prajurit-Nya. (4) Allah memporakporandakan semua musuh-musuh-Nya secara sendirian”.

Allah membereskan musuh-musuhnya “sorengan bae”, ijèn plèk. “Wa kana dzalika ‘alallahi yasira”. Dan itu amatlah mudah bagi-Nya. Allah Maha Single Fighter. Kita gak usah ikut, duduk-duduk saja makan lontong opor. Kalau ikut-ikut nanti malah mengganggu atau mampus sendiri.

“Lai ilaha illallahu wahdah”. Tidak ada tuhan selain Allah sendirian. Allah Maha Sendirian dalam keseluruhan arti dan kelengkapan makna. Karena sendirian, maka Ia tak terkait dengan siapapun dan tidak membutuhkan apapun maupun siapapun. Sehingga Ia juga tidak terikat oleh apapun.

Kalau kita terkait dengan Bapak dan Ibu, jasa beliau berdua membuat kita terikat untuk “birrul walidain”, berbuat baik kepada keduanya. Demikian juga semua manusia hidup pada posisi saling terkait di antara sesamanya, dengan alam serta dengan Allah sendiri. Pemerintah terikat kewajiban untuk benar dan adil atas jasa rakyat memilihnya. Demikian juga semua bentuk hubungan, keterkaitan, interaksi, inter-relasi, inter-dependensi dll. sebagai hakikat faktual dan riil eksistensi kehidupan manusia.

Lha Allah tidak berada pada posisi untuk harus benar, wajib baik, tidak boleh tidak adil dst. Tidak ada yang punya posisi atau apalagi kekuatan untuk mengikat-Nya. Allah Maha Berdaulat untuk mengkiamatkan, menghancur-leburkan bahkan meniadakan seluruh alam semesta dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya sekarang juga atau setengah jam lagi atau kapanpun saja Ia berminat untuk itu.

Tetapi Allah Maha Benar, Maha Baik, Maha Adil. Itu semua dorongannya bukan keterikatan dengan pihak lain. Melainkan demi dan karena diri-Nya sendiri.

Maka Allah itu “Maha Maliki yaumiddin”. Dan satu-satunya pilihan posisi, tanpa ada kemungkinan lain, pilihan kita hanyalah “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami mengemis pertolongan.

Emha Ainun Nadjib
5 Mei 2023.

Lihat juga

Back to top button