Tadabbur Hari ini (42)
YANG BERIMAN, MU’MINLAH, YANG KUFUR, KAFIRLAH

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)

Bahkan bumi ini dihuni secara “resmi” dalam pola persepsi hingga era modern — oleh ummat yang berbeda-beda: Ummat Islam, Ummat Kristiani, Ummat Budha, Ummat Hindu dan banyak lagi. Terlalu banyak polarisasi atau jarak antara “mereka” dengan “kita”. Bahkan ideologi berpikir ummat manusia sampai hari ini tidak pernah mampu menemukan “kita” tanpa menderetkan “mereka-mereka”. Sama-sama menimba pengetahuan dari langit pun petanya menjadi “kita” dan “mereka”. Belum lagi persaingan dan perebutan kekayaan bumi oleh kelompok-kelompok bangsa dan kumpulan-kumpulan perusahaan yang akhirnya melahirkan imperialisme, kolonialisme, dan penjajahan dengan seribu cara sampai hari ini. Dunia dipenuhi oleh banyak sekali ragam “kita” dan “mereka”.

Mungkin pada hakiki realitasnya kehidupan di dunia ini adalah peperangan. Bisa perang melawan diri sendiri, melawan nafsu di dalam masing-masing diri. Tapi yang paling tampak dalam kehidupan adalah peperangan antar golongan, kelompok, yang muncul dalam satu-satuan organisasi komunitas, masyarakat hingga Negara dan padatan ummat beragama.

Dengan ragam karakter kemasyarakatan dan kepentingan golongan-golongan seperti itu, maka kalau Allah menyebut “qital”, mungkin tidak harus berarti perang fisik, bentrok militer, bunuh-membunuh dan saling memusnahkan. Kehidupan kita sehari-hari yang kadang terasa aman dan nyaman-nyaman saja ini ternyata mengandung muatan dan nuansa peperangan. Perang pandangan, perang pikiran, perang pengambilan sikap, perang pemihakan, perang kita lawan mereka.

Hakiki dan riilnya, kehidupan manusia selalu berada dalam keadaan darurat perang tanpa henti.

Lihat juga

كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٞ لَّكُمۡۖ
وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ
وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Jadi “diwajibkan atas kamu berperang” mungkin maksudnya “kehidupan manusia diniscayakan penuh potensi dan realitas pertentangan atau persaingan atau perbenturan”. Pasti Allah bukan memerintahkan dan mewajibkan kita untuk memerangi, membunuh dan memusnahkan siapa-siapa yang kita simpulkan sebagai musuh kita atau musuh Allah menurut pandangan kita.

Kalimat berikutnya dalam ayat itu menegaskan relativitas pandangan manusia. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu”.

Sangat terang benderang betapa manusia harus selalu sangat berhati-hati dalam menilai dan menjalani segala sesuatu.

Silakan mensimulasikan rumus baku kehidupan manusia yang diumumkan oleh ayat ini tidak hanya berlangsung antar manusia. Juga mungkin antar sesama saudara dalam keluarga. Di antara suami dan istri. Antara komunitas di kampung. Antar ormas dalam kehidupan beragama skala nasional. Antar kelompok politik dalam kehidupan bernegara. Antar Negara di skala global. Dengan ribuan kasus, konteks, nuansa, gradasi dan presisi serta multi-variabelnya. Dan itulah sesungguhnya yang sudah, sedang, dan akan terus kita alami bersama.

Manusia di komunitas, masyarakat, bangsa atau padatan apapun, sungguh-sungguh harus merundingkan tatanan manajemen hubungan sosial untuk merespons hakikat realitas yang difirmankan oleh Allah dalam ayat di atas. Kemudian syukur ada kebersamaan untuk benar-benar meneguhkan kesadaran bahwa “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

Dan rasanya apa yang barusan saya tuturkan itu mustahil terjadi. Tidak bisa kita bayangkan ada Presiden, Menteri, Sidang Kabinet dan Rapat Parlemen, apalagi pertemuan Konglomerat, yang mendasari musyawarahnya dengan prinsip itu. Kalimat itu terdengar saja pun rasanya belum pernah kita alami.

Apalagi ini negara demokrasi. Al-Qur`an boleh tidak dipercaya, dan bahkan wajar tidak dipedulikan oleh teman-teman yang bukan Muslimin. Bahkan demi asas demokrasi setiap warga negara boleh tidak mempercayai Tuhan Allah. Berhak tidak mengakui ada-Nya, apalagi menjadikan firman-Nya sebagai acuan dan panduan utama kehidupannya, kehidupan masyarakat maupun kehidupan bernegara.

Mau apa kita. Apalagi Allah sendiri membukakan pintu demokrasi semesta selebar-lebarnya:

وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.(Al-Kahfi: 29)

Betapa tidak mudahnya menjalani nilai dalam hidup ini. Maka sikap ruku’ dan sujudadalah pembelajaran dan pelatihan sangat utama untuk menyelamatkan kehidupan. Sikap rendah hati di antara sesama manusia sangat kita perlukan. Tidak “kemeruh”, tidak “keminter”, tidak “seenak udelnya sendiri”, apalagi “asu gedhe menang kerahe”, “adigang adigung adiguna”.

Kenapa? Karena realitas mutlak hidup manusia ini “wallahu ya’lam wa antum la ta’lamun”. “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

Emha Ainun Nadjib
10 Juni 2023.

Lihat juga

Back to top button