SUMPAH PEMUDA YANG BERGELAYUT KEPENTINGAN
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Maiyah Dualapanan Bandar Lampung edisi Oktober 2023)
Penggambaran suatu objek tertentu selain ditentukan oleh suatu sudut atau titik tertentu yang menjadi titik awal untuk penggambaran maka faktor metode dan alat yang digunakan untuk menggambarkan suatu realita tertentu. Sama halnya ketika menggambarkan suatu bangsa yang bernama Indonesia maka dapat dilihat melalui angle atau sudut tertentu, ambil saja misalnya sudut sejarah mendekati akhir oktober 1928, yaitu suatu era yang mendorong kesadaran generasi muda terdidik ketika itu yang berasal dari berbagai latarbelakang daerah geografis, kesukuan, aliran kepercayaan dan juga organisasi untuk memetakanan realitas sejarah saat itu yang pada kesimpulannya mereka menemukan suatu kesepakatan bahwa yang mempertemukan konsensus bersama oleh anak bangsa yaitu, kesamaan tanah air, bangsa dan kesamaan bahasa perjuangan yang tertuang dalam Sumpah Pemuda :
KAMI PUTERA DAN PUTERI INDONESIA, MENGAKU BERTUMPAH DARAH SATU, TANAH AIR INDONESIA
KAMI PUTERA DAN PUTERI INDONESIA, MENGAKU BERBANGSA SATU, BANGSA INDONESIA
KAMI PUTERA DAN PUTERI INDONESIA, MENJUNJUNG TINGGI BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA
Tahun berganti tahun tak terasa 95 tahun peringatan momentum sejarah tersebut telah berlalu, selain mengambil hikmah perjuangan generasi pendahulu, tentu yang dapat dilakukan oleh adalah mengisi perjuangan bangsa berdasarkan kapasitas hari ini, namun jika ditanya bagaimana cara mengisinya ? maka tiap pibadi memiliki kadar jawaban yang berbeda, tak jadi soal bagaimana cara mengisi perjuangan tersebut yang terpenting adalah kesadaran tiap pribadi untuk merefleksikan nilai-nilai perjuangan generasi terdahuku dan memastikan ia terlibat dalam nafas perjuangan yang sama.
Perayaan tahun ini sedikit lain daripada yang lain terlebih jika ditarik ke masa depan pada tanggal 14 Febuari 2024 (109 hari lagi) yaitu momentum pesta demokrasi tiap periode yang sampai tanggal 25 oktober 2023 kemarin telah mendaftarkan diri 3 pasangan capres-cawapres, yaitu Anies-Imin, Ganjar-Mahfud, dan Prabowo-Gibran dengan narasi perjuangan masing-masing, namun yang menarik ketiga calon dipastikan membawa narasi untuk anak muda, sekali untuk anak muda. Artinya anak muda seakan menjadi objek yang disasar oleh ketiga calon tersebut untuk diyakinkan agar mau memilih mereka. Berdasarkan data yang dirilis oleh KPU dengan jumlah 204,8 juta daftar pemilh tetap pada pemilu 2024 kelak sekitar 114 juta orang Indonesia yang berhak memilih adalah mereka yang berusia dibawah 40 tahun atau sekitar 55.6 %, itulah sebabnya narasi anak muda menjadi keharusan bagi tiap pasangan calon untuk mendongkrak suara mereka.
Sebagai masyakarat yang tidak cawe-cawe bahkan tidak cukup memahami berbagai intrik yang terjadi yang diorkestrasi oleh para elite politik maka secara kebudayaan akan merepotkan interaksi sehari-hari. misalnya ketika seseorang menggunakan warna pakaian tertentu akan di identikkan oleh warna salah satu partai padahal boleh jadi hanya pakaian itu yang ia punya dan layak digunakan, atau ketika seseorang menggunakan peci, sarung, gamis atau pakaian tertentu maka akan di identikkan kepada ceruk suara pemilih tertentu padahal boleh jadi pakaian itu selama ini yang sering ia gunakan dan ia merasa nyaman menggunakannya. Atau juga misal dalam percakapan kita tidak lagi bisa menggunakan bahasa “saatnya yang muda”, “anak muda dong” atau apalah narasi muda lainnya karena akan diidentifikasi sebagai pemilih paslon yang berusia muda. Juga sulit bagi kita menggunakan bahasa sehari-hari misalnya “ayok dong buruan, janan lambar kita itu harus sat set sat set, harus gercep (gerak cepat)” karena akan diidentifikasi sebagai pemilih salah satu calon tertentu, bahkan sampai keranah privasi dalam berdoa sekalipun, bahkan sebagaian orang tidak lagi mengaminkan doa ketika ada yang memimpin doa namun diganti dengan Qabul, qabul, atau dipesankan untuk mengaminkan di dalam hati saja. Sungguh ironi sebenarnya, lantaran keterbatasan untuk memahami berbagai konteks atas fenomena yang berlangsung akhirnya menjadi bias menjadi keliru dalam banyak hal, yang dianggap timur ternyata barat yang dianggap selatan ternyata utara.
Nuansa semangat perjuangan pendiri bangsa yang seharusnya diperingati dengan hikmat malah dipenuhi oleh berbagai narasi kepentingan yang menghantui anak bangsa, tidak bisakah rakyat dibuat tenang saja dalam menjalani kehidupannya, lagi lagi rakyat yang menjadi korban berbagai intrik penguasa, karena semua perbuatan yang tidak baik bermula pada awalnya dengan narasi yang baik. Atas nama rakyat, siap berjuang untuk rakyat, siap kerja jungkir balik demi rakyat, seakan-akan mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka sebut rakyat itu sebenarnya tidak mempercayai narasi-narasi tersebut yang menjamur ketika musim pemilihan saja, tapi ketika musim berlalu mereka menghilang ntah kemana rimbanya.
Maka sebagai anak cucu maiyah yang senantiasa melatih diri, mengasah kepekaan dan sambung rasa persaudaran dan silaturahmi dalam wadah sinau bareng, kami membuang narasi heroisme yang penuh glorifikasi. Namun kami lebih memilih untuk mengikuti langkah mbah Nun untuk selalu istiqomah menshadaqahi Indonesia dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing dan tentu terus mencintai siapa saja, dari latarbelakang apa saja tanpa memandang apapun yang mereka miliki. Dengan ini penggiat Maiyah Dualapanan mengajak para sedulur untuk terus mentadabburi nilai-nilai maiyah sebagai bekal untuk memperbaiki hal yang perlu diperbaiki dalam kapasitas masing-masing, pada kesempatan ini sinau bareng dengan mengambil tema “Sumpah Pemuda yang Bergelayut Kepentingan” pada tanggal 28 oktober 2023 pukul 20.00 WIB panggung terbuka SMP SMA Al-husna Kompleks Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti, Kemiling, Bandar Lampung.
(Redaksi Maiyah Dualapanan)