SEPERTI RUMAH SIMBAH KAMI SENDIRI

Kali pertama dan terakhir mengunjungi Menturo, Sumobito, Jombang, yakni pada 2016 silam. Kala itu kami rombongan Jamaah Maiyah Gemolong berbondong tandang ke Majelis Padhangmbulan dalam rangka mensyukuri cum merayakan milad Mbah Nun ke-63. Acara bertajuk “Ihtifal Maiyah” tersebut dihadiri puluhan ribu jamaah dan berlangsung meriah. Kisah ini sempat saya abadikan dalam tulisan berjudul “Asing dan Terasing” yang rilis di website Gambang Syafaat. Silakan mampir sahabat.

Setelah selang hampir tujuh tahun, seminggu lalu saya dan rekan diperjalankan kembali mengunjungi tanah kelahiran Simbah guru untuk kedua kali. Suasana agak berbeda. Sebab hadirnya kami (serta Jamaah Maiyah) ke Menturo untuk ndherek dedungo. Tawashshulan mengeti 7 hari wafatnya Marja’ Maiyah Mbah A. Fuad Effendy (25/1).

Pukul lima tepat, armada kami berangkat. Dari Gemolong hingga Ngawi, hujan deras menyertai. Sepanjang tol lengang. Sepi. Sehingga roda-roda mobil cukup kencang berlari. Tiba di rest Area Madiun, mobil menepi. Kami mampir untuk buang air, kemudian salat maghrib berjamaah. Langit berubah cerah. Seberes sembahyang, deru mobil kembali melaju. 

Usai keluar gerbang exit tol Jombang, kami memilih jalur pintas. Melintasi jalanan kecil di tengah perkampungan. Tirai nostalgi membuka. Saya dihinggapi dejavu. Mengais-ais ingatan kembali perjalanan perdana ke Menturo ketika itu (2016). 

Dari kota menuju desa Menturo, nyaris tak ada yang berubah. Baik akses jalan maupun penerangan. Kami masih disuguhi aspal jalanan berlubang. Jembatan yang sempit, yang tidak bisa dilalui dua mobil simpangan sekaligus. Juga hamparan kebun tebu, dan tanah sawah yang membentang. 

Terdengar gerombolan kodok berorkestra “kungkong-kungkong” di kali. Letak kali persis di samping jalan yang kami susuri. Ya, Menturo tetap alami. Layaknya desa zaman dulu. Tak tergerus arus modern. Begitu pun orang-orang dan penduduknya. Meski pelosok, mblusuk, jauh dari keramaian dan ingar-bingar, Menturo menawarkan kerinduan dan kesyahduan untuk dikunjungi. Lagi dan lagi. 

Pukul delapan malam mobil kami tiba di pelataran Ndalem Kasepuhan. Dinding background panggung Padhangmbulan yang warna coklat itu seolah menyambut kedatangan kami. Hangat dan dekat. Sejenak kami dirikan salat Isya’. Seberes kemudian, kami turut bergabung bersama Mbah Nun dan para Jamaah di Sentono Arum. 

Doa khusyuk terlantun. Mas Islami dan Mbah Nun memimpin doa silih berganti. Bau harum menguar di Sentono Arum. Pusara Mbah Fuad berdekatan dengan makam ayah dan ibunya. Orang tua dan anak sulungnya telah berkumpul “di sana”. Tenang. Tenteram. Mahallul Qiyam memuncaki tawashshulan dan doa bersama. 

Tidak ada dialog. Tidak ada tanya jawab. Usai dzikir, tahlil, Mbah Nun masuk ke dalam. Sebelum bubaran, Cak Yus mempersilakan para Jamaah untuk menikmati kudapan buah di nampan. Nampan diputar, agar teman-teman semua kebagian keberkahan. 

Saya dan rombongan memilih tak langsung pulang. Rasanya masih jenak. Belum marem. Masih ingin lama-lama menikmati kesejukan di area Ndalem Kasepuhan. Saya amati setiap sudut. Ruang. Serambi. Panggung. Masjid. Halaman. Dan beberapa kali saya ambil gambar. Suasana idum, tenang, dan nyaman itulah yang membuat kami betah. Rasanya seperti ada di rumah Simbah kami sendiri. Ada kehangatan yang tak ingin segera tanggal. 

Mungkin satu-satunya yang bikin agak kurang “lengkap” ialah saya tak menjumpai penjual tahu solet di sana. Itu tu, tahu legendaris dan khas Jombang. Kalau pas momen PB pasti mereka (penjual tahu solet) tirik-tirik berjualan. Kemarin satu pun tak ada. Ya, memang karena bukan sedang Padhangmbulan. Oh ya, saya juga urung bertemu dengan Mas Syaiful. Beliau berhalangan hadir. Padahal saya sangat ingin bertemu, berbincang, dan syukur-syukur bisa “ngalap berkah” ilmu kepenulisan dari beliau. Semoga kapan-kapan kesampean

Pukul sepuluh lewat, mobil kami bergegas meninggalkan Menturo. Kami menuju Warung Balungan Mojo9 di jalan Irian Jaya, Diwek. 2 kilometer ke arah selatan dari Stasiun Jombang. Di sana telah menunggu seorang kawan lama sahabat kami (wong Gemolong) yang sama-sama alumnus UNDAR (Universitas Darul Ulum). Ceritanya reuni kecil-kecilan. Kami pun ditraktir makan malam. Silaturahmi mendatangkan rezeki. 

Kami pulang ke Gemolong, dengan hati riang, perut kenyang. Suatu hari nanti pasti kami rindu kembali ke Menturo. Maiyahan, berziarah, atau sekadar klangenan melepas kerinduan. Tentu saja tahu solet tak boleh ketinggalan. Menturo, rasanya seperti rumah Simbah kami sendiri. Jan ngangeni. 

Jombang – Gemolong, 25-28 Januari 2023

Lihat juga

Back to top button