RUWATAN MAIYAHAN CIRREBES NYUWUN PITULUNGAN

Pada hari Sabtu, 25 Januari 2025, bertempat di halaman Ponpes Al-Maarif Desa Jatiseeng Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon, Masyarakat Maiyah Cirrebes melaksanakan puji syukur atas tujuh tahun keistiqomahanya bermaiyahan dengan mengangkat tema “Pitulangan”. Merujuk pada angka tujuh yang dalam bahasa Jawa “pitu”, tema pitulungan ini bermaksud meminta pertolongan kepada Allah Swt untuk semua jamaah Maiyah Nusantara, dan lebih khususnya untuk kesehatan Mbah Nun yang selalu mencintai kita semua.
Pada rutinan maiyahan ini, Maiyah Cirrebes mendapatkan kebahagian dengan kedatangan Mas Helmi Mustofa selaku Redaktur caknun.com. Dan juga kehadiran Ki Rastani, beliau adalah juru pantun tradisi terakhir di wilayah timur Sunda yang masih istiqomah menjaga dan merawat tradisi dari leluhurnya. Dalam kehidupanya, beliau menjadi jembatan penghubung antara karesian dan masyarakat, serta penghubung antara masyarakat dengan leluhur dan juga Tuhannya melalui Fadhilah yang dimilikinya.
Rutinan diawali dengan Tawashshulan yang dipimpin oleh Mas Gandi selaku penggiat Maiyah Cirrebes yang tekun dan khusyu dalam melantukan dzikirullah dan shalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tawashshulan berjalan dengan khidmat. Anak-anak dan warga sekitar di lokasi Maiyahan pun yang notabenya baru mengenal Maiyah ikut hadir dan khidmat melantukan bait-bait dzikir dan shalawat yang tertera dalam buku Tawashshulan. Setelah tawashshulan selesai, acara dibuka oleh Mas Iib Ubaidilah yang menyampaikan tentang tujuh tahun perjalanan Maiyah Cirrebes dan juga sekaligus memuqodimahi tema Pitulungan kali ini.
Selanjutnya Mas Helmi Mustofa langsung merespons dengan menyampaikan beberapa pertanyaan dan poin penjabaran yang sangat menarik perhatian para jamaah.
Apa sisi baiknya dari perkumpulan Maiyahan malam ini? Kebaikan itu ada yang terlihat dan juga ada yang tidak terlihat. Perkumpulan ini mempunyai sisi baik yang tampak, seperti adanya dzikrullah, shalawat, berbagi ilmu ataupun juga yang lainya. Namun juga mempunyai nilai kebaikan yang tidak tampak, seperti menjauhi kemaksiatan, keserakahan, kedzaliman ataupun sifat-sifat keburukan umum lainya yang sedang marak di zaman sekarang ini.
Mengenai tema “Pitulangan” ini, Mas Helmi uga menuturkan, bahwa Istilah seperti pitulungan ini jarang diucapkan oleh masyarakat umumnya. Apalagi oleh pemuda dan anak-anak zaman sekarang. Mereka lebih menguasai kosakata kekinian, padahal kosakata seperti kata pitulangan ini lebih bermakna dan penuh nilai-nilai kebaikan di dalamnya.
Sangatlah diperlukan merawat dan melastarikan kosakata atau istilah yang baik seperti Pitulungan ini kepada anak-anak kita.
Kenapa kita meminta pertolongan kepada Allah? Ketika manusia meminta pertolongan kepada Allah berarti manusia menyadari bahwa dirinya itu lemah dan Allahlah yang Maha Kuat. Ini justru berarti bahwa kelemahan inilah yang menjadikan manusia memiliki kekuatan dalam meminta pertolongan. Dan dari situlah Allah akan menolong hamba-hamba-Nya yang lemah itu.
Bagaimana agar kita memdapatkan pertolongan Allah? Mengingat Allah itu penting. Firman Allah dalam Surat Al-A’raf 172:
اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَاۛ
Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi.
Kata Rabb itu memiliki arti di antaranya bahwa Allah Maha pemberi pemenuhan atas kebutuhan manusia Jika ingin mendapat pertolongan, ingatlah kepada Allah. “Dzikrullah” itu penting. Setiap waktu seharusnya kita ingat pada Allah, minim-minimnya ketika kita shalat.
Setelah mendapatkan kenikmatan pertolongan Allah, pastinya manusia juga menginginkan keberkahan di dalamnya. Berkah itu kebiakan yang bersifat rohani. Cara memperolehnya dengan kembali mengingat Allah. Salah-satunya cara yang ringan dan sederhana adalah dengan terus mengucapkan bismillah dalam setiap amal perbuatan.
Sabda Rasulullah saw
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَبْتَرُ
“Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan ‘bismillahirrahmanir rahiim’, amalan tersebut terputus (keberkahanya)”
Sebelum mengakhiri pembicaraan, Mas Helmi menuturkan kepada jamaah; kalau sudah mengingat dan bertaqwa kepada Allah, maka yang harus ditanamkan adalah menyakini kebenaran Firman-Nya. Dan bukan menjadikan pertolongan Allah itu sebagai tagihan manusia kepada-Nya.
Setelah fokus mendengarkan penyampaian Mas Helmi, Maiyahan kali ini diselingi dengan lantunan nada dari group Nagana yang menggunakan karinding, yaitu salah satu alat musik yang terbuat dari bambu. Baru tibalah saatnya Ki Rastani ke atas panggung untuk melaksanakan ruwatan dengan membawa kecapinya.
Dalam ruwatannya Ki Rastani melantunkan beberapa kidung, salah satunya; rumeksa ing wangi sunan kalijaga dan juga kidung Ngamitkeun bumi yang bermakna meminta ijin dan maaf karena alamnya yang dirusak, di mana selanjutnya didayagunakan kembali hasil tersebut agar bisa membawa berkah.
Meskipun dengan menggunakan bahasa Sunda, kekhusukan jamaah tidak berkurang. Ada beberapa kata atau bahkan banyak kata yang jamaah sendiri tidak tahu artinya. Kurang lebih Ki Rastani melaksanakan ruwatan dengan kidung, syair, dan kisah-kisahnya selama 50 menit. Melihat hal tersebut, Mas Helmi menuturkan bahwa Mbah Nun sangat mengagumi dan mencintai orang-orang seperti Ki Rastani ini. Yaitu manusia yang hidupnya fokus dan tekun pada bidang yang dicintainya. Seperti halnya Umbu Landu Paranggi, Bunda Cammana, Pak Tanto Mendut, Mustofa W Hasyim, Cak Kartolo dan masih banyak lagi lainya. Yaitu manusia yang sudah menemukan dan merawat fadhilahnya.
Figur seperti Ki Rastani ini adalah manusia yang sangat mulia. Menyihir Mbah Nun, kalau dalam ilmu fiqih, Ki Rastani telah menjalankan fardhu kifayah. Yaitu melaksanakan sesuatu yang tidak wajib baginya, yang menjadikan manusia sekitarnya tidak terbebani dosa. Andaikan tidak ada sosok seperti Ki Rastani ini, maka semuanya akan mendapatkan pertanggung jawaban atas hilangnya budaya dan tradisi serta nilai-nilai dari leluhur bangsa ini.
Dalam konteks ruwatan. Mas Helmi juga menuturkan, menurut Mbah Nun ruwatan itu memiliki dua hal di dalamnya, yaitu bersyukur dan buang sial. Buang sial disini memiliki arti membuang kekotaran yang ada di dalam diri.
Dalam melaksanakan ruwatan, ada beberapa bait yang di situ Ki Rastani menyebutkan nama-nama Nabi, dimulai dari Nabi adam hingga sampai para sahabat Nabi Muhammad Saw dengan gelarnya masing-masing.
Kemudian Mas Helmi menuturkan salah satu Firman Allah yaitu Q.S al Hadid ayat 3
هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Dialah Yang Maha awal, Maha akhir, Maha zahir, dan Maha batin. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Al Awwal menunjukan makna bahwa Allahlah yang menjadikan sebab segala sesuatu ada. Sedangkan Al Akhir menunjukan makna bahwa Allahlah tujuan akhir dari semuanya.
Awal dan akhir itu berkesinambungan dalam satu alur, maka sangatlah perlu menoleh ke belakang untuk menuju tujuan akhirnya.
Seperti rutinan Maiyah lazimnya. Selanjutnya ada beberapa respons dari penggiat dan jamah mengenai tema Pitulungan dan Makna dari ruwatan Ki Rastani. Acara berlangsung dengan khidmat yang dipungkasi dengan potong tumpeng nasi kuning simbolik keberkahan tujuh tahun Masyarakat Maiyah Cirrebes
(Iib Ubaidilah/Redaksi Cirrebes)