PUASA TIDAK MEMBABAT HUTAN
Sudah dua puluhan tahun saya meninggalkan tempat ini. Ada rasa haru biru yang saya rasakan ketika kaki pesawat ATR-72 landing di Bandar Udara Iskandar jam 10 lebih sedikit.
Pikiran melayang ke masa 20 tahun yang lalu mulai merayapi, ketika pesawat approach Bandar Udara Iskandar melewati area di atas Kumai, sebuah kota kecamatan yang punya pelabuhan kapal yang cukup besar.
Saya pergi ke daerah ini ketika saya lulus menjadi dokter spesialis anak. Ketika itu baru saja usai konflik etnis yang memakan banyak korban jiwa di Sampit kota tetangga Pangkalan Bun dan termasuk di kota ini pula terjadi peristawa tersebut. Dan saya teringat, Cak Nun dan KiaiKanjeng saat itu datang jauh-jauh dari Jogja ke Kalimantan Barat di Mempawah dan Sanggau ikut terjun langsung ke lokasi untuk mendamaikan konflik etnis ini.
Saya datang bersama dr. Agung, yang spesialis Kebidanan dan kandungan. Beliau bertugas di sini sedikit lebih dahulu dari saya. Isterinyalah, yang seorang dokter juga, yang mengajak saya untuk menengok tempat kami ‘loro-lopo’ dulu saat memulai karir sebagai dokter spesialis.
Singkat kata.jadilah kita berangkat ke Pangkalan Bun dengan ‘tanpa rencana’. Tujuan kami adalah napak tilas sekaligus menemui sahabat-sahabat lama yang sudah seperti saudara sendiri. Mulai dari sejawat dokter, perawat sampai Pak Herman pemilik apotek ‘Antasari’ yang menyediakan tempat untuk kami berpraktek. Oh ya ada satu sohib kami yang juga praktik di situ, yaitu dr. Tehar Karo Karo ahli penyakit dalam.
Tiba di ruang kedatangan, kami disambut oleh dr. Mahadi dan isterinya, dr. Rita, yang ternyata sekarang sudah naik karier mereka. Dr. Mahadi menjadi kepala Puskesmas di bilangan kota, sedangkan dr Rita menjadi direktur pelayanan Medis di RS Sultan Imanuddin (RS di mana saya bekerja dulu).
Setelah chit chat sebentar kami keluar dari bandara, eeee di luar sudah menunggu Pak Herman yang sudah siap pula menjemput kami. Tapi akhirnya dengan kelihaian Rita, kami berhasil ‘diculik’ Rita menuju RS, untuk bernostalgia. RS ini sekarang menjadi sangat besar baik dari segi bangunan maupun pelayanannya. Seingat saya RS ini menjadi sangat terkenal secara nasional maupun internasional, semenjak ada peristiwa musibah pesawat AirAsia beberapa tahun silam.
Sesudah makan siang kami dibawa ke tempat penginapan kami di Jl. Pakunegara. Sebuah daerah yang 20 tahun lalu sangat sepi, dipenuhi tanah kosong rumput serta ilalang, serta akses jalan yang jauh dari layak. Tapi kali ini saya tercengang. Perubahan besar telah terjadi di kawasan ini. Daerah ini sekarang sangat ramai, menjadi salah satu pusat perekonomian. Bahkan sekarang sudah berdiri satu hotel bintang 4 yang sangat megah, akan tetapi baru beroperasi di akhir tahun ini.
Ketika kami memasuki penginapan kami, kami mendapati bahwa ada bekas genangan air yang masih menempel kira-kira setinggi satu meter di tembok pagar pintu masuk. Saya bertanya kepada Mahadi dan Rita, apa yang terjadi. Saya sudah mengira-ira bahwa telah terjadi banjir cukup besar di daerah ini.
Menurut cerita mereka benar bahwa banjir telah menggenangi daerah tersebut, dan tempat sekitar penginapan saya ini (dan sekitarnya) telah terendam sekitar sebulan. Dan daerah tersebut tidak bisa diakses.
Di Pangkalan Bun mengalir sebuah sungai yang agak besar yang bernama sungai Arut. Nah, tempat menginap saya memang berjarak lumayan jauh dari saungai tadi. Menurut perkiraan saya sekitar 500 m dari bibir sungai Arut.
Saya menggumam dalam hati, bagaimana Sungai Arut bisa begitu “marah” merendam sebagian kota Pangkalan Bun. Pasti ada sebabnya. Bisa jadi ini karena ulah manusia sendiri. Kita ingat banyak kasus pembabatan hutan ilegal, atau yang lazim disebut illegal logging, yang membikin hutan gundul sehingga ketika terjadi hujan lebat maka, tak ada yang menahan hujan ketika jatuh di tanah, dan mengalir begitu saja menerjang apa yang bisa diterjang, tanpa ada benteng yang menghalangi. Salah satunya adalah peristiwa banjir di akhir tahun lalu.
Ketika marak illegal logging di massa silam, banyak orang yang berpesta, ‘berhari raya’ tiap hari, tiap saat. Tanpa pernah ‘puasa’ tidak membabat hutan semau-maunya. Akibatnya peristiwa banjirnya kota ini terjadi. Padahal Rasulullah bersabda: “Berpuasalah, maka kamu akan sehat”. Puasa makan minum tentu akan sehat badan nya. Puasa rohani tentu akan sehat jiwanya. Puasa untuk tidak membabat hutan, tentu akan sehat lingkungannya, kotanya, sehingga aman masyarakat, termasuk anak cucu kita.
Sungai Arut Maret 2023