“PUASA” SUNYI PROF. BIRUTE

Hari ke-3 kunjungan reuni tak terencana, kami melakukan kunjungan ke Taman Nasional (TN) Tanjung Puting. TN ini adalah sebuah konservasi orang utan yang pasti akan pengaitkan dengan nama besar Profesor Birute Mary Galdikas dan suaminya, Rod Brindamour, yang pertama kali datang keTtanjung Puting pada tahun 1971.

Tempat antah berantah di mana tidak ada listrik, tak ada jalan, tak ada telepon, bahkan tidak ada pak pos pengantar surat pada waktu itu. Namun Birute yang mempunyai niat ngangsu kawruh untuk mempelajari orang utan, mempunyai tekad yang kuat sejak kepindahan keluarganya dari Kanada menuju AS, dan melanjutkan kuliah serta mendapatkan gelar masternya di University of California Los Angeles (UCLA), AS di bidang antropologi.

Adalah dr. Louis Leaky, seorang antropolog berkebangsaan Kenya dan mentor dari Prof. Birute, yang awalnya tidak percaya dengan keinginan Birute untuk datang ke Tanjung Puting untuk mempelajari orang utan. Tetapi Birute berhasil meyakinkan mentornya tersebut tentang niatnya. Singkat cerita pada akhirnya Birute mendapatkan dana untuk mempelajari seluk beluk orang utan ini.

TN Tanjung Puting Terletak di Provinsi Kalimantan Tengah di sisi bagian selatan Pulau Kalimantan. TN Tanjung Puting bukan hanya taman nasional pertama di Indonesia yang berfungsi sebagai pusat rehabilitasi orang utan. TN itu juga merupakan situs konservasi orang utan terbesar di dunia.

Kami start dari penginapan akhirnya pada pukul 6:30 dan menuju pelabuhan Kumai, padahal kami sebenarnya janjian tiba di pelabuhan jam 6:00 agar bisa menikmati perjalanan susur sungai dengan udara yang masih sejuk dan segar. Kami akhirnya start menyusuri sungai Kumai menuju percabangan masuk ke TN Tanjung Puting  yaitu sungai Sekonyer. Sebenarnya kami pernah melakukan perjalanan ini ketika kami dinas di daerah ini 20 tahun lalu. Pada waktu itu kita berangkat pagi dan sore sudah sampai kembali di Pangkala Bun. Kali ini perjalanan sangat berbeda di mana kami akan menginap semalam di atas perahu yang sandar di sungai Sekonyer.

Perjalanan diawali dengan exciting saya, dengan mengeksplore perahu kayu yang kami tumpangi. Di dek paling atas adalah atap kapal yang sekaligus tempat untuk nongkrong, motret ataupun sekadar melihat pemandangan. Di bawahnya adalah ruang utama yang difasilitasi tempat tidur dan sekaligus ruang nongkrong, serta meja makan di bagian belakang.

Lantai di bawahnya adalah dapur, kamar mandi dan ruang kemudi kapten perahu. Sedang di paling bawah adalah ruang mesin. Di dapur saya melihat ibu koki yang memang dibawa untuk memasak aneka hidangan untuk crew perahu dan untuk kami. Pagi ini baru 10 menit kami menyusur sungai sudah disuguhi sarapan nasi kuning khas Kalimantan lengkap dengan lauk pauknya. Tak lupa teh panas serta kopi hitam tersedia di atas meja makan.

Saya sangat menikmati perjalanan ini, sebuah perjalanan advonturir yang belum pernah saya alami. Siang hari jam 14:00 kita bersandar di Camp Leaky, sebuah feeding point orang utan, sekaligus tempat para turis dan peminat orang utan. Satu jam sebelum sandar kita disuguhi dengan makan siang berupa sop patin bumbu asam dan nila goreng, lengkap dengan sambal terasi. Sunggguh perpaduan yang sangat nikmat.

Tidak kurang dari 10 perahu kayu yang sejenis dengan perahu yang kami tumpangi yang sandar di Camp Leaky. Kami menikmati melihat perilaku orang utan yang dipanggil untuk makan. Tidak hanya orang utan yang datang, tetapi ada juga kera ekor panjang dan ua-ua. Sebuah kera yamg khas wajah dan pantatnya ada kombinasi warna abu abu dan hitam

Camp ini dinamai dengan nama mentornya yang akhirnya mensupport Birute dalam mewujudkan keinginannya. Sebelum Birute meninggalkan Amerika, dia diberitahu oleh para profesornya bahwa mimpinya untuk mempelajari orang utan itu“tidak dapat dilakukan”. Para senior dan professornya bilang bahwa dia tidak akan bisa mempelajari orang utan di alam liar. Mereka terlalu sulit ditangkap, liar, dan hampir seluruhnya hidup di rawa-rawa yang dalam.

Namun, kerja keras dan tekadnya akhirnya membuahkan hasil. Dia mendirikan “Camp Leakey”, sebagai penghargaan kepada mentornya yang akhirnya memberinya support, dan Birute mulai mendokumentasikan ekologi dan perilaku orang utan liar. Empat tahun kemudian, dia menulis artikel sampul untuk Majalah National Geographic, membawa orang utan menjadi perhatian publik internasional secara luas untuk pertama kalinya.

Artikel itu diilustrasikan dengan foto-foto hasil karya Brindamour, suaminya. Prof Birute adalah adalah orang pertama yang mendokumentasikan jarak kelahiran orang utan yang jaraknya rata-rata 7,7 tahun di Tanjung Puting. Jadi sebelum anaknya berumur 7 tahun maka si induk ini tidak akan kawin lagi, dan tidak akan menjawab ‘long call’ (ajakan kawin dari orang utan jantan). Si induk harus memastikan bahwa anak yang diasuhnya harus sudah bisa mandiri sebelum dia merespons sebuah ‘long call’.

Prof. Birute juga mencatat lebih dari 400 jenis makanan yang dikonsumsi orang utan. Ia memberikan detail yang belum pernah ada sebelumnya tentang ekologi orang utan. Dia juga membantu menjelaskan sifat organisasi sosial dan sistem perkawinan orang utan.

Saya merenungkan ini, bagaimana seorang yang bukan pribumi, sangat memikirkan kelestarian dari hutan beserta isinya, serta berani ‘nggetih’ (sangat menyatu dengan situasi lokal) dalam melakukan pekerjaannya. Saya pernah bertemu Prof. Birute ini di rumahnya di kompleks RS orang utan, di daerah Pasir Panjang, Pangkalan Bun, 20 tahun yang lalu. Tidak banyak yang kami bincangkan pada waktu itu, sekadar membahas bagaimana perilaku si orang utan kalau sakit dan pengobatan apa yang diberikan.

Ternyata Prof. Birute juga sambatnya ke RS manusia di tempat saya bekerja dulu. Kali ini saya tambah kagum kepad beliau atas segala usaha yang beliau lakukan. Dan berhasil, dengan segala caranya bisa menyelamatkan sebagian hutan hijau di Kalimantan Tengah, yang kata orang merupakan paru-paru dunia.

Prof. Birute, menurut saya adalah seorang petapa, yang melakukan puasa dan tirakatnya dengan topo ngrame. Bisa dibayangkan tahun 70-an itu peradaban di AS dengan di pedalaman Kalimantan sangatlah kontras, bagaikan siang dengan malam. Tapi toh seorang Birute tetap melakukan dengan modal tekad dan mimpinya. Dia lebih memilih mencari ilmu dan menerapkan ilmu yang sudah dia peroleh di dunia nyata. Birute lebih memilih kesunyian dbanding dengan keramaian. Birute melakukannya dengan hati, cinta dengan segenap jiwa dan raganya, dan dia melakukannya dengan ‘berpuasa’ !!

Sementara orang kita sendiri berpesta pora dan berhari raya dengan membabat hutan secara semena-mena yang mengakibatkan hutan gundul dengan segala macam akibatnya.

PK Bun, Maret 2023

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button