Peringati Ulang Tahun Ke-6, Simpul Maiyah Semesta Teguhkan Ilmu Penghidupan
Menapaki usia yang ke 6 tahun, simpul Maiyah Lamongan mencoba merefleksikan rasa syukur dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, di antaranya workshop-workshop dan dipuncaki dengan gelaran Sinau Bareng dengan tema “Ngenam Syukur”.
Melengkapi sinau bareng yang digelar setiap akhir bulan, untuk moment ulang tahun kali ini Semesta lebih menekankan pembahasan tentang ilmu penghidupan, setelah sebelumnya banyak membicarakan ilmu hidup dan ilmu kehidupan. Bukan untuk memisah-misahkan ilmu tapi semata sebagai upaya untuk melengkapi.
Acara Sinau Bareng Ngenam Syukur dimulai sejak pagi, diawali dengan Khotmil Qur’an oleh para penggiat Semesta sampai pukul 19.30 yang dipungkasi dengan do’a khotmil Qur’an sebelum acara sinau bareng dimulai. Dilanjutkan dengan wirid iftitah dan shalawat ‘indal Qiyam, lalu acara sinau bareng dibuka oleh Mas Humam sebagai moderator.
Pada sesi pertama sinau bareng, Mas Humam mempersilakan sesepuh penggiat Semesta maju ke depan untuk mengulas kembali awal mula tersimpulnya Maiyah Lamongan sampai paparan mengenai refleksi Ngenam Syukur 6 Tahun Maiyah Lamongan Semesta.
“Kita melingkar sampai menapaki usia yang ke-6 tahun ini. Banyak situasi yang telah dilewati para jamaah dan penggiat, mulai dari berpindah-pindahnya tempat yang semula di Perpustakaan Lamongan, lalu berpindah ke Unisla, berhijrah lagi ke Gedung Juang 45, sampai kita mendapatkan tempat di Taman Tematik Pasar Hewan ini. Semua ini adalah situasi yang “diperjalankan”, semoga kita bisa terus berjuang menebar kebaikan bagi diri kita dan sekitar kita”. Demikian sekilas pemaparan yang disampaikan oleh Mas Agus, Mas Zay, dan Mas Dayat.
Ngenam adalah menganyam lapisan-lapisan sehingga menjadi bentuk yang satu dan kokoh, seperti yang dikatakan oleh Mas Harianto, “Ngenam bisa dipahami menuju ke enam. Dalam bahasa Jawa kata ngenam itu bermakna menganyam. Jadi idiom Ngenam Syukur bisa diartikan bagaimana kita menganyam rasa syukur kita sehingga tidak hanya syukur secara hati, tetapi juga syukur secara pemikiran dan tindakan.”
Seperti yang penulis paparkan di atas, Maiyah Lamongan kali ini mencoba untuk merefleksikan ilmu penghidupan, yang pada edisi-edisi sebelumnya belum pernah dibahas dalam forum Sinau Bareng. Mas Harianto memberikan pantikan terhadap tema yang dibahas malam ini, “Jadi dalam rangka Ngenam Syukur, kita idealnya mempelajari 3 ilmu fundamental dalam menjalani proses hidup, yaitu ilmu hidup, ilmu kehidupan, dan ilmu penghidupan.”
Ilmu hidup yang dimaksud adalah ilmu agama, ilmu yang mengantarkan kita kepada pemahaman mengenai sangkan parananing dumadi. Dari mana dan akan ke mana hidup kita. Sedangkan ilmu kehidupan adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala, peristiwa, dan misteri yang tergelar di alam semesta. Lingkungan hidup kita, dinamika masyarakat. Ilmu sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain lain yang memahamkan siapa sesungguhnya kita.
Lalu ilmu penghidupan ialah pelajaran tentang berbagai upaya kita dalam memenuhi kebutuhan hidup dalam menjalankan proses ikhtiar, di jalan sunnatullah.
Suasana melingkar malam ini adalah refleksi syukur yang divisualisasikan dengan kebahagiaan para jamaah yang hadir. Ketika Yai Bi’in dipersilakan oleh moderator untuk merefleksikan Ngenam Syukur, beliau mengungkapkannya dengan beberapa nomor lagu, yang suasana kebahagiaannya dirasakan oleh para jamaah. Saking menikmatinya, sampai ada jamaah yang mengungkapkannya dengan joget-joget ringan dan bernyanyi bersama-sama. Tidak hanya Yai Bi’in, Mas Sogie pun menambah kegembiraan malam ini dengan lagu yang dipopulerkan oleh Letto. Para jamaah ikut bernyanyi bersama-sama diikuti dengan tarian flash dari handphone di seberang panggung.
Ketika sesi diskusi terkait tema Ngenam Syukur, beberapa jamaah ada yang bertanya atau menambahkan ide dan gagasannya. Suasana diskusi cukup ganyeng, tek-tok gagasan disampaikan para jamaah yang hadir pada malam ini. “Manusia membayangkan perubahan itu seolah-olah fantastis, padahal yang kita lakukan malam hari ini, melingkar seperti ini adalah salah satu proses menuju perubahan itu,” Mas Harianto memungkasi sesi diskusi pada malam ini.
Acara dilanjut dengan prosesi pemotongan tumpeng. Potongan tumpeng diberikan oleh yang tua sebagai bapak kepada yang muda sebagai anak. “Ada dua cara dalam memotong tumpeng menurut tradisi terdahulu. Pertama menurut tradisi keraton. Raja memotong tumpeng dari perut tumpeng sampai puncak tumpengnya jatuh menyentuh lapisan terbawah tumpeng, dan potongan tumpeng itu diberikan kepada rakyat sebagai wujud Raja mensejahterakan rakyatnya. Sedangkan menurut tradisi Barat, seperti pemotongan kue tart, yang mana potongan pertama diberikan kepada orang yang spesial”.
Setelah prosesi pemotongan tumpeng, acara dilanjutkan dengan penyerahan secara simbolis bibit sawo kecik. “Dulu ketika zaman perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, ada satu perang panjang yang dikenal dengan Perang Jawa. Perang melawan penjajah yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Pada akhir kisah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda saat acara sowan idulfitri. Para santri pasukannya merasa sangat kehilangan. Untuk mengobati kerinduan terhadap sosok Pangeran Diponegoro, mereka menanam Pohon Sawo Kecik di sekitar rumah, karena di pelataran rumah beilau terdapat banyak pohon sawo kecik. Sekaligus sebagai penanda bahwa para santri pasukan tetap setia pada perjuangan beliau.
Dengan peristiwa itu, kita juga harus punya sebuah tradisi tetenger di setiap memperingati sesuatu, maka pada edisi ke-6 tahun Semesta ini, kita tanam pohon sawo kecik sebagai tetenger di usia 6 tahun. Semoga kita juga bisa melanjutkan perjuangan Pangeran Diponegoro.
Acara pada malam hari ini dipungkasi dengan wirid Hasbunallah dan Shohibu Baiti, dilanjutkan dengan bersalam-salaman. Suasana haru bahagia menyelimuti prosesi salaman pada malam ini, lantunan shalawat menambah keharuan pada saat prosesi salaman. Lalu ditutup dengan foto bersama sebagai usaha menyelamatkan dokumentasi perjuangan teman-teman Semesta Maiyah Lamongan.[]
Penulis adalah Penggiat Simpul Maiyah Semesta Lamongan