Nafsu dan Kuasa
Jangan lupa nulis ya gaess. Demikian pesan singkat dari sohib saya yang sudah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing.
Ok, saaaaap.
Saya pun bergegas memainkan jari di atas keyboard, sambil menunggu apa yang akan muncul di benak ini sehingga akan bisa saya tulis.
Sambil nongkrong di depan TV menonton channel-nya Azrul Ananda yang mengulas balapan Formula-1, saya mengulik jagad maya sambil memperhatikan apa yang dicuitkan netizen belakangan ini.
Berbagai masalah yang kita hadapi sekarang ini tak lepas dari kejadian-kejadian yang saling berhubungan.
Dua bulan terakhir ini, hampir setiap hari kita disuguhi berita yang mendominasi halaman media ‘mainstream’ maupun media sosial yang sangat banyak macamnya. Semua membahas satu topik yang sama, yaitu seorang bawahan yang “dibunuh”. Dari peristiwa itu lalu merembet ke masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan, atau setidaknya disangkutpautkan dengan hal hal-lain yang ada di lingkaran orang-orang yang terlibat. Saya mendapat satu kata yang ada dalam peristiwa itu. Yaitu ‘kesewenangan’.
Kesewenangan ini kalau kita lihat dan kita perhatikan ada di belahan aspek kehidupan ini. Kata ‘kesewenangan’ ini erat berhubungan dengan kata ‘kekuasaan’. Ya, tentang kuasa, berkuasa, penguasa, dan menguasai.
Nah, baru kemarin siang saya mendapat cerita, tentang sesuatu yang menarik hati saya. Seseorang datang bercerita kepada saya, seseorang itu adalah seorang ibu, yang menceritakan tentang sebuah acara yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi non pemerintah yang menyelenggarakan acara yang melibatkan ‘guru-guru’ (pasien) saya. Bukan hanya melibatkan, akan tetapi guru-guru saya ini menjadi obyek utama dari acara tersebut.
Jadi begini, guru-guru saya itu dikumpulkan dalam sebuah acara tertentu semacam gathering atau apapun namanya sebagaimana acara-acara penggalangan dana, dan guru-guru saya itu diminta untuk menggambar, melukis, mencoret atau apapun namanya, dengan disaksikan (baca: dipamerkan) di hadapan pejabat pemerintah setempat. Dengan tak lupa si penyelenggara itu memaparkan apa jasa baik yang sudah mereka lakukan terhadap guru-guru saya.
Si Ibu yang menceritakan kepada saya ini mengungkapkan kesedihannya juga, karena dia mendampingi acara itu dan melihat bagaimana ada sebagian dari ‘guru-guru’ yang sudah kelaparan tapi makanan tak kunjung dihidangkan. Padahal guru-guru saya tersebut adalah aktor utama dalam acara tersebut.
Lebih menyesak lagi di dada si Ibu ini, ternyata hasil gambar yang dibikin guru saya ini dijual dan laku puluhan juta. Tetapi tak sepeser pun sampai di tangan si pembuat gambar tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana rasa si Ibu ini. Sedih, marah, dendam, sakit hati, dan perasaan yang lainnya yang ada di dalam hati si Ibu ini.
Tentu yang akan memperoleh citra adalah si penyelenggara ini. Walaupun dilakukan dengan berbagai macam cara, untuk mendatangkan guru saya, Dan kemudian memamerkannya di hadapan pejabat, dengan tentu tak lupa dengan acara selfi-selfi yang merupakan acara wajib dan wajib pamer di medsos mereka. Tapi si lembaga penyelanggara ini seperti tak punya malu, atau boleh dikatakan tak punya hati. Sudah mendatangkan dengan cara apapun agar guru saya bisa datang akan tetapi imbalan yang didapat oleh guru saya tak sebanding.
Saya terus terang sedih mendengarnya. Saya pun tak kuasa menahan rasa sedih ini, airmata saya hampir meleleh. Tetapi saya tahan sekuatnya. Hanya pertanyaan saya kepada si ibu yang keluar.
“Lalu apa yang akan Ibu lakukan?”
“Lah kami ini bisa apa?,” malah si ibu balik bertanya.
“Lhooooooo…,” balas saya.
“kan tahu sendiri, siapa yang berdiri di balik lembaga itu?,” jawab si Ibu.
Saya hanya berkomentar, “Oooo…”
Saya tahu apa dan siapa yang dimaksud oleh si Ibu itu. Adalah seorang yang sedang punya kuasa dan kewenangan yang kemudian digunakan tidak semestinya. Salah guna kuasa ini juga berlangsung di bidang lain, yang dasar atau latar belakangnya adalah tidak senang kalau melihat orang lain senang!
EK147-A6EEX
24 Sept. – 7 Okt 2022