MUNDUR UNTUK MENEMUKAN KESEIMBANGAN

PERTEMUAN LKMS pada Sabtu malam 16 September kemarin menarik perhatian saya yang menyoalkan bahaya gawai terhadap anak-anak. Dampak kemajuan teknologi itu berimbas pada kualitas sumber daya anak.

Hal itu diungkapkan Mas Angga ketika menyinggung pola pendidikan anak di Swedia yang mulai bergeser “mundur” perlahan membatasi penggunaan gawai sebagai keseimbangan ekosistem kualitas tumbuh kembang anak.

Penggunaan gawai di Swedia sudah mulai dimonitor. Dibatasi. Ini karena kecenderungan penggunaanya semakin tidak terkontrol.

Mas Angga kemudian mengutip dari salah satu berita online terhadap bahaya gawai pada anak.

Para orangtua kemudian mengatur cara untuk menjauhkan anak-anak dari dampak yang lebih parah ditimbulkan.

“Ini memang tidak mudah karena melibatkan semua komponen,” ucapnya.

Mas Angga terlihat agak pesimis meski sebenarnya hal itu bisa diantisipasi dengan berbagai cara.

Mas Inung, misalnya. Di forum LKMS ia menceritakan pengalaman pribadinya mengatasi kecanduan anak terhadap gawai. Tapi, ia mengakui butuh biaya besar untuk melepaskan gawai dari lekatan tangan si anak.

Mas Inung memperlihatkan video hasil rekaman singkat anaknya menari-nari dengan topeng ganong. Di lain video anaknya menari gaya Mataraman, “perang”.

Sebagai orangtua, Mas Inung, telah berupaya melawan dampak buruk teknologi yang mengancam generasi penerus.

Bahkan, anaknya pernah diikutkan kegiatan melukis di salah satu komunitas seni di Jogja.

Faktanya, anak-anak masih sangat lekat dengan aktivitas online. Entah menonton video, bermain game, mengikuti pelajaran sekolah atau sebagai alat berkomunikasi.

Era digital tidak begitu saja mudah dikesampingkan. Dampak buruk pasti akan terjadi. Begitu juga sebaliknya. Ini seperti halnya pisau yang tidak membayakan penggunanya maupun orang lain jika pisau digunakan sebagaimana mestinya untuk keperluan dapur.

Sekira tahun 2013, Dahlan Iskan berkunjung ke Palembang saat menjabat sebagai Menteri, saya sempat menghadang di pintu depan sebelum ia masuk di sebuah acara eksklusif.

Acara itu dihadiri Gubernur Sumsel Alex Noerdin dan beberapa pejabat RI lainnya.

Dalam penghadangan itu saya bertanya kepada Pak Dahlan perihal informasi yang saya dapat dari kakak saya sewaktu masih di Radar Jogja anak Jawa Pos.

Informasinya, Dahlan Iskan menganjurkan kakak saya untuk meninggalkan koran dan beralih ke media online karena surat kabar cetak tak lama lagi bakal ditinggalkan pembaca.

Saya penasaran dengan yang disampaikan Dahlan Iskan kepada kakak saya. Maka, kunjungannya ke Palembang itu kesempatan saya mempertanyakaan langsung ke pemilik Jawa Pos.

“Kapan? Saya tidak pernah bilang begitu?” selorohnya menghindar pertanyaan saya.

Namun, ketika saya lemparkan pertanyaan lain pak Dahlan keprucut dan sempat meralat. Ia pun buru-buru masuk ke ruangan mempercepat langkah kakinya. Menghindar.

Dari cuplikan peristiwa di atas dapat diambil kesimpulan bahwa masyrakat hari ini sebenarnya masih butuh media konvesional–tidak melulu online.

Artinya, masih ada peluang untuk memanfaatkan cara-cara lama (sebelum era digital) membuat anak-anak tidak selalu lengket bermain gawai.

Anak-anak hari ini adalah aset yang harus terus dijaga.

Anak-anak tidak harus mengurung diri dalam kamar dan melihat dunia luar dari gaijed. Namun, bisa diajak bermain di luar ruang yang menyenangkan dan mengedukasi.

Saya yakin, apa yang disampaikan temen-temen di LKMS pada malam itu akan berhasil meski tidak dalam waktu dekat ini.

LKMS bisa menjadi pelopor untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak salah satunya dengan membuat sekolah alam. Tapi ini bukan sekolah alam yang sudah ada lho… 

LKMS bisa membuat program sekolah alam yang nantinya bisa menjadi ruang bagi anak-anak untuk melepaskan diri dari kebiasaan bermain gawai.

Program sekolah alam LKMS ini tentu akan terkonsentrasi kepada edukasi berkelanjutan tanpa batas. Sekolah alam ini bisa diaktifkan sepekan sekali.

Mereka akan diajak belajar mengenal alam tidak hanya dari media visual bahkan diajak ke suatu tempat yang menyenangkan seperti jalan-jalan di pedesaan atau diajak ke tempat pembuatan jajanan tradisional sekaligus menikmati kuliner khas desa di seantero DIY. Bersentuhan langsung tanpa maya.

Saya mengamati LKMS memiliki banyak para ahli yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan umat. Anggap saja dakwah cara LKMS.

Kalau kata Mas Angga itu LKMS sudah sangat lengkap. Ada banyak kebisaan yang mustahil disia-siakan.

Dan benar saja LKMS punya guru, seniman-seniwati, pebisnis, pemikir, IT, agamawan dan masih banyak lagi. Dari semua ini keilmuannya akan sangat bisa digunakan untuk mengatasi ancaman bahaya era digital.

Ini persis yang dikhawatirkan teman-teman Yayasan Rumah Impian Indonesia.

Yayasan Rumah Impian Indonesia yang fokus pada perlindungan kekerasan anak dan perempuan juga bergerak mengatasi bahaya digital. Sepertinya sesekali mereka bisa digandeng dalam program LKMS.

Sewon, 18 September 2023.

Lihat juga

Back to top button