Mumbul Gondhelan Cak Fuad Menghadapi Darija
Betapa pentingnya peran Cak Fuad di dunia internasional dalam melestarikan bahasa Arab benar-benar saya rasakan di Maroko ini. Saya kagum dan bangga. Sebagai orang Nusantara yang tidak berbahasa Arab, baik dalam percakapan maupun komunikasi tekstual, saya memiliki Cak Fuad sebagai satu-satunya orang Indonesia yang dipercaya Kerajaan Arab Saudi menjadi anggota dewan pengawas KAICAL.
King Abdullah bin Abdul Aziz International Center for Arabic Languange (KAICAL) merupakan lembaga resmi tertinggi untuk menjaga kelestarian bahasa Arab di dunia. Lembaga ini berpusat di Riyadh, didirikan tahun 2012. Sesuai cerita beliau kepada Jawa Pos, Cak Fuad dipercaya menjadi dewan pengawas selama dua periode, mulai tahun 2013 hingga 2019.
Majelis Umana’ atau Dewan Pengawas ini beranggotakan sembilan orang. Empat orang dari Arab Saudi, empat lainnya dari Eropa dan Afrika, dan Cak Fuad satu-satunya dari Indonesia. Lembaga yang beliau kawal ini memiliki tanggung jawab yang sangat besar, yakni mencari metode pengajaran bahasa Arab yang baik dan benar, sekaligus mudah.
Dalam satu kesempatan Maiyahan, Cak Fuad bercerita bahwa sebagai dewan pengawas, beliau setidaknya harus rapat tiga bulan sekali di berbagai negara, kadang di Maroko, Riyadh, Mesir, ataupun Eropa. Tujuan rapat ini adalah untuk mengevaluasi program kerja tahunan dalam mengembangkan bahasa Arab. Dalam menjalankan amanah ini, para anggota tidak digaji, tetapi semua biaya akomodasi kerja ditanggung KAICAL.
Salah satu tugas Cak Fuad adalah menetapkan strategi umum rencana induk pengembangan bahasa Arab. Sebelum bergabung dengan KAICAL, tanggung jawab beliau mencakup wilayah Indonesia saja. Cak Fuad, misalnya, mendirikan IMLA (Ittihadul Mudarrisin Lughah al-Arabiyah) alias Persatuan Pengajar Bahasa Arab pada tahun 1999. Lewat kiprah di KAICAL, tanggung jawab beliau melebar mencakup seluruh dunia dengan segala ragam kultur dan bahasanya.
Saya yakin Cak Fuad menjalankan amanah itu dengan sangat baik. Tidak semua anggota dari periode pertama diberi amanah kembali pada periode kedua. Tujuh dari sembilan anggota periode pertama diganti oleh orang baru. Hanya Cak Fuad dan satu dari Arab Saudi yang dipertahankan. Cak Fuad sendiri tidak mengetahui alasan mengapa beliau masih diberi amanah di periode setelahnya.
Bisa menjalankan amanah itu dengan baik sangat membanggakan bagi Cak Fuad sendiri. Saya pun yang bukan siapa-siapa ikut kecipratan bangga. Meskipun rasa bangga saya ini lebih sebagai orang minder dan gumun. Setelah saya telisik dengan hati-hati, saya perlu awas dengan dua lapis keminderan atau inferiority complex dalam diri saya ini. Lapis pertama mewujud dalam kebiasaan mudah terpukau dengan segala “kemajuan” Barat. Lapis kedua lahir dari menjadi seorang Muslim Indonesia di hadapan dunia Islam yang luas. Kok kayaknya segala khazanah peradaban Islam di Nusantara ini tidak dianggap sebagai bagian utama dalam narasi peradaban Islam, ya?
Ada cerita menarik terkait tidak dianggapnya dunia Islam Indonesia ini. Kisah ini berasal dari kawan istri saya yang mengambil program Studi Islam di McGill University Kanada. Sebagai syarat lulus, teman ini harus lulus ujian dua bahasa dunia Islam. Ia pun mengajukan bahasa Arab dan Indonesia. Usulannya ditolak karena di programnya, yang diakui sebagai bahasa dunia Islam hanya bahasa Arab, Persia, Urdu, dan Turki. Alhasil, kawan ini pun harus tergopoh-gopoh belajar bahasa Persia. Bahasa Indonesia, yang dituturkan oleh 231 juta Muslim di negara Muslim terbesar di dunia ini, tidak dianggap. Duh, betapa nelangsanya hati ini.
Demikianlah, tatkala Cak Fuad dipercaya mampu mengarahkan lembaga pelestari bahasa Arab dalam skala dunia, kebanggaan saya mumbul-mumbul, terbang tinggi gondhelan Cak Fuad.
Simak saja kecakapan Cak Fuad berbahasa Arab dalam mengantarkan penampilan Mbah Nun, Ibu Via, dan Gamelan KiaiKanjeng di hadapan audiens Mesir pada tahun 2003 lalu dalam tayangan ini. Begitu indahnya rangkaian kata-kata bahasa Arab Cak Fuad hingga menyentuh hati orang-orang Mesir. Beliau bahkan menyebut tokoh yang sangat dihormati di sana, Ummi Kultsum, dengan sapaan “Yang Mulia”. Beberapa karya Ummi Kultsum kebetulan juga dipentaskan dengan aransemen khas Gamelan KiaiKanjeng pada waktu itu.
Saking indahnya gaya bertutur beliau sampai-sampai ada salah satu pejabat propinsi di Mesir yang “tidak terima” dengan kefasihan bahasa Arab Cak Fuad. Ia sampai menginstruksikan jajarannya untuk mengajarkan lagi bahasa Arab dengan baik dan benar kepada anak-anak di sana.
Bisa-bisanya ada orang bukan dari bangsa Arab, tidak pernah sekolah di negeri Arab, bisa berbahasa Arab Fushhah yang sangat fasih. Kefasihan itu juga tampak ketika Cak Fuad berbincang dalam sebuah wawancara dengan TV Al-Majd dari Arab Saudi. Sayang tayangan videonya dari kanal YouTube sudah diprivat oleh TV Al-Majd. Akan tetapi, teman-teman masih bisa menyimak catatan dari CakNun.com di sini.
***
Kemampuan berbahasa Arab saya sangat cethek dan cekak. Ketika MTs, saya mondok tiga tahun di Solo. Saya tinggal di pesantren yang mewajibkan ngomong bahasa Arab 24 jam non-stop, sampai-sampai kalau tidur ngigaunya berbahasa Arab. Meski demikian, pengalaman itu tidak begitu membekas kuat hari ini. Apalagi, setelah dari Solo, saya pindah ke pesantren lain di Jombang yang dalam keseharian, kami berbahasa Jawa Jombangan.
Apapun itu, periode pendek di Solo ini sangat saya syukuri. Di kota inilah, pada tahun 1996, saya bertemu “langsung” dengan Mbah Nun dan pakde-pakde KiaiKanjeng untuk pertama kali. Perjumpaan itu mengantarkan saya, ketika hidup di Jombang, untuk mengikuti Padhangmbulan beberapa kali pada tahun 1999 sampai 2002. Pada masa inilah saya pertama kali mengenal Cak Fuad.
Saya juga bersyukur. Sisa-sisa bahasa Arab yang masih menempel ternyata ada gunanya juga di Maroko ini. Setidaknya saya masih bisa berujar la, na’am, atau madza. Kalau bingung, ya tinggal pakai jurus yang diceritakan Mbah Nun saja, menggunakan isyarat tangan dan tubuh sembari mengucapkan “hadza… hadza…, wa hadza… tsumma hakadza…”. Jika yang diajak bicara melongo bingung, perbaiki isyaratnya, meskipun kata-katanya ya tetap “hadza”. Wong yang saya bisa lancar itu isyaratnya, bukan ngomongnya, hehe.
Saya coba membayangkan bagaimana Cak Fuad ikut mengarahkan program-program pengajaran bahasa Arab yang efektif dan efisien di berbagai negara. Akan tetapi, terus terang saya kebingungan. Pertama, Cak Fuad bukan orang Arab. Kedua, di negara-negara Arab, termasuk di Maroko ini tentunya, orang tidak berbicara Arab Fushhah dalam keseharian. Mereka berbicara bahasa Arab pasaran. Selain itu, tidak semua orang Maroko ataupun dunia Arab lainnya bisa fasih berbahasa Fushhah, baik lisan maupun tulisan. Meskipun berbeda, fenomena ini mirip dengan bahwa tidak semua orang Indonesia mahir berbahasa Indonesia formal.
Bahasa Arab keseharian ini juga berbeda di berbagai negara-negara Arab. Di jazirah Arab sampai Mesir, bahasa Arab pasaran disebut ‘Amiyah. Sedangkan di wilayah Afrika Utara atau Maghrib, bahasa Arab gaul itu disebut dengan Darijah. Penggunaan bahasa ini membentang dari Libya, Tunisia, Aljazair, Mauritania, Sahara Barat, sampai Maroko. Masing-masing punya penyebutan yang berbeda, bisa Darja, Derdja, Derja, Derija, atau Darija. Semua artinya sama: keseharian atau sehari-hari. Di Maroko sendiri masyarakat menyebutnya Darija.
Saya coba mencari perbandingan yang serupa di Indonesia, khususnya di Jawa. Walaupun ini tidak tepat-tepat amat, bahasa Arab ‘Amiyah mungkin seperti bahasa Jawa yang sehari-hari digunakan masyarakat Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur pada umumnya. Lalu bahasa Arab Darija ibarat bahasa Osing masyarakat Banyuwangi. Sedangkan bahasa Arab Fushhah-nya adalah bahasa Kawi atau Jawa Kuno. Maksud saya, baik bahasa Jawa dan Osing memiliki akar yang sama, yaitu Jawa Kuno. Tentu di antara keduanya banyak kesamaan kosakata yang dipakai, tapi banyak juga yang sangat berbeda.
Sebagai orang Jawa, saya kesulitan memahami bahasa Osing. Akan tetapi orang Osing lebih mudah mengerti bahasa Jawa. Hal yang senada terjadi antara penutur ‘Amiyah dan Darijah. Berdasarkan testimoni yang didengar istri saya, orang-orang Maroko bisa memahami dengan gampang ‘Amiyah-nya orang Mesir atau jazirah Arab. Akan tetapi, ketika orang Mesir atau Jazirah Arab menyimak orang Maroko ngobrol, mereka sempoyongan. Rasanya seperti masuk area roaming, tidak ada sinyal, enggak mudheng.
Orang Mesir saja kesulitan memahami Darija. Sekarang, bayangkan nasib saya yang bahasa Arabnya 3C: ciut, cethek, cekak ini. Mumet saya dobel-dobel kuadrat mendengar orang Maroko ngomong dengan bahasa Darija. Setiap saya berusaha sekuat tenaga, sedikit demi sedikit mengumpulkan sisa-sisa memori kosakata bahasa Arab saya dari 25 tahun silam, semuanya mentah, seakan percuma. Keunikan Darija ini lahir dari dua hal, kalau boleh saya sebut.
Pertama, Maroko pernah dijajah Perancis. Masa ini tidak lama sebenarnya, hanya 40 tahun. Meski demikian, bekasnya sangat mencengkeram dalam. Salah satu bentuknya, banyak kosakata serapan bahasa Perancis ada dalam Darija. Anda tentu mengenal agak-agak sengaunya Mbappe kalau ngomong bahasa Perancis. Karakter sengau itu kadang membuat bingung saya, orang Maroko ini sedang ngomong Arab Darija apa Perancis. Ditambah lagi pada kedua bahasa ini dalam pengucapannya sama-sama ada bunyi huruf ghain.
Belum lagi saya memang punya masalah khusus dengan si bahasa Perancis ini. Antara yang tertulis dengan cara pengucapannya sering mengundang emosi saja. Saya jamin Anda sering terpapar tulisan Renault atau Peugeot tetapi tidak pernah benar mengucapkannya. Ngapain ditulis begitu kalau dibacanya kira-kira berbunyi Ghenelt dan Pezhet (huruf e-nya dibaca berbunyi seperti makanan Brem dari Madiun). Anda bisa buktikan di Google Translate, ketikkan dua merek mobil itu, klik ikon pengeras suara, lalu dengarkan baik-baik. Bisa jadi, satu kata dalam bahasa Perancis yang pengucapan kita kemungkinan besar mendekati benar hanyalah Carrefour!
Kedua, orang Maroko punya kebiasaan menghilangkan bunyi huruf vokal yang harakatnya pendek. Mereka juga agak “alergi” mengucapkan bunyi huruf yang berharakat kasrah (bunyi i). Mereka kayaknya cinta mati dengan huruf yang berbunyi fathah (bunyi a). Contoh penghilangan huruf vokal bisa dilihat dalam pengucapan kata Sulaiman, yang menjadi Sliman atau Sleman saja. Besi dalam bahasa Arab itu hadid, dalam Darija menjadi hdid.
Dua vokal berjejer, yang diucapkan bisa jadi hanya satu. Rumah, saya tahunya ya bait atau bayt. Di sini mereka melafalkannya dengan bit. Atau, dalam kata ra`sun (kepala) yang menjadi ras, konsonannya malah dihilangkan. Contoh lainnya adalah akala (makan) yang berubah menjadi kla. Jangan-jangan grup band legendaris Indonesia, Kla Project itu kalau manggung di sini dikira artinya makan proyek.
Kalau cerita tentang kesukaan orang Maroko dengan harakat fathah, kita bisa mengambilnya dari nama ibukota Maroko, yang sejak SD saya hapal dari buku RPUL adalah kota Rabat. Nama ini berasal dari bahasa Arab al-Ribāth. Saya tahu ini ketika membaca plang penunjuk arah pas melewati tol kapan hari. Al-Ribāth berubah menjadi Rabat karena orang Maroko memang lebih suka fathah ketimbang kasrah. Contoh lain adalah ucapan selamat makan. Bahasa Arab Fushhah-nya adalah bis-shihhah war-rahah. Dalam Darija, ia menjadi bsahhah warahah. Perhatikan bagaimana sihhah berubah menjadi sahhah.
Namun dari semua itu, yang membuat saya geleng-geleng kepala adalah bagaimana dua atau tiga kata dengan enaknya diringkas. Contoh yang sederhana seperti pertanyaan ke mana, biasanya dalam bahasa Arab itu fi ayna, orang Maroko meringkas cukup dengan fin. Misal lain adalah, jika 25 tahun lalu di Solo saat saya menanyakan harga belanjaan di kantin pondok dengan kam tsaman hadza, di sini kalimat pertanyaan yang aslinya ayyu syai` hal oleh orang Maroko dikremus menjadi hanya shal.
Penghilangan vokal pendek dan peringkasan dalam Darija ini merupakan pengaruh masyarakat asli Afrika Utara dari Pegunungan Atlas. Mereka adalah orang-orang Amazigh, yang oleh orang Eropa disebut–dengan panggilan yang tidak enak bagi saya–Barbar atau Berber. Mereka berbahasa Tamazight yang mempengaruhi bahasa Arab di wilayah Maghrib. Bahasa Tamazight juga memiliki aksaranya sendiri. Masyarakat Amazigh pernah berkuasa secara politik selama 300 tahun sejak tahun 1050 sampai 1269 Masehi dalam dua Dinasti: Al-Murabithun dan Al-Muwahhidun. Wilayah kekuasaannya juga pernah mencapai Andalusia di Spanyol dan Portugal.
Anda pasti tahu orang-orang Amazigh berikut ini: Hakim Ziyech, Ibrahim Affelay, Samir Nasri, Karim Benzema, dan Zinedine Zidane! Ya, para pesepakbola idola Anda ini semua bukan orang Arab.
Tambahan serapan kata asing lain dalam Darija selain dari bahasa Tamazight dan Perancis–karena Maroko bertetangga dengan wilayah Eropa selatan–adalah kata-kata dari bahasa Spanyol dan Italia. Ini terjadi khususnya di wilayah Maroko pesisir utara. Sekali lagi bayangkan, sudahlah memori kosakata Arab Fushhah saya terbatas, bahasa Perancis nol puthul, apalagi Tamazight, ini ketambahan Spanyol dan Italia. Akan bertambah mumet pengetahuan Darija saya, kalau saya dolan ke kota Tangier kelak.
Atas kemumetan yang saya alami itu, saya yakin bisa diatasi seandainya saya lancar bicara Fushhah seperti Cak Fuad. Karena para khatib saat khutbah jum’at di sini menggunakan Fushhah, maka asumsi saya orang-orang Maroko paham Fushhah. Simaklah di sini, bagaimana Cak Fuad–seperti ketika di Mesir–mengantarkan Gamelan KiaiKanjeng menyapa warga Maroko di dua kota, Rabat dan Ifrane, 10 tahun lalu. Setiap nomor yang dibawakan KiaiKanjeng, diklasani dulu oleh Cak Fuad sehingga komunikasi musik berjalan dengan baik dan direspons dengan antusias. Cak Fuad dengan jelas dan indah menyampaikan pengantar itu di “hadapan” sang Amirul Mu`minin pemimpin al-Mamlakah al-Maghribiyyah, Raja Maroko, Habib Muhammad bin Hasan al ‘Alawi–yang sangat dihormati rakyatnya laiknya umat Muslim nusantara menghormati para habaib.
***
Seandainya Cak Fuad membaca tulisan ini, mungkin beliau akan memarahi saya. Karena semua yang saya ungkapkan ini terlalu berlebihan bagi beliau. Cak Fuad tidak suka semua yang berlebihan. Beliau sudah cukup dengan 7, tidak perlu 8 apalagi 9. Segala pengabdian sampai tingkat internasional itu, bagi beliau hanya bernilai 7. Semua biasa saja dan tidak membuat Cak Fuad dumeh. Pengabdian beliau tidak perlu diceritakan dengan hiperbolis. Saya tidak boleh gampang gumunan.
Saya hanya orang awam yang minder. Untuk menaikkan kepercayaan dan kebanggaan diri sebagai muslim Indonesia, saya hanya bisa gondhelan beliau menapaki totalitas ‘abdun, seorang hamba Allah menuju aktualisasi khalifatullah-nya Cak Fuad. Prinsip beliau bahwa pencapaian yang beliau tapaki itu hal yang ‘biasa saja’, harus kami–redaksi CakNun.com dan MyMaiyah.id–hadapi dengan strategi melingkar untuk hanya sekadar memperoleh cerita dari beliau. Kalau bertanya langsung ke Cak Fuad tidak akan diceritakan.
Alih-alih kepada kami, Mbah Nun sering bercerita tatkala Cak Fuad pernah diangkat menjadi Dekan Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, keluarga besar di Menturo tidak ada yang mengetahuinya. Sekalinya tahu, Cak Fuad sudah habis masa jabatan dekannya. Tetapi kalau kami tidak mengabarkan keteladanan pengabdian Cak Fuad kepada Jamaah Maiyah sebagai bentuk tahadduts bin-ni’mah, Mbah Nun akan duka ke kami.
Seperti secuplik cerita lain yang agak detail tentang kiprah internasional beliau tadi, saya mendapatkannya justru dari Jawa Pos. Tetapi memang begitulah keteladanan sederhananya Cak Fuad yang belum bisa saya jadikan lelaku hidup.
Interaksi agak intensif saya dengan Cak Fuad sudah sangat lama, yakni pada akhir tahun 2018. Ketika itu saya diutus Progress Jogja untuk mendampingi saat beliau menjadi salah satu pembicara dalam simposium “Decoding the Labyrinth of Conflict” di Unair Surabaya. Waktu itu Cak Fuad masih bugar. Beliau bercerita ke saya akan menjalani operasi penanganan hernia.
Saya sangat jarang menghubungi Cak Fuad bila tidak ada keperluan yang begitu penting. Kalaupun pun menghubungi, saya harus disuruh Mbah Nun atau Cak Zakki dulu. Saya sangat sungkan kepada Cak Fuad sampai tidak berani sembarangan WA beliau. Hingga akhirnya saya harus mengabdi dari jauh di Chicago pada pertengahan 2019, saya belum diberi kesempatan pulang sama sekali dan sowan sampai sekarang. Empat tahun terakhir, dari jauh saya sudah ditinggal pergi tiga Marja’: Syaikh Kamba, Kyai Muzammil, dan kini Cak Fuad.
Saya buka hape. Saya cek komunikasi terakhir saya dengan Cak Fuad ternyata juga sudah cukup lama. WA terakhir saya dengan beliau terekam tanggal 31 Desember 2021. Beliau bertanya posisi saya di mana. Saya mengabarkan bahwa saya sedang di Chicago. Kemudian saya menyampaikan rencana istri saya yang ingin berbincang sedikit dengan Cak Fuad dalam rangka penelitian disertasinya tentang Tadabbur di University of Chicago. Beliau belum menjawab. Saya tidak berani menanyakannya kembali. Saya sungkan dan merasa tidak enak. Saya wadul ke Mas Helmi yang menenangkan saya, mungkin Cak Fuad sedang diterapi rutin untuk memulihkan kesehatannya. Mudah-mudah Cak Fuad tidak marah ke saya.
Seharusnya beliau sudah saya sapa dengan Mbah atau minimal Pakde. Cak Nun saja sudah dipanggil Mbah, tapi saya masih menyapa dengan Cak kepada beliau berdua. Karena dari awal sudah kadung Cak, akhirnya keterusan.
Saya baca kembali WA terakhir itu. Saya masih menyapa beliau Cak Fuad.[]
Marrakesh, 31 Januari 2023