MESTINYA, PUASA
Sepertinya tak kenal lelah, para pelaku pasar sangat memanfaatkan momentum Ramadhan sebagai ajang menggelar lapak mereka. Bagi beberapa pemangku kebijakan yang terkait, momentum ini juga dipakai untuk menunjukkan kesiapsiagaan mereka dalam meyambut bulan suci Ramadhan sekaligus momentum Lebaran. Stok beras cukup, stok minyak goreng cukup, stok BBM cukup sampai pada kesiapan jalan tol yang sudah bisa dilalui pada lebaran tahun ini.
Masih jauh dari Ramadhan ketika iklan tentang syrop, iklan obat kumur, iklan obat sakit maag, iklan pasta gigi, sampai iklan sarung yang semuanya berlabel untuk menunjang kelancaran beribadah Ramadhan.
Bukankah selama bulan puasa kita diwajibkan berpuasa. Artinya, kita diwajibkan menahan diri, menahan hawa nafsu, menahan tidak berbelanja barang-barang yang bukan kebutuhan primer. Bahkan kebutuhan primer yang berupa ‘pangan’ pun kita tekan. Kita kurangi dengan cara berpuasa. Dalam hal makan dan minum mestinya konsumsi kita berkurang setidaknya 30% – 40% dari konsumsi kita sehari hari. Makan sahur paling hanya sedikit atau bahkan beberapa di antara kita sahur dengan segelas air putih saja. Atau, paling banter dengan segelas teh hangat. Makan siang jelas tidak. Jajan siang hari juga tidak. Ngemil juga tidak.
Yang menjadi ‘semacam’ pesta adalah ketika berbuka puasa. Aneka hidangan tersedia, atau diadaadakan. Aneka minuman, ada jus, ada es buah, teh hangat, kolak pisang, stup jambu. Kemudian snack, aneka macam jajan pasar, kemudian makan besar. Demikian berulang-ulang tiap hari selama bulan suci Ramadhan yang mestinya adalah bulan puasa. Mestinya!
Tetapi melihat perilaku kita yang seperti ini rasanya kok bukan bulan puasa, tetapi bulan pesta. Lha wong biasanya makan siang dengan menu SKJ (sego karo jangan–nasi dan sayur) plus tempe dan krupuk, tetapi selama Ramadhan ini menu malah komplet yang tersedia layaknya hidangan kalo kita sedang kondangan manten. Kalau pinjam istilah Mas Nevi KiaiKanjeng, ini adalah USDEK (Unjukan, Sop, Dhahar, Es, Kondur)–minum, makan sop, makanan utama, es, dan pulang.
Padahal Kanjeng Nabi tidak mengajarkan demikian. Cukup dengan satu biji kurma. Kalau mau lebih ya 3 atau 5 biji, tetapi itu sangat jarang. Kemudian minum segelas air hangat. Sudah!
Ini baru tuntunan soal perut. Belum yang lain-lain yang tiap hari ada di depan mata kita. Berpuasa, menahan diri! Memperbanyak sedekah, memperbanyak shalat malam, taddarus Al-Qur’an (memahami – mentadabburi), banyak melek, dengan segala amalan-amalannya.
Kalau melihat perilaku kita dalam berbuka, maka perilaku kita ini sangat jauh dari tuntunan Kanjeng nabi. Pasti ada yang salah dengan kita ini. Pasti! Marilah kita bercermin, melihat diri kita sendiri, sudahkah kita benar-benar berada di jalur tuntunan Kanjeng Nabi. Atau bahkan semakin jauh?