Menyelami Ideologi “99 untuk Tuhanku”

Puisi dapat dipandang sebagai dokumen sosial. Meski tak berpretensi menarasikan sejarah ataupun jurnalisme, puisi mengejawantahkan peristiwa sosial dan politik. Tentu karya sastra, sejarah, dan jurnalisme, menurut pengertian formal, adalah tiga genre yang dipisahkan jarak: sastra beroperasi dalam dimensi rekaan, sedangkan sejarah serta jurnalisme bekerja di ruang kenyataan. Namun, pengertian formal ini segera disusul dengan kemunculan wacana pascamodernisme bahwa fiksi dan nonfiksi hanya persoalan bentuk. Bahkan terkondisikan berkat kuasa-politik rezim tertentu.

Kekuasaan yang koersif lihai menggeser kedudukan fiksi dan nonfiksi. Sebab, kata Seno Gumira Ajidarma (2005), “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan.”

Lalu dilanjutkan, “jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, tetapi kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan. Menutupi fakta adalah tindakan politik, menutupi kebenaran adalah perbuatan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi.”

Di antara karya sastra Cak Nun, 99 untuk Tuhanku (2015[1983]) acap kali dikategorikan sebagai puisi sufistik. Kategori ini tidak sepenuhnya keliru tetapi cenderung simplikatif. Puisi tersebut memang banyak mengamsalkan hubungan subjek dan Tuhan, namun sarana tematiknya sarat akan nuansa sosial-politik. Pandangan dikotomis seperti puisi-puisi sufistik yang apolitis dan lebih menekankan relasi esoteris manusia dengan Tuhannya agaknya tak berlaku bagi karya-karya Cak Nun. Karyanya condong mendialogkan antara dunia empiris, sunyata, dan awang-uwung.

Cak Nun lebih lanjut mengutarakan di kata pengantarnya, “suatu sembahyang sederhana; usaha untuk merebut diriku sendiri dari tengah cengkeraman kehidupan, kebudayaan, peradaban, politik, ekonomi, persaingan kalah-menang serta berbagai macam kecenderungan yang kulihat makin kurang memberikan dan mengarahkan dirinya kepada Allah.” Penggalan kata pengantar ini menunjukkan sikap sang pengarang untuk mengatasi dua wilayah sekaligus, suatu kritik atas keadaan lingkungan sosial-politik. Prakondisi sosial-politik ini merujuk pada kekuasaan rezim Orde Baru.

Hal inilah yang antara lain mendorong Ilham Rabbani meneliti 99 untuk Tuhanku yang dihubungkannya dengan peristiwa sosial-politik waktu itu. Ia menulis Ideologi Kepengarangan dalam Buku Puisi 99 untuk Tuhanku Karya Emha Ainun Nadjib di Jurnal Mimesis (Januari, 2021). Ideologi kepengarangan tak merujuk pada ekspresi ideologis Cak Nun. Akan tetapi, ideologi kepengarangan ini bersumber dari “pengolahan atas seperangkan konstituen” yang secara estetis beroperasi di dalam karya-karyanya (lihat, hlm. 40).

Pembentukan ideologi pengarang Cak Nun terbentuk karena bentuk aksi-reaksi “ideologi umum” waktu itu. Seturut pandangan Goldman (Faruk, 2016), Ilham berpendapat, “fakta kemanusiaan terkumpul dalam diri EAN sehingga menjadikan dirinya sebagai subjek trans-individual, yakni subjek sebagai hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia.”

Perspektif ini memberikan perhatian lebih lanjut: karya puisi Cak Nun memproduksi ideologi teks, tetapi ia bukan ideologi sang pengarang melainkan cara sang penyair dalam mengolah ideologi umum menjadi serangkaian teks. Terminologi ideologi sendiri didefinisikan menurut Eagleton dan Milne (1996) sebagai gagasan yang menempatkan karya sastra niscaya mengandung ideologi yang diproduksi oleh tatanan dan struktur di luarnya. Jadi, puisi Cak Nun dianggap menghasilkan ideologi berdasarkan dialektika antara teks karya sastra dan struktur di luar karya sastra.

Ilham membagi pokok bahasannya menjadi empat pokok. Pertama corak produksi umum yang memfokuskan pada genealogi kumpulan puisi 99 untuk Tuhanku di masa kekuasaan Orde Baru. Kedua, corak produksi sastra yang menitikberatkan pada penyair dan dunianya, sejauh mana pengarang mengolah berbagai elemen seperti persoalan sosial, politik, ideologi, tradisi, sejarah, dan lain-lain di dalam karyanya.

Ketiga, ideologi umum yang merupakan ideologi sosial yang dominan di Indonesia. Keempat, ideologi kepengarangan yang mengkonsentrasikan posisi Cak Nun secara biografis, baik perjalanan hidupnya maupun habitus yang membentuknya. Ilham menyimpulkan humanisme Cak Nun merupakan kombinasi dari religiositas Islam yang berpengaruh besar terhadap perjalanan kemanusiaannya dari persoalan sosial, intelektual, kultural, hingga spiritual.

***

Potret kekuasaan otoriter Orde Baru tersibak dalam puisi berjudul 47—setiap puisi 99 untuk Tuhanku diberi judul angka. Penggalannya sebagai berikut.

impian-impian sesaat, telah menjemukanku, tipuan-tipuan sikap, kebijaksanaan-kebijaksanaan teknis untuk menyelaraskan perjalanan, kompromi dan korupsi yang dirasionalisasi, tak lagi merupakan lelucon yang dibutuhkan. keyakinan sesobek-sesobek, takaran makna dan nilai yang tak lagi bisa dipelihara, fragmen-fragmen kemunafikan, kolase peradaban, bunuh diri kebudayaan, kebutuhan hidup yang dipaksakan dan dikendalikan, keraguan terhadap arah dari kerja keras, minuman-minuman zaman yang merangsang dan memabukkan, buku-buku yang membeku, pidato-pidato nyinyir dan sepotong sajak yang tanpa darah, kini telah sampai pada wujudnya sebagai keletihan yang sia-sia, bicara besar yang pengap-gelap, serta gerak yang mandek.

(Nadjib, 2015:52)

Pemilihan diksi atas penggalan di atas memberikan kesan adanya dominasi di berbagai lini. Praktik dominasi itu dirasionalisasi secara teknis, bahkan pada taraf tertentu menormalisasi kecenderungan pemusatan. Kekuasaan yang hegemonik Orde Baru tersebut menurut sitiran Ilham penuh “kompromi, korupsi, kemunafikan kekuasaan, ‘bunuh diri’ kebudayaan, pemaksaan dan pengendalian terhadap kebutuhan hidup” (hlm. 34).

Ilham memberikan keterangan lebih lanjut bahwa “corak produksi umum” di bawah kungkungan Orde Baru yang demikian memicu terbentuknya relasi sosial kelas bawah dalam memproduksi karya sastra “sebagai siasat di tengah pengontrolan ekstra ketat terhadap pers” dan dengan demikian puisi Cak Nun mencerminkan betapa karya sastra merupakan jalan “untuk mengontestasikan ideologi.”

Sementara dalam corak produksi sastra, menurut Ilham, karya-karya Cak Nun tak mengalami penyitaan, sekalipun wacana yang diartikulasikan Cak Nun sangat tegas memperlihatkan sikap kritis sekaligus prinsip atas dinamika politik saat itu. Lebih lanjut dikatakan, “dampak yang diterima oleh EAN sebagai salah satu sastrawan yang cukup keras dan lantang menyuarakan kegelisahannya tentang ketertindasan rakyat, justru berupa pencekalan berkali- kali ketika hendak tampil membacakan puisi dan mementaskan drama di berbagai kota” (hlm. 47).

Sayangnya, Ilham tidak menelusuri lebih mendalam sejauh mana pencekalan itu berlangsung serta konsekuensi pencekalan terhadap status karya sastra sebagai konsumsi masyarakat. Walaupun mengalami pencekalan, karya-karya Cak Nun tetap digandrungi banyak orang, bahkan karya itu merupakan pantulan aspirasi kebanyakan orang yang tertindas secara ekonomi-politik.

Di samping itu, Ilham tidak mengelaborasikan posisi ideologis pengarang terhadap apa yang waktu itu ramai diperbincangkan sebagai sastra kontekstual. Bagaimana karya sastra Cak Nun sangat kontekstual bukan sekadar menyuarakan khalayak tertindas, melainkan juga berpihak secara sosial kepada mereka yang teralienasi itu. Ilham tidak menyinggung di dalam artikelnya tentang aktivisme sosial Cak Nun bersama rakyat kecil melalui karya sastra maupun seni pertunjukan.

Padahal, Ilham telah membuka uraian khusus mengenai ideologi pengarang dan dunianya, sedangkan di bagian metodologi ia berkomitmen menggunakan gagasan Eagleton mengenai “teori sastra materialistik-historis” (hlm. 41) dengan memperhatikan relasi inheren antara sejarah, ideologi, dan teks. Pada titik itulah Ilham kurang komprehensif di dalam tulisannya. Meskipun demikian, penelitian ini cukup penting untuk membuka diskursus karya-karya Cak Nun melalui teori kritis, terutama dengan memilih objek material 99 untuk Tuhanku dan ideologi kepengarangan sebagai objek formalnya.

Satu poin teoretis yang cukup berhasil Ilham kemukakan adalah analisis 99 untuk Tuhanku yang dikembangkan dengan teori sastra Eagleton itu menunjukkan adanya transformasi dari realitas sosial-politik kepada bentuk puisi melalui pengolahan konstituen eksternal. Semoga kajian ini membuka penelitian-penelitian berikutnya yang bukan hanya mengkaji sastra sebagai karya semata, melainkan juga mengaitkannya dengan persoalan-persoalan sosial-politik di sekelilingnya.

Lihat juga

Back to top button