MENGGELANDANG

Merawat perdamaian memang tidak semudah membalik gadget di atas meja, karena perdamaian terjalin dengan proses alamiah. Banyak pahit getir yang mesti ditempuh dengan segala daya kemampuan sikap, keputusan, tindakan, menyiasati kerukunan agar tetap utuh, demi kemaslahatan yang lebih besar dengan tidak mudah gegabah menyimpulkan segala peristiwa.

Saat keadaan aman tentu semua baik-baik saja. Lapar dahaga bisa terkendali dengan sedikit merogoh saku, maka bereslah kondisi badan jasmani. Tetapi hidup bukan hanya persoalan lapar kenyang, kaya miskin, sukses gagal, atau menang kalah. Kematangan sikap menentukan perilaku untuk mencapai keseluruhan itu. Butuh waktu dan kemauan guna meraih pelajaran Babul Hikmah dari segala kejadian menimpa diri. 

Mari kita sinau bagaimana saat Emha sebelum Cak Nun. Berpuluh-puluh tahun lalu ketika beliau muda, saat itu beliau di-gembleng Allah menjalani peran hidup sebagai gelandangan atau menggelandang. Maaf, jangan membayangkan gelandangan sebagaimana umumnya. Beliau sejak kecil sudah sangat cukup bekal ilmu pun wawasan pengalaman luas. Sehingga jelas beda, peran yang beliau tempuh itu dapat dimaknai  sebagai menjalankan peran fungsi yang disiapkan oleh Allah.

Emha bukan sosok manusia manja. Saat masa kecil beliau berada di desa kelahirannya. Beliau senang menggembala kambing, dan suka membantu orang lain. Bahkan usia 12 tahun beliau sudah pandai menulis Syair, Esai, dan sebagainya. Lebih jelas bisa dicari informasi tentang masa kecil beliau. Intinya beliau bukan pemalas. 

Sekali lagi mohon maaf, bukan berarti sok tahu, kami menuangkan isi tulisan ini kami dapat dari saat menemani beliau ketika dalam perjalanan Gerilya Sinau Bareng. Seringkali beliau mengisahkan perjalanan hidupnya saat berada dalam mobil. Di situ telinga, pikiran, dan hati sengaja kami siapkan guna menimba ilmu dan hikmah dari hikayat-hikayat yang beliau sampaikan. Terkadang dengan bahasa jelas lugas pun tegas. Tak jarang beliau menyampaikannya dengan bahasa Majaz atau Sanepan. Jika beliau dawuh tiada sedikit pun yang sia sia, semuanya penuh makna. 

Lihat juga

Di antaranya adalah: kunci dalam hutan, menelan kepahitan, cepat dan kebablasan, mencari korek api, melipat bumi, dan masih banyak lagi yang lain. Mungkin kalimat itu terkesan ringkas pun sederhana, namun coba kita masuk dan cermati tiap kalimat yang beliau dawuhkan. InsyaAllah di dalamnya terdapat wawasan luas, jika kita mau menjadikan pegangan hidup sehari-hari. 

Pada masa menjalankan fungsi manusia gelandangan, beliau pernah tidur di ruang terbuka, di atas “lincak” sembari menemani orang-orang jalanan, di mana kebiasaan beliau tidak akan bisa tidur sebelum orang-orang di sekitar beliau aman. Namun lagi-lagi jangan mengira beliau tidur sebagaimana kita. Boleh jadi jasad beliau tidur, namun jiwa hati beliau selalu terjaga dan waspada (Standby). 

Ketika semua sedang tertidur lelap, tiba-tiba datang seseorang “mengambil” jaket beliau yang dijadikan sebagai bantal di kepala. Dengan pelan dan hati-hati orang itu mengambil jaket beliau. Namun sebenarnya beliau terjaga, meskipun dengan berpura-pura tidur. Bahkan beliau meringankan kepala seolah-olah agar mempermudah orang itu mengambilnya. 

Kenapa? Andaikan beliau lebih menyelamatkan jaket miliknya, tentu akan terjadi kegaduhan di saat orang di sekitar sedang tidur nyenyak setalah penat bekerja seharian. Dan waktu berjalan seakan tidak terjadi gejolak. Tentu beliau sangat memahami situasi saat itu. Mengapa lebih memilih tindakan diam? Untuk keperluan apa orang mengambil barang yang bukan miliknya. Hanya Allah dan beliau yang mengerti maksud kejadian itu. 

Terkadang Allah meletakkan manusia pilihan di tempat yang bukan semestinya, namun tidak banyak manusia siap dan mau menerima guna menjalankan peran fungsi yang tidak sama dengan khalayak umum. 

(Q. S Al Qalam: 44)

  فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَٰذَا الْحَدِيثِ ۖ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.”

(QS Al Isra: 82).

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارٗا

Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian,” 

Surabaya 12-22/10/22

Lihat juga

Back to top button