MENGEMBARAI MAKNA TAKBIR DI KENDURI CINTA
(Liputan Majelis Ilmu Kenduri Cinta Jakarta, Jumat 14 April 2023)
Seminggu sebelum berlebaran, Kenduri Cinta digelar. Mungkin, ada sebagian jamaah yang memutuskan mudik lebih awal, sehingga tidak berkesempatan Maiyahan di Kenduri Cinta kali ini. Tapi, tidak sedikit pula yang datang dari luar kota Jakarta, untuk menuntaskan rindu, duduk melingkar bersama di Kenduri Cinta.
Jumat (14/4), tema EVAKUASI KEFITRIAN menjadi tema di Kenduri Cinta. Tema yang memang tidak bisa dipisahkan dari momen kebahagiaan Idul Fitri. Bulan Ramadhan selalu merupakan momen yang dirindukan juga bagi ummat muslim di seluruh dunia. Ada banyak hal yang dikangeni dari suasana Ramadhan. Namun sesungguhnya, ada tujuan yang jelas dari ibadah puasa yang diperintahkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman. Benar, puasa ini hanya diperintahkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman, maka ayatnya pun sengat jelas; yaa ayyuha-l-ladziina aamanu kutiba ‘alaikumu-sh-shiyaam kamaa kutiba ‘ala-l-ladziina min qoblikum la’allakum tattaquun.
Malam sebelumnya, Mbah Nun bersama KiaiKanjeng berada di Kalialang, Gunung Pati, Semarang untuk Sinau Bareng bersama jamaah Maiyah di Semarang. Setelah acara, Mbah Nun bergegas menuju Jakarta bersama teman-teman penggiat Kenduri Cinta yang menjemput Mbah Nun sejak dari Yogyakarta sore harinya. Perjalanan ditempuh menggunakan jalur darat, sempat istirahat sejenak di rest area Cikamuning untuk sahur, lalu perjalanan dilanjutkan dan sampai di Jakarta sekitar jam 7 pagi.
Sementara itu, teman-teman penggiat Kenduri Cinta yang lain sejak Kamis malam mempersiapkan hal-hal teknis seperti tenda dan panggung yang dipasang oleh pihak vendor. Lalu lintas Jakarta akhir-akhir ini memang penuh kemacetan luar biasa. Akibatnya, persiapan Kenduri Cinta untuk sound system pun agak tersendat, karena kendaraan logistik pengangkut peralatan tata suara itu terjebak kemacetan di jalanan ibukota.
Hujan sempat turun dari langit Jakarta pada Jumat sore, tidak terlalu deras intensitasnya, tetapi cukup menyejukkan suasana yang sedari pagi terik matahari sinarnya sangat menyengat. Penataan sound system pun dilakukan dan selesai sekitar jam 17.00 WIB. Kemudian, sesuai rundown yang sudah disusun sebelumnya, Kenduri Cinta edisi April ini diawali dengan Tadarrus Al-Qur`an dan Khataman 30 Juz bersama-sama. Beberapa jamaah yang hadir lebih awal ikut terlibat. Di bulan Ramadhan kali ini, penggiat Kenduri Cinta memang memiliki agenda rutin seminggu sekali untuk Khataman, dan Khataman yang dilaksanakan di awal Kenduri Cinta edisi April lalu adalah Khataman edisi keempat, sekaligus sebagai edisi pamungkas di bulan Ramadhan kali ini.
Setelah selesai Khataman, penggiat Kenduri Cinta dan jamaah yang hadir lebih awal menikmati sajian buka bersama setelah adzan maghrib berkumandang dari pengeras suara Masjid Amir Hamzah, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Suasana syahdu sore itu semakin terasa, apalagi mayoritas penggiat Kenduri Cinta adalah para pendatang yang sebentar lagi akan melakukan tradisi mudik ke kampung halaman. Rasa rindu untuk berjumpa dengan sanak saudara dan handai tolan di kampung sudah tidak tertahankan lagi sebenarnya untuk diluapkan, tetapi mereka memilih menunda sejenak untuk bersama-sama Maiyahan dulu sebelum pulang di edisi Lebaran tahun ini.
Bakda Isya’, Kenduri Cinta dimulai dengan tadarrus Al-Qur`an Juz 30. Setelahnya, sesi mukadimah pun digelar untuk membahas tema Kenduri Cinta “EVAKUASI KEFITRIAN”. Adi Pudjo, Pramono, Amien Subhan dan Hadi berada di panggung untuk mewedar tema kali ini. Masing-masing menyampaikan persepsinya mengenai tema kali ini. Adi Pudjo memiliki pandangan bahwa evakuasi adalah satu kondisi di mana seseorang membutuhkan pertolongan untuk diselamatkan. Dan saat dilakukan evakuasi, tidak serta merta dilakukan begitu saja, ada tahapan-tahapan analisis hingga evaluasi. Bisa dilihat saat ada peristiwa gempa bumi atau gunung meletus, misalnya, aparat terkait pasti akan mengidentifikasi terlebih dahulu, baru kemudian memutuskan apa yang harus dilakukan.
Bagi Adi Pudjo, Maiyah ini sendiri merupakan salah satu media untuk kita mengevakuasi diri kita. Di Maiyah, kita memiliki kemerdekaan dan keterbukaan forum yang begitu bebas. Di Kenduri Cinta, kita memiliki hak untuk berbicara apapun saja dan juga sekaligus mempertanggungjawabkan apa yang kita sampaikan. Jika ada yang tidak setuju, bisa langsung disampaikan di saat yang sama. Budaya tanding gagasan seperti ini yang masih kita jaga bersama-sama di Kenduri Cinta. Budaya saling beradu gagasan, bukan untuk mencari siapa paling benar, tetapi masing-masing akan memfilter mana informasi yang memang benar dan bermanfaat untuk semua orang.
Hadi sendiri memandang bahwa evakuasi dilakukan dalam keadaan darurat, bukan pada kondisi normal. Dan proses evakuasi harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan perhitungan yang tepat. Karena, jika tidak dilakukan dengan baik, yang terjadi kemudian justru bertambahnya jumlah korban. Sementara dari kata Fitri, Hadi memiliki pemaknaan mengenai kesucian. Apa itu kesucian, ini yang harus kita definisikan bersama-sama. Apakah bersih itu suci? Apakah hanya bersih yang memiliki makna suci? “Semoga malam ini kita bisa menemukan makna yang baru dari kata suci ini,” ungkap Hadi.
Pramono kemudian menyambung paparan Hadi, bahwa untuk melakukan evakuasi hal yang juga harus dipersiapkan adalah tempat evakuasi. Jika di sebuah gedung besar, ada assembly point yang sudah ditetapkan sejak awal sebagai tempat pertama untuk evakuasi. Berbicara mengenai kefitrian, Pramono mengambil kata ifthar sebagai pijakannya. Nah, ifthar sendiri artinya adalah makan. Maka sering kita mendengar bahwa istilah selain buka bersama adalah ifthar. Selanjutnya, untuk memberi sejenak jeda, grup musik Rangkai tampil di panggung Kenduri Cinta untuk membawakan beberapa nomor lagu.
Makna Kenduri Cinta Bagi Diri Kita
Tri Mulyana melempar satu pertanyaan mendasar kepada Jamaah Kenduri Cinta malam itu; “Apa impact paling nyata dari Kenduri Cinta bagi kita?”. Banyak yang mengatakan bahwa Kenduri Cinta adalah oase yang menyegarkan di Jakarta. Bagi beberapa jamaah, berkumpul dan duduk melingkar dengan datang ke Kenduri Cinta sebulan sekali adalah momen penuntasan rindu. Bahkan bisa dikatakan, meskipun Mbah Nun tidak hadir, mereka tetap akan datang. Karena ada atmosfer yang berbeda yang dirasakan saat kita datang untuk duduk melingkar bersama di Kenduri Cinta. Tapi, lebih dari itu, Tri Mulyana memantik satu pertanyaan di awal, agar kita senantiasa waspada dengan apa yang kita lakukan secara rutin di Kenduri Cinta ini. Agar tidak kemudian Kenduri Cinta hanya sekadar menjadi satu assembly point untuk evakuasi kegundahan, keresahan, kegalauan, kesedihan untuk kemudian kita transformasikan menjadi kegembiraan, ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan.
Sebelum membahas hal tersebut, Ian L. Betts sedikit mengulas kondisi global hari ini. Disampaikan oleh Ian L. Betts bahwa selain Covid-19, konflik Rusia-Ukraina masih berlangsung dan masih bergejolak, yang mau tidak mau pada akhirnya berdampak pada kondisi global, karena baik Rusia maupun Ukraina merupakan negara supply chain yang menyalurkan beberapa kebutuhan negara lain di dunia. Selain itu, kembali memanasnya hubungan antara China dengan Amerika pun memiliki dampak tersendiri terhadap kondisi geopolitik global saat ini.
Beberapa hal mengenai BRICS, misalnya dijelaskan oleh Ian L. Betts menjadi satu keniscayaan yang mempengaruhi kondisi global. Selain itu juga ada poros Indopacific yang digagas oleh Amerika untuk menyaiki konsep OBOR (One Belt One Road) yang sudah digagas oleh China sebelumnya. Sementara itu, dalam dunia pertahanan, Inggris bersama Amerika dan Australia membangun satu kekuatan pertahanan yang bernama AUKUS. Beberapa hal itu yang sekarang terjadi dan cukup besar dampaknya pada kondisi global saat ini.
“Di Maiyah kita menemukan keindahan yang dipadukan dengan kebenaran dan kebaikan,” Ian L. Betts menceritakan sedikit pengalamannya beberapa waktu lalu ikut mendampingi Mbah Nun saat hadir di Maiyahan di Lumajang. Baginya, suasana Sinau Bareng di Maiyah adalah forum yang sangat otentik. Kita semua datang ke Maiyah dengan kesadaran bersama untuk belajar bersama, untuk menemukan kebenaran bersama-sama. Di Maiyah, kita menyingkirkan ego kita untuk kemudian secara sadar menerima pendapat orang lain.
“Ada sesuatu yang suci, ada sesuatu yang benar, ada sesuatu yang indah di Maiyah,” lanjut Ian. Di Maiyah, kita tidak hanya khusyuk mendengar narasumber menyampaikan gagasan-gagasannya, ada momen di mana kita khusyuk melantunkan wirid, bershalawat, bermunajat. Ada kalanya juga kita tertawa dengan celetukan-celetukan, celoteh jenaka. Ada saatnya kita juga menikmati sajian musik, puisi, teater, dan karya seni lainnya. Ada banyak dimensi yang kemudian membangun karakter kita melalui Maiyah secara langsung maupun tidak langsung. Secara kita sadari atau tidak kita sadari.
“Yang kita lihat paling nyata disini adalah kemampuan untuk bebas memilih. Misalnya; kebebasan untuk memillih dan menentukan untuk datang atau tidak ke Kenduri Cinta saat hujan turun,” Tri Mulyana menyambung apa yang disampaikan Ian L. Betts mengenai Maiyah sebelumnya.
Yoga, salah satu jamaah menyampaikan sedikit keresahan dan kegundahannya. Sebuah momen yang menurutnya sangat dilematis. Menurutnya, Indonesia adalah negara dengan tingkat kebahagiaan warganya cukup tinggi. Namun jika melihat kondisi ekonominya, itu jauh dari kata ideal. Namun, Yoga juga membandingkan, misalnya dengan Korea Selatan yang etos kerja warganya cukup tinggi, sehingga kekuatan ekonomi warganya pun cukup kuat. Sementara di beberapa negara-negara Eropa, dengan kondisi ekonomi yang kuat, ditopang penghasilan warganya yang cukup tinggi, namun juga pungutan pajak yang tidak kalah tinggi. Meskipun pada faktanya kita juga menyaksikan mereka mengelola pajaknya dengan baik, sehingga kesejahteraan warganya pun terjamin, mulai dari jaminan kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah rasa bahagianya akan sama jika kita pindah dari Indonesia ke negara-negara tersebut? Sepertinya belum tentu juga. Meskipun sebenarnya indeks kebahagiaan di Indonesia ini masih di peringkat 54 dunia. Jauh jika dibandingkan dengan Finlandia, bahkan Israel sekalipun.
Lain dengan pendapat Ian L. Betts. Secara personal, ia merefleksikan dengan Maiyah. Ia membandingkan, Mbah Nun yang rutin untuk datang ke forum Maiyahan, bahkan dalam sebulan ini saja ada setidaknya 5 tempat yang didatangi oleh Mbah Nun selain Kenduri Cinta. “Saya melihat wajah-wajah penuh senyum kebahagiaan di Maiyah,” ungkapnya. Bagi Ian, ketika datang ke Maiyahan, ia melihat wajah-wajah yang bahagia. Wajah-wajah yang segar. Mungkin memang ada persoalan hidup yang dihadapi, tetapi mereka mampu menemukan celah untuk tetap bahagia. Mereka tetap mampu menemukan momentum bahwa mereka harus bahagia. “Bagi saya, indeks kebahagiaan Indonesia itu nomor satu di dunia,” ungkap Ian L. Betts.
Ali Hasbullah kemudian menambahkan, menurutnya ada anomali memang dengan kondisi rakyat Indonesia yang notabene memiliki ketangguhan mental yang sangat teruji, namun tingkat kebahagiaannya menurut dunia hanya diakui 5% saja indeksnya. Sementara fakta di lapangan, kita melihat sendiri bagaimana rakyat di Indonesia sangat fight untuk bertahan hidup. Mbah Nun sendiri sering memberi perumpamaan; Punya uang 1 juta untuk hidup sebulan, alhamdulillah. Punya uang 500 ribu, yaaa Alhamdulillah. Punya uang 100 ribu, yaa cukup. Hanya ada 10 ribu di saku, yaa dicukup-cukupkan. Ada banyak metode yang dimiliki oleh orang Indonesia untuk mencapai kebahagiaan dalam dirinya. Ada banyak dimensi kebahagiaan yang bisa diraih oleh orang Indonesia, yang sebenarnya tidak bisa dijangkau dengan matrik ilmu modern.
Ali juga menyoroti kejadian akhir-akhir ini, di mana kasus korupsi di Indonesia kembali terkuak. Bahkan kasus yang terjadi di Ditjen Pajak, terbongkar dari peristiwa yang konyol; cinta monyet. Sementara itu, respons yang disampaikan oleh Pemerintah setelahnya menurut Ali Hasbullah adalah respons yang juga tak kalah konyol. Sudah jelas isu utamanya adalah korupsi, himbauan yang seharusnya disampaikan tentu saja jangan korupsi. Tetapi sebaliknya, himbauan yag disampaikan oleh pemerintah adalah; jangan hidup bermewah-mewahan. Berarti, boleh korupsi asalkan tidak hidup bermewah-mewahan dan dipamer-pamerkan di media sosial.
“Yakinlah dengan Maiyah ini Anda berperan besar dalam kosmos perubahan yang terjadi, walaupun secara material mungkin kita tidak melihat hitungan fakta kenyataannya,” Ali Hasbullah memungkasi.
Setelah jeda 1 lagi kembali dari Rangkai, Mbah Nun turut bergabung di forum untuk diskusi sesi selanjutnya. Malam sebelumnya (13/4), Mbah Nun berada di Semarang, tepatnya di Kalialang, Gunung Pati untuk Sinau Bareng dengan jamaah Maiyah juga bersama KiaiKanjeng. Teman-teman penggiat Kenduri Cinta ikut mendampingi Mbah Nun, ikut menjemput sejak dari Yogyakarta. Maiyahan di Gunung Pati malam itu berjalan dengan khidmat, khusyuk, dan tentu saja penuh ilmu. Selepas acara, sekitar jam 12 tengah malam, bersama penggiat Kenduri Cinta, Mbah Nun bergegas menuju Jakarta menggunakan jalur darat, untuk beracara di Kenduri Cinta di Jumat malam itu (14/4).
Maiyah adalah sulthon dari Allah SWT
“Anak-anak saya, saudara-saudara saya, dan darah daging saya dan juga jiwa raga saya, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” Mbah Nun menyapa jamaah Kenduri Cinta. Melanjutkan Maiyahan malam sebelumnya di Gunung Pati, Mbah Nun kembali ingin melibatkan jamaah di Kenduri Cinta untuk sinau bareng. Sebelum itu, Mbah Nun menyampaikan beberapa hal mendasar sebagai alas diskusinya.
Mbah Nun menyampaikan, apa yang sudah dilakukan pada diskusi sesi sebelumnya harus terus dieksplorasi dan diteruskan, dicari terus-menerus untuk pada akhirnya menemukan manfaat yang sebaik-baiknya untuk seluruh ummat manusia. Mbah Nun kemudian mentdabburi salah satu ayat di Surat Ar Rahman ayat 33 ayat 33; yaama’syaro-l-jinni wa-l-insi inistatho’tum an tanfudzuu min aqthoori-s-samaawaati wa-l-ardli fanfudzuu, laa tanfudzuuna illa bisulthoon. (Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah).
Mbah Nun menggarisbawahi kata sulthon. Dijelaskan oleh Mbah Nun, sulthon adalah lapisan-lapisan kekuatan, bisa berupa teknologi, bisa berupa fisik, bisa juga berupa ruh. Dari teknologi mesin tik sampai Artificial Intelligence, itu adalah sulthon. Yang perlu ditegaskan adalah, semua kekuatan itu memerlukan izin dari Allah untuk melakukan sesuatu. Maka, ditekankan oleh Mbah Nun bahwa sulthon itu bukan sesuatu yang hebat sebenarnya. Hari ini, kita bisa dengan mudah berkomunikasi jarak jauh haya dalam hitungan detik karena teknologi internet sudah begitu cepat, itu adalah sulthon.
(Video petikan KC terbaru “Optimalisasi Sulthon”)
“Sulthon itu adalah kemampuan ilmu, kemampuan kepekaan, kemampuan batin, kemampuan teknologi, kemampuan apapun saja yang membuat kamu mampu untuk menembus yang sebelumnya tidak bisa ditembus,” Mbah Nun melanjutkan.
“Maiyah itu sulthon dari Allah Swt., dan kalian harus menjadi pekerja-pekerja Allah yang akan menembus zaman yang semakin berlapis-lapis, semakin bermacam-macam ini, dan Anda yang akan membawa kemaslahatan di masa depan,” tegas Mbah Nun sebelum melanjutkan pembahasan ilmu yang sudah diwedar malam sebelumnya di Semarang.
Mbah Nun kembali memantik pertanyaan; Apakah yang dibawa oleh Rasulullah Saw. mengenai Islam di abad ke-7 Masehi itu sudah tercapai sekarang? Atau lebih ekstrem lagi, jangan-jangan yang dimaksud oleh Kanjeng Nabi itu bukan Islam seperti yang kita alami sekarang? Mungkin nggak? Ini bukan klaim, tetapi ada kemungkinan bahwa Islam yang dimaksud oleh Allah Swt. dengan rahmatan lil ‘alamin yang dibawa oleh Rasulullah Saw. belum mengantarkan Islam yang sebenarnya, sesuai yang diinginkan oleh Allah Swt. “Maka Anda harus menjadi shulton, untuk menembus lapisan-lapisan yang masih kabur itu,” lanjut Mbah Nun.
Mbah Nun kemudian meinta beberapa jamaah untuk bergaung di panggung. Workshop pertama yang dilakukan oleh Mbah Nun adalah memaknai makrifat Takbiran. Mbah Nun meminta perwakilan jamaah untuk melantunkan takbiran lengkap; Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaaha illallah huwallahu akbar. Allahu akbar walillahilhamdu. Allahu Akbar kabiiro walhamdulillahi katsiiro, wa subhanallahi bukrotan wa ashiila. LAa ilaaha illallahu wahdahu, shodaqo wa’dahu, wa nashoro ‘abdahu, wa a’azza jundahu, wa hazamal ahzaaba wahdahu. Laa ilaaha illallahu huwallahu akbar. Allahu akbar walillahilhamdu.
Mbah Nun mengajak jamaah Kenduri Cinta untuk menyelami hakikat Takbiran pada kalimat; Laa ilaaha illalahu wahdahu, shodaqo wa’dahu, wa nashoro ‘abdahu, wa a’azza jundahu, wa hazamal ahzaaba wahdahu. Mbah Nun mengajak jamaah Kenduri Cinta untuk masuk ke wilayah yang tak tersentuh selama ini mengenai hakikat takbiran yang rutin dilantunkan menjelang Idul Fitri maupun Idul Adha. Sederhana sebenarnya, tapi kita mungkin jarang melakukannulya: Memahami makna di dalam lafadz takbiran. Semalam Mbah Nun kembali menguraikan: La Ilaha Illallahu Wahdah (Tiada tuhan selain Allah, Dia Ijen/sendirian) — Shodaqa wa’dahu (Allah menepati janji-Nya) — Wa nashoro ‘abdahu (Allah membela/menolong hamba-Nya) — Wa a’azza jundahu (Allah meninggikan/memenangkan pasukan-Nya) — Wa hazamal ahzaba wahdahu (Allah menghancurkan musuh-musuh sendirian).
Pada diskusi itu, Mbah Nun juga mengajak jamaah mengelaborasi kembali makna Idul FItri, Puasa, hingga dimensi-dimensi fungsi dari puasa itu sendiri. Kenapa puasa yang diajarkan adalah menahan lapar dan haus, juga hawa nafsu, sementara aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak hal yang seharusnya bisa dikelola dan dimanage dnegan baik oleh manusia.
Mbah Nun menekankan bahwa Puasa adalah pintu masuk manusia untuk dapat mengelola nafsu dalam dirinya. Puasa bukan senjata pamungkas agar manusia dapat melawan hawa nafsu, puasa hanyalah satu metode ilmu, yang disiapkan oleh Allah, agar manusia mampu mengelola nafsu dalam dirinya.
Maiyahan di Kenduri Cinta edisi ini berlangsung hingga lewat tengah malam, tidak memungkinkan untuk diteruskan hingga menjelang Subuh. Mbah Nun sendiri harus segera bergegas pagi-pagi menuju Bandara, karena di malam harinya sudah akan beracara lagi di SastraEmha, di Rumah Maiyah, Kadipiro, Yogyakarta.
(Redaksi Kenduri Cinta)