Memulai Napak Tilas Jejak Mbah Nun dan Gamelan KiaiKanjeng di Maroko
Sepuluh tahun lalu, Mbah Nun, Cak Fuad, Ibu Via, dan pakde-pakde KiaiKanjeng menjejakkan kaki di Maroko. Kini, saya diperjalankan juga mengunjungi negeri Mamlakah Al-Maghribiyah. Meskipun saya belum sempat ke kota Rabat dan Ifrane di mana CNKK pentas tahun 2013 lalu, kota Marrakesh telah memberi kesan perenungan sebagai pintu gerbang awal napak tilas ini.
Jika ada kesempatan, saya mencoba menapaktilasi perjalanan Mbah Nun. Beberapa kota yang pernah dijejak beliau yang diceritakan dalam berbagai esainya, sudah saya kunjungi. Misalnya Chicago, Indiana, Ann Arbor, dan Iowa City. Bahkan tiga setengah tahun terakhir saya menjadi penduduk Chicago. KTP dan SIM saya masih Chicago, yang berlaku hingga Piala Dunia diselenggarakan 2026 kelak di Amerika Serikat dan tetangganya.
Semula, selama tinggal di Amerika, saya dan istri berencana setiap tahun mudik ke Jawa. Tapi apa daya, pandemi membuyarkannya. Jadilah tiga setengah tahun, walaupun presiden sudah berganti dari Donald Trump ke Joe Biden, kami masih “terjebak” di sana. Visa yang kami punya berlaku hanya satu tahun dan sudah kedaluwarsa. Tapi sepanjang tidak keluar negara Amerika Serikat, dengan izin tinggal yang berlaku 7 tahun, kami boleh menetap, belajar, dan bekerja di sana.
Setidaknya keterjebakan itu menghemat biaya, karena Yogya-Chicago pergi-pulang tak semurah Yogya-Jakarta. Lagi pula menempuh studi S3 di Amerika tidak sebentar. Apalagi di Universitas Chicago, untuk studi humaniora, diselesaikan dalam 5 tahun adalah waktu yang hampir mustahil. Berniat kuliah hingga rampung disertasi dalam 6 tahun saja masih dinilai terlalu ambisius. Kalau tamat 7 tahun, itu normal. Bahkan yang terbaru, kampus memberikan beasiswa hingga tahun ke-9 jika dalam jangka waktu normal tidak bisa rampung.
Untuk itu kami memutuskan setidaknya hingga istri selesai ujian komprehensif pada tahun ke-3, kami akan di Chicago. Baru setelah itu jeda dan pulang sejenak ke tanah air. Tetapi menjelang ujian, tiba-tiba dosen pembimbing istri menawarkannya pekerjaan sebagai Graduate Assistance. Yaitu sebuah posisi asisten akademik untuk mendampingi 3 dosen dan 25 mahasiswa S1 dalam perkuliahan selama satu caturwulan di Maroko.
Program ini dinamakan Study Abroad. Kampus mengadakan kuliah tatap muka tapi kelasnya di luar negeri. Para mahasiswa yang tertarik boleh mendaftar dan membayar 5000 dollar. Bayangkan misal kamu kuliah di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ada tiga mata kuliah yang perkuliahannya di Maroko dan kamu bisa ikutan, cukup dengan membayar 75 juta rupiah. Semua itu tidak termasuk tiket dan uang jajan.
Rasanya uang segitu mending dipakai untuk beli rokok dan ngopi di Blandongan atau Basabasi setahun, masih turah-turah. Atau dihabiskan di Syini Kopi di Rumah Maiyah saja, biar Patub Letto sumringah cengangas-cengenges sebagai lurahnya karena area pemerintahannya tetap ramai. Buat mentraktir ngemil semua jamaah di Mocopat Syafaat plus bayar parkir juga sangat boleh. Dibelikan tahu solet pas Padhangmbulan malah bisa beli sak rombongnya sekalian.
Jadilah kami ke Maroko. Tepat malam tahun baru 2023 kami lepas landas dari Chicago, singgah semalam di Lisbon, dan mendarat di Marrakesh. Tanggal 4 Januari kuliah caturwulan musim dingin dimulai.
Kami harus tiba lebih awal sebelum para mahasiswa sampai untuk berkoordinasi dengan panitia lokal. Di Universitas Chicago sistem perkuliahannya bukan per enam bulan atau semester. Tetapi per tiga bulan atau caturwulan alias quarter. Ini adalah bagian dari jadwal winter quarter. Karena itu selama 10 minggu ke depan kami akan tinggal di Maroko ini.
Marrakesh adalah kota di tanah Afrika yang saya jejak pertama kali seumur hidup. Menara International Airport adalah pintu gerbang masuknya. Kalau terbang dari Jakarta bisa ke Casablanca atau Marrakesh ini. Jika naik Turkish Airlines akan transit dulu di Turki atau bila numpang Qatar Airways akan mampir sejenak di Qatar, baru ke Marrakesh.
Kata 7 pemuda santri Jawa Timur yang sedang kuliah di kota ini yang kami temui beberapa hari lalu, ongkos sekali jalan ke Maroko sekitar 12 juta. Oleh karena itu sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.
Jika kuliah 4 tahun dan mudik tiap tahun, uangnya bisa buat nikah. Jadi mending selesai kuliah baru pulang kampung. Itupun bisa jadi tidak langsung ke kampung. Mereka harus sukses dulu baru tiba di kampung. Sebuah PR hidup yang panjang buat mereka.
Walaupun jauh dan ongkosnya tidak murah, masuk Maroko seperti masuk ke negara sendiri. Ini negeri muslim dan kita tak perlu visa. Auranya berbeda dengan setiap kali mau melewati imigrasi Amerika yang rasanya menyeramkan. Saya acap kali dag dig dug apakah boleh masuk atau tidak, meskipun sudah mengantongi visa.
Ada dua pengalaman kami harus masuk ruang khusus. Pertama di New York tahun 2015, surat izin tinggal kami belum diaktifkan kampus sehingga tertahan satu jam. Kedua saat masuk Chicago pada 2019 lalu yang hingga kini kami tidak mengetahui apa alasannya. Bahkan kami ditempatkan di ruangan yang ekstra khusus dari yang khusus. Kami tertahan hampir dua jam sampai-sampai istri pasrah mungkin tidak bisa kuliah di Chicago. Tapi alhamdulillah kami bisa melewatinya.
Masuk Maroko rasanya seperti melewati imigrasi bandara Adisucipto usai saya menemani Mbah Nun ke Johor-Malaysia lewat Singapura tahun 2018. Kepergian kami saat itu untuk memenuhi undangan masyarakat Indonesia anggota PSH Teratai di sana. Saat di imigrasi, kami cukup antri, sodorkan paspor, distempel, dan lewat. Kamu bisa masuk Maroko tanpa visa.
Warga Indonesia bisa tinggal 90 hari bebas visa di sini. Persaudaraan dekat ini terjalin atas jasa dorongan Bung Karno yang menyuntikkan semangat merdeka kepada masyarakat Afrika pada KTT Asia-Afrika 1955 di Bandung. Inspirasi dari Bung Besar itu berbuah setahun kemudian, tahun 1956 Maroko merdeka dari penjajahan Perancis.
Bebas visa dihadiahkan Raja Mohammed V untuk seluruh masyarakat Indonesia yang dolan ke Maroko. Ini diberikan sejak kunjungan pertama Bung Karno ke Maroko tahun 1960. Tak hanya itu, sebuah jalan di Rabat dinamakan jalan Al-Rais Ahmed Sukarno. Sebaliknya, kemudian di Jakarta ada jalan Casablanca. Sementara di kota Casablanca sendiri, sebuah bundaran jalan dinamakan bundaran Bandoeng.
Jejak-jejak Indonesia tersebar tidak hanya di Maroko. Jejak itu ada di negara-negara yang berdekatan erat dengan Bung Karno pada masa lalu, terutama seputaran Asia-Afrika.
Namun pengembaraan saya di Maroko hendak menyusuri jejak-jejak Mbah Nun dan Gamelan KiaiKanjeng. Sebelum lebih jauh ke sana, nanti saya cerita-cerita dulu sedikit tentang Marrakesh.[]
Marrakesh, 16 Januari 2023