MBAH, KAMI RINDU
Sudah dua bulan lebih kiranya Jamaah Maiyah tidak bertatap secara langsung mendengarkan bingkisan-bingkisan ilmu yang dibawa oleh Mbah Nun di setiap maiyahan. Sepertinya bukan hanya saya, seluruh Jamaah Maiyah pasti merindukan kehadiran Mbah Nun di tengah-tengah maiyahan. Mendengarkan kabar bahwa Mbah Nun sudah pulang ke rumah saja sebenarnya sudah cukup memberikan angin segar bagi pikiran saya yang terus merasakan khawatir selama ini.
Saya yang selalu ingin duduk tepat di depan beliau kini mulai merasakan ada yang kurang saat maiyahan ketika tidak ada Mbah Nun. Itu semua karena atmosfer kerinduan yang sangat besar terhadap Simbah. Tetapi saya selalu menanamkan dalam pikiran saya bahwa ada atau tidaknya beliau, beliau akan terus hadir di tengah-tengah jamaah dan tentunya di dalam hati saya. Pelan-pelan saya mulai terbiasa dengan hal tersebut, karena tujuan saya datang ke Maiyah adalah untuk menemukan apa yang belum saya tahu.
“Yen ngaku wong maiyah, ojo mung teko kerono simbah”. Kata-kata itu sontak muncul dalam pikiran saya. Selama ini saya datang ke Maiyah hanya karena ingin bertemu Simbah, ingin ngangsu kawruh langsung dari beliau. Tidak dapat dihindarkan bahwa Mbah Nun memang menjadi sumber ilmu utama di setiap kegiatan Maiyahan. Namun di Maiyah sebenarnya masih banyak marja’ lainnya yang bisa memberikan ilmu dari sudut pandang yang tidak jauh dari simbah. Bahkan Jamaah sendiri juga seringkali memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat menarik. Kalaupun memang datang ke Maiyah tujuannya untuk mencari ilmu, maka tidak peduli siapapun itu yang penting bisa srawung dengan dulur-dulur lainnya.
Saat ini, semua Jamaah Maiyah sangat merindukan Mbah Nun, tetapi saya rasa obat terbaik untuk Mbah Nun adalah keluarganya. Selama ini Mbah Nun terlalu sibuk mengurusi jamaah, sudah waktunya kami untuk mengembalikan waktu beliau. Jamaah Maiyah harus melanjutkan estafet Maiyah yang dibawa Mbah Nun selama ini. Tidak adanya Mbah Nun di tengah-tengah kami bukanlah suatu hal yang harus disesali. Justru ini merupakan ujian bagi kami untuk tetap ‘istiqomaiyah’ atau tidak.
Secara fisik beliau memang tidak datang, tetapi saya yakin Mbah Nun selalu ada dalam hati dan pikiran para jamaah yang datang. Jika keluarga adalah obat untuk simbah, maka bermaiyah adalah obat yang tepat untuk mengobati kerinduan kita terhadap Mbah Nun. Jika memang benar-benar rindu dengan simbah, alangkah baiknya kita luapkan itu semua di Maiyah.