MAAF, MBAH, KOPINYA TIDAK ADA
Berangkat dari kerinduan pada Simbah. Hari itu hari berjalan biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial menurut saya. Pagi kerja pulang sore. Selama di tempat kerja pun juga seperti biasa tidak ada sesuatu yang spesial.
Entah karena rindu yang sudah berakar atau karena apa. Malam itu tidak ada pikiran apapun tentang Simbah, ya karena saya sudah beranggapan Simbah sedang istirahat dari riuhnya Beliau mengurus negeri yang penuh dengan kekacauan ini.
Sebelum tidur juga seperti biasa. Namun malam itu saya bermimpi daerah saya sedang ada kekacauan, entah perang atau bencana alam. Masyarakat diharuskan dievakuasi ke suatu tempat yang lapang di pinggiran sungai. Kemudian tiba-tiba ada yang berkata “Mas, rumahmu ada tamu”. “Ah, siapa lagi, sedang kacau begini malah bertamu ke rumah”, ucap saya dalam hati.
Sesampainya di rumah ternyata Simbah, Mbah Nun yang rawuh ke rumah saya! Mak dheg! Ada apa ini sampai Simbah rawuh, pikir saya. Simbah rawuh dengan baju koko putih lengan panjang, celana jeans biru, dan kopiah merah putih kopiah Maiyah.
“Monggo, Mbah, mlebet riyin” (silahkan, Mbah, masuk dahulu). Simbah hanya mengangguk.
“kopi kerso, Mbah?” (saya buatkan kopi ya, Mbah?)
“Yo kono, Le, gawekno” (Ya, buatin sana, Nak)
Lalu saya ke dapur hendak membuat kopi.
“Tapi niki wontene kopi ireng instan, Mbah” (tapi adanya kopi hitam instan, Mbah)
Ya karena memang biasanya saya minum kopi hitam instan. Tetapi Simbah seperti tidak mau kalau kopi instan.
Lantas saya segera cari kopi yang Simbah mau. Sudah berkeliling Yogya kok tidak nemu kopi yang Simbah maksud. Dan pagi telah tiba, sampai terjaga saya tidak bisa mencarikan kopi yang Simbah mau.
Saya sendiri tidak tahu apakah itu hanya bunga tidur semata atau ada sesuatu yang ingin tersampaikan. Saya coba membaca lagi kira-kira apa yang ingin disampaikan, hingga muncul suatu kesadaran kalau maksud dari mimpi itu adalah saya yang selama ini memakai baju Maiyah, sering berangkat Maiyahan tapi belum bisa menjadi manusia yang diinginkan Simbah, belum bisa memberi sesuatu yang Simbah harapkan. Masih terus berproses.
Malam itu kebetulan bertepatan dengan Majeska, sudah berbulan-bulan saya tidak ikut ngudo roso (mencurahkan perasaan) di Majeska. Entah kenapa tiba-tiba ingin berangkat.
Sesampainya di lokasi, teman-teman yang lain sudah duduk melingkar, saling andum tresna (berbagi kasih) satu sama lain. Saya langsung nimbrung di lingkaran tersebut.
Sesaat setelah duduk, tersuguhkan kopi hitam menggunakan gelas plastik, sambil membakar rokok saya seruput kopinya. Dan… “Ini kopi yang Simbah maksud semalam!” entah kebetulan atau bagaimana saya tidak tahu, tapi serapi itu dialektika Tuhan.
Pemuda asal Yogyakarta yang sehari-hari menjadi karyawan swasta, dan alhamdulillah merupakan jamaah Mocopat Syafaat