LOTISAN KARO GUYON

Direncanakan tidak dalam rangka apa-apa. Diadakan tanpa mengada-adakan. “Ah, masak iya penggiat simpul berkumpul kok tidak ngapa-ngapain?”

Tetapi memang begitu. Lotisan Lingkar Keluarga Mocopat Syafaat (LKMS) 4 November silam digagas hanya untuk berkumpul karena kami saling tresna dan bahagia. Diberi tajuk “Lotisan, Karo Guyon: nanggap kanca, nguda rasa, kembul bujana“. 

Ide Lotisan sudah lama mengudara di grup WA LKMS. Saling menunggu ketersediaan waktu para penggiat. Diadakan polling kemudian terpilih hari “satu yang terakhir dari tujuh” (Sabtu). Rancang acaranya yakni “siapa punya apa, dibawa. Siapa bisa apa, ditampilkan”.

Semua saling penasaran akan seperti apa Lotisan nanti. Inisiatif bermunculan dari banyak orang. 

“Aku modal wayang”, ujar Lik Waludeng.

Lihat juga

Debog (pelepah pisang) jangan lupa. Butuh berapa?”, sahut Lik Je sejurus kemudian. 

“Jangan banyak-banyak, nanti malah kita lotisan debog”, seloroh Yoga.

“Aku bawa pepaya muda, bengkoang, nanas dan gula jawa”, sambung Pakdhe Maskun.

“Aku bawa ini untuk bakar-bakar”, tukas Yoga. 

Asyik sekali. Kami bersemangat untuk saling mencukupi berbekal apa yang ada saja, apa yang tersedia di kebun, di dapur, juga di dalam diri. 

Sedari pagi teman-teman sudah berkumpul. Lik Waludeng turun gunung dari Playen memboncengkan para wayang di atas Kirana 125. Ada Punakawan, Sengkuni, Durna, dan Limbuk. Lik Waludeng hanya menjawab singkat kala ditanyai mengapa tokoh-tokoh wayang tersebut yang Ia bawa: ya ini wakil wong cilik dan representasi kahanan (keadaan) hari ini.

Pak Jijit mewakili Kiai Kanjeng datang bersama putranya. Selang beberapa jam nanti datang pula Pak Bayu nunut pijet (minta tolong dipijat) ke Lik Je. Kita doakan Pak Bayu dan seluruh pakdhe-pakdhe Kiai Kanjeng diberi kesehatan dan perlindungan Allah Swt.

Di bawah pohon kelengkeng rindang acara dimulai. Lesehan di atas tikar dan terpal. Pohon kelengkeng ini agak lain. Memang banyak pohon kelengkeng di Ketonggo, tetapi hanya pohon satu ini yang rajin berbuah. Menurut Lik Je sang shohibul bait, barangkali karena di bawahnya sering untuk giat kumpul dan sholawatan. 

Tidak ada moderator, tanpa MC pula. Tolong, ini lotisan. Bukan rapat suksesi Pharaoh

Wis, gek dianu (Udah, lekas dianu)”, tegas Lik Waludeng. “Dianu apane (dianu apanya)?”, sahut Angga. 

“Buka acaranya, wayang terlanjur ditancapkan, kamu saja yang buka”, Lik Waludeng meneruskan. 

Bukan main seniman serba bisa ini. Hari itu Ia menjadi dalang kongkonan (suka menyuruh). Seperti halnya cinta, kemesraan pun banyak bentuknya. 

Embusan angin agak kencang di mendung siang itu, ratusan kembang kelengkeng luruh gugur selama kami duduk di bawah pohon, menyerupai gerimis yang pada sesi makan siang nanti benar-benar turun sejenak sekadar lewat. 

Satu demi satu penggiat datang menyusul sesuai kelonggaran waktu masing-masing. Datang dengan anggota keluarga, datang membawa buah tangan dan kerinduan.

Mohon agar tidak berekspektasi bahwa wayangan di Lotisan adalah wayangan pakem. cempala-nya adalah palu yang biasa digunakan Lik Je untuk meracik wedang rempah. Kotak kayu yang dipukul cempala bukan kotak kayu besar wadah wayang, melainkan krat minuman bersoda yang sudah dimodifikasi menjadi tempat duduk berlapis triplek. Kelirnya adalah layar kecil yang lazim digunakan untuk memproyeksikan gambar dari proyektor. Stand mic dalang dibuat semalam sebelumnya dari bahan PVC. Lakonnya? Lakonnya dibuat dadakan di tempat, mengusung kisah-kisah lucu yang menjadi bahan guyon dan kelakar LKMS sehari-hari. 

Tiada sinden. Tanpa gamelan. Musik dan lagu secara spontan (karena dikongkon dalang) dihaturkan oleh teman-teman penggiat untuk mengiringi dalang. Yoga membawakan nomor-nomor dari album lama Kiai Kanjeng dan beberapa puisi Mbah Nun.

Lotisan menjadi unorganized exciting event karena segala yang tersaji merupakan hasil inisiatif, inovasi, dan kreatifitas dalam waktu yang mendesak dan sumberdaya terbatas ala kadarnya. Kalau bukan jalaran tresna (oleh sebab cinta), sukar rasa-rasanya dapat menjadi seperti apa yang telah berlangsung kemarin. Pol mentok (ujung-ujungnya) hanya beli lotis di penjual pinggir jalan, makan, ngobrol lalu pulang. 

Sesuatu terjadi “di luar nurul dan tanpa habis fikri” menurut ekspresi zaman now. Di tengah-tengah wayangan, sang dalang kongkonan lagi! Kami yang sedang menikmati kudapan dan mendengarkan pentas tiba-tiba diminta berdiskusi mempersiapkan Majeska dan Mocopat Syafaat bulan November ini. Apa pula ini, bingunglah kami. Terkekeh sekaligus menggerutu secara kolektif. Mana ada di belahan dunia ini penonton wayang diminta berdiskusi sendiri?

Ironis, lha wong bikin lotisan itu agar santai, nglerem pikir (meredakan pikiran) menghindari diskusi serius kok.Tapi apa boleh buat. Kasihan sang dalang andai tak dikabulkan instruksinya. Ndak mesti setahun sekali kan. 

Diskusi memang terjadi, cukup formalitas beberapa menit. Kami para penonton wayang sepakat untuk meneruskan rembug di grup WA saja. Dalang menang, instruksi telah tunai, penonton juga menang, satu sama hingga peluit panjang ditiupkan petang hari. 

Sisa waktu digunakan untuk meneruskan ngobrol bertukar cerita dengan Pak Jijit dan semua penggiat yang hadir. Menertawakan tingkah-polah kami sendiri, ngrasani awake dhewe-dhewe (menggosipkan diri masing-masing). Kumpul-kumpul berkelakar dan ngrasani tentu dalam rangka mempelajari masa yang telah terlewati serta menghikmahi kedaden-kedaden (kejadian-kejadian) di dalam dan di luar diri.

Wah, lotis!

(Redaksi LKMS)

Lihat juga

Back to top button