KUDA-KUDA SEDULUR PAPAT LIMO PANCER
Setiap pribadi merupakan akumulasi dari pilihan hidupnya. Tak sedetik pun dalam fase kehidupan manusia tidak dihadapkan pada cabang pilihan yang pada percabangan tersebut memiliki percabangan yang terus bercabang hingga dimensi ruang dan waktu antar cabang tersebut kian meluas.
Bahkan Tuhan sendiri menegaskan bahwa telah menjadi sunatullah yang harus dilalui dalam menjalani hidupnya, yaitu pada Surah ke-91 ayat 8 Allah berfirman, “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.”
Pada dasarnya “cetakan pabrik” atau program awalnya manusia memiliki dua potensi yang seiring berjalan, potensi takwa dan potensi menyimpang.
Tentu saja secara ideal pilihan harus jatuh pada potensi ketakwaan. Namun, bagaimana cara untuk dapat senantiasa dalam kondisi tersebut atau kalau pun saja suatu kali dalam kondisi sedikit menyimpang, kita memiliki arah untuk kembali kepada kondisi yang ideal yaitu ketakwaan itu sendiri.
Dalam khazanah yang lain seorang Sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah bagaimana sebenarnya ilustrasi manusia takwa itu menjalani hidup. Maka beliau pun menjelaskan yaitu seperti seumpama seseorang yang berjalan melewati suatu jalan yang penuh dengan onak berduri, tentu dapat dibayangkan bukan kondisi yang sedang dialami seseorang tersebut, tentu ia dalam keadaan yang teramat berhati-hati dalam bersikap dan mengambil keputusan.
Kehati-hatian tentu tidaklah mudah, misal saja dalam sebuah seni beladiri kondisi siap siaga antara bertahan atau menyerang, menangkis atau memukul, menendang atau membanting atau bisa juga mengeluarkan jurus langkah seribu atau kabur, keputusan ini dihasilkan oleh sikap siap siaga untuk mengambil sikap selanjutnya atau yang familiar disebut sikap Kuda-kuda yang berbagai macam kondisinya ditentukan oleh berbagai variabel di sekitarnya, berapa jumlah musuh, dari arah mana menyerang, membawa senjata apa, postur, kekuatan bahkan kanuragannya, semua diakumulasikan dalam sebuah formula keputusan yang menghasilkan sikap yang bagaimana yang harus diambil.
Dalam masyarakat Nusantara kehati-hatian seperti ini cukup familiar diajarkan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya, sebut saja falsafah yang familiar yaitu kesadaran “Sedulur Papat Limo Pancer”. Secara sederhana diilustrsikan, dalam berbagai koordinat ruang dan waktu waktu manusia yang telah ter-install program tersebut akan memiliki 4 kesadaran yang bersama dalam suatu waktu, misalnya ketika Ia sedang menyampaikan pidato di depan khalayak publik, ia menyadari bahwa ada dia yang sedang berbicara, ada dia yang melihat dia yang berbicara dari arah pendengar, kemudian ada Ia yang berada dibelakang dia yang berbicara yang senantiasa mengawasi dan yang terakhir ada dia yang tak terikat dimensi ruang dan waktu, yaitu dia yang imajiner sedang berkeliling kemana saja dan sedang memperhatikan apa saja yang entah apa.
Kehati-hatian yang demikianlah yang mendorong manusia Nusantara memiliki sikap yang jangkep atau utuh ketika menghadapi berbagai macam kondisi dan pilihan.
Rasa-rasanya hari ini falsasah tersebut mulai asing di kehidupan kita yang ngaku-nya sebagai manusia modern yang penuh dengan berbagai sikap destruktifnya.