KOMUNITAS RUANG SASTRA GRESIK MEMBACA KARYA MBAH NUN
Di tengah hiruk pikuk keramaian kota industri, ada satu tempat ngopi yang cukup estetik; bisa ngopi, ngemie, ngobrol diskusi, bernuansa kultural, juga ada perpustakaan. Namun, ini bukan soal kafe tongkrongan muda-mudi tanpa apa-apa. Melainkan sebuah kafe yang kerap dijadikan ruang-ruang temu bagi seniman, sastrawan, dan budayawan. Dengan tempat parkir motor seadanya, tidak terlalu luas. Terjejer tapi tepat di depan kafe.
Tadi malam, Jumat 09 Juni 2023, bertempat di Gresiknesia di Omah Damar Gresik Jalan Nyai Ageng Arem-Arem no. 22 Gresik, beberapa Dulur Damar Kedhaton Gresik ikut meramaikan kegiatan Ngaos (Ngobrol Sastra Ngopi Santai) bersama Komunitas Ruang Sastra Gresik. Dengan tema besar “Membaca Karya Emha”.
Beberapa judul puisi yang dibacakan “Menyorong Rembulan”, “Ke mana anak-anak itu?”, “Lift (1984)”, “Doa Kemarau Politik yang Teramat Panjang”, dan lain sebagainya.
Satu kata yang bisa merangkum dan mewakili semuanya dalam kegiatan semalam yakni Perjodohan. Seperti disampaikan Cak Madrim saat sesi melingkar untuk diskusi santai seusai pembacaan beberapa karya-karya Mbah Nun.
“Ini adalah bentuk perjodohan,” ujarnya.
Barangkali, hal-hal baik akan menemukan sendiri jalannya itu. Beberapa dulur Damar Kedhaton saling berbagi cerita dengan penggiat teater, guru, dan sebagainya. Saling ber-tahadduts bin ni’mah untuk memaknai perjumpaannya dengan Mbah Nun. Ada yang melalui buku-bukunya, ada yang menceritakan pengalaman bagaimana ramainya Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta ketika sedang ada jadwal Kenduri Cinta. Ada juga yang merasakan kemanfaatan seperti semakin tahu batas diri dan mengenali diri sendiri.
Cak Kaji Azza, Cak Madrim dengan keluarga, Cak Yayak dengan keluarga, Mas Akbar, Cak Syaiful Iman, Cak Chabib, serta saya sendiri. Dan, Mbah Menyeng yang datangnya ketika kafe akan tutup. Alias, nggak menangi kegiatan persembahan pembacaan karya dari Mbah Nun.
Beberapa judul cerpen dan puisi dibacakan. Dengan diiringi musik, ditambah dengan tata dekorasi ruangan penuh estetika, dan juga sambil ngopi santai. Lengkap dan sempurna, menjadikan suasana malam itu sangat gayeng dan mesra.
Cerita terpendam akhirnya mencuat. Seperti yang sudah ditempuh oleh Cak Yayak. Dia baru membaca puisi pertama kali dalam seumur hidupnya. Namun, diam-diam Cak Yayak ternyata rajin menulis tulisan di salah satu akun media sosialnya. Yang mana, nama akunnya sangat jauh berbeda dari nama panggilan atau nama aslinya. Tulisannya mbois dan keren sekali.
“Jujur, ini adalah momen pertama kali saya membaca puisi dalam hidup. Bahkan, ketika rutinan majelisan telulikuran Damar Kedhaton, saya biasanya bantu mbeber kloso, ngudek kopi. Intinya gak pernah perform,” jelas Cak Yayak saat sesi melingkar ngobrol santai.
Ketika obrolan sundul langit, dan cukup ndakik-ndakik. Tamparan keras disampaikan oleh Cak Chabib yang memaknai perjalanannya selama bermaiyahan.
“Kebanyakan, tapi gak mutlak. Banyak sedikit berpengaruh ke kehidupan masing-masing. Itu pun juga relatif, setiap orang pasti berbeda. Saya ambil dalam bidang keluarga, tidak muluk-muluk untuk pencapaian diri, karier, di mana pada masa usia 20-30 tahun itu sedang puncak-puncaknya gairah. Jadi, dikorelasikan dengan Islam, ya ada hubungannya. Sederhananya: besok di akhirat ada hisab, anak, dan istri. Momentum itu, secara gak langsung mengubah mindset pribadi,” kata Cak Chabib.
Ditambahkan Cak Chabib, dia mengingat satu pesan dari Mbah Nun yang menancap kuat di hati dan pikiran. “Pertanyaan Simbah waktu itu pas ada Maiyahan di mana gitu, menanyai kepada jamaah. Sudah nikah? belum, jawaban jamaah. Nikah o disek. Kamu baru bisa ngerti hidupmu sendiri,” tandas dia.
Sayangnya, kafe tempat digelarnya kegiatan itu dibatasi tutup sampai jam 24.00 WIB. Akhirnya, dengan keikhlasan dan kerinduan mereka membubarkan diri untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Kembali menjadi setengah yang dipisah, saling tuju dengan susah payah, sengaja dijauhkan agar tahu makna mencari dan mencemaskan.