KISAH PARMIN SAAT TAKZIYAH MENINGGALNYA CAK FUAD
Berjalan meninggalkan komplek rumah Menturo, saya mencari tempat di mana Parmin memarkir kendaraan. Saya tidak tahu di mana. Saya berjalan mencarinya. Sayup-sayup terdengar wirid Padhangmbulan dari Sentono Arum.
Saya ikut melantunkan wirid itu. Bagi saya, wirid itu ‘tune’ dengan saya. Di benak dan hati saya wirid ini adalah sebuah ‘masterpiece’. Saya selalu melantunkannya di segala keadaan, dalam sedih susah dan gembira. Bahkan beberapa teman sudah kebagian mengamalkan wirid Padhangmbulan ini. Wirid agung nan lembut yang disusun oleh seorang maestro yang saya yakin sangat dekat dengan Allah.
Allah yang maha santun, maha pemberi
Allah yang maha pembuat kebaikan dan maha penyantun
Allah yang maha pengasih dan penyayang
Sayup-sayup saya masih mendengar wirid itu, sampai saya menemukan Parmin. Ia ngglethak di dalam mobil. Saya segera ajak dia pulang ke Yogya.
Saya mengajaknya pulang lewat Sebani sambil saya ceritakan bahwa di dekat jembatan yang kami lewati, dulu sempat saya nyurung atau mendorong mobil karena jalan di situ saat itu belum diaspal. Masih jalan tanah yang kalau hujan akan berlumpur, dan itulah yang terjadi ketika suatu malam saya bersama Cak Nun melewati jalan itu dan terjebak lumpur. Sehingga, kami harus mendorong mobil yang membawa kami.
Hanya tugu kecil di simpang tiga yang masih saya ingat. Selebihnya saya benar-benar pangling dengan kedaaan desa-desa di sekitar Menturo. Waktu 30 tahun bukanlah sebuah masa yang pendek bagi sebuah desa untuk berkembang sangat pesat.
Tetapi bukan itu yang akan saya highlight di sini. Di perjalanan pulang itu, saya ajak Parmin untuk mencari warung. Berhenti sejenak sekedar untuk makan dan ngopi. Tetapi justru jawaban Parmin membuat saya terharu.
“Kulo sampun maem ten warung wau, ngajeng mesjid alit (Saya sudah makan di warung tadi, di depan masjid kecil).”
“Woo yo wis (Oh, ya sudah),” jawab saya.
“Tur wau le maem mboten purun dibayar warunge, kamongko kulo mendhet lawuh dobel (Lagi pula tadi makannya tidak mau dibayar, padahal saya ambil lauk dua).”
“Si ibu warung bilang mboten nopo-nopo lawuh dobel, panjenengan layat Pak Fuad to? (Si ibu pemilik warung itu bilang nggak papa lauknya dua, Panjenengan melayat Pak Fuad kan?),” cerita Parmin lebih lanjut.
Parmin pun mengiyakan.
Lalu ia bercerita, ternyata semua yang melayat dan makan di warung itu digratiskan alias tidak perlu membayar.
Saya tercengang. Bukan rupiah yang menjadi pertimbangan utama bagi si ibu warung tersebut sebagaimana para pedagang lain berdagang. Tetapi pertimbangan ‘memberi’ kepada yang ‘membutuhkan’
Saya geleng-geleng kepala. Karena, saya sempat nginguk (melihat) ke dalam warung tersebut untuk melihat jumlah pengunjung warung. Ternyata ada puluhan pelayat yang mampir di situ, dan semua digratiskan. Hitungan matematis kapitalis jelas tidak masuk. Tetapi ibu warung tetap juga tidak mau dibayar.
Sepertinya manfaat yang diberikan Cak Fuad tidak pernah hilang. Bahkan kepergian beliau pun malah memberi ruang bagi tetangga untuk bisa bersedekah.
Sementara di Sentono arum acara tahlilan sudah berjalan separo, saya meninggalkan Menturo berbekal google map untuk segera mencapai pintu Tol Jombang.
Saya berpikir, bahwa kematian pun masih bisa memberi efek sosial bagi tetangga Menturo untuk berbuat baik kepada sesama. Hebatnya Cak Fuad.
20-25 Januari 2023