KEDAULATAN RAKYAT SEKARAT

(Tulisan kedua dari: “Cak Nun, Fir’aun, Hamman dan Qorun”) 

Reformasi telah menumbangkan rezim Orde Baru. Lalu secara gegap gempita, demokrasi politik di negeri ini coba dijalankan. Pemilihan umum ( pemilu) di semua level digelar. Dari pilih presiden hingga  ketua rukun tetangga (RT).

Namun demokrasi atau kedaulatan rakyat dalam kenyataanya bukan menunjukkan perkembangan kualitas yang membaik,  malahan berkecenderungan terpuruk. 

Demokrasi telah disabotase oleh para elit politik atau oligarki dan elit kaya atau plutokrat. Mereka kawin mawin dan membentuk rezim baru yang disebut Plutogarki. Satu kuasa di tangan segelintir elit kaya dan elit politik dalam bentuknya yang sublim, nyaris sempurna. 

Plutogarki lahir sebagai satu makhluk baru yang tidak hanya melalap segala apa yang di kawasan maritim seperti Leviathan, tidak juga hanya menabrak semua yang di darat seperti halnya tronton besar Juggernaut, tapi melahap semua yang di laut, darat, dan udara. 

Mahkluk baru yang bernama Plutogarki itu bergerak menguasai, menghegemoni sampai ke level alam bawah sadar rakyat. Bergerak bebas tak tersentuh, meliuk-liuk menyikat segala-galanya. 

Lihat juga

Dia tak cukup hanya menekuk kepala negara, anggota parlemen, gubernur, bupati, walikota,  tapi juga menekuk masyarakat sipil dari ruang protes, sebagai kemewahan terakhir rakyat jelata. Elit politik itu jugalah pengusaha dan pengusaha kaya raya itu jugalah elit politik. 

Kita menyebut diri sebagai negara demokrasi terbesar nomor empat di dunia, padahal kehidupan demokrasi di negeri ini sebetulnya sedang dalam titik nadir kebangkrutan. Tak hanya demokrasi politik, tapi juga demokrasi ekonominya. 

Kepentingan demos, rakyat, dan atau kedaulatan rakyat sebetulnya sudah nihil dari kehidupan keseharian dan ruang politik kebijakan bernegara kita. Kita sejatinya telah kehilangan nilai penting dari demokrasi itu sendiri, yaitu nilai kebebasan, persamaan, dan keadilan.  

Peristiwa kolosal itu setidaknya tergambar dari suara rakyat yang diwakili oleh suara koor di parlemen dengan nyanyian lagu setuju loloskan UU Ciptakerja yang ternyata baru prosesnya saja sudah dinyatakan inkonstitusional. Belum lagi substansinya yang potensial dan telah banyak rugikan rakyat. Dan lebih parahnya lagi, malahan aturan yang jelas dinyatakan melanggar Undang Undang Dasar (UUD) itu malah diaktifkan kembali, di-Perppu-kan oleh Presiden. 

Regulasi model Omnibus Law dijalankan, tapi langsung berubah seketika menjadi Aneksasi.  UU Pencaplokan besar-besaran kepentingan rakyat kecil. Sebut saja misalnya: UU Ciptakerja yang di-Perppu-kan Presiden, UU Omnibus Law Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (PPSK) dan lain-lain yang inti motivasinya adalah bentuk rompi pengaman dan lakukan pelegalan perampokan ruang hidup rakyat kecil. 

Kita semakin menjauh dari praktek demokrasi ekonomi pasal 33 UUD 45. Kedaulatan ekonomi rakyat yang diperintahkan oleh Konstitusi agar segera diperkuat dengan bentuk Undang Undang Sistem Perekonomian Nasional tidak dijalankan dan malahan dirampas melalui UU Omnibus Law. 

Dari ruang hidup sehari hari, kebebasan itu juga hanya jadi omong kosong pembicaraan kelas kedai kopi. Rakyat dimungkinkan untuk bicara sepuasnya, tapi ancaman kriminalisasi terus menghantui. Mural sebagai bentuk ekspresi seni saja dilenyapkan. Lalu diberangus secara sistematis melalui ditetapkanya Undang undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (UU KUHP) yang melarang mengeritik pejabat. 

Perbedaan dibrangus. Dikendalikan sedemikian rupa dengan didukung para buzzer buzzer penyokong kekuasaan lalim. Aspirasi dikooptasi oleh kekuasaan.  

Masyarakat benar memiliki persamaan hak di depan pengadilan, tapi putusan pengadilan banyak menciderai rasa keadilan itu sendiri. Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Putusan hukum yang sudah di level inkrackh di pengadilan memenangkan gugatan petani warga seperti kasus tambang semen Kendeng misalnya, pabrik semen itu tetap dijalankan. 

Dalam konteks keadilan ekonomi misalnya, hari ini kesenjangan ekonomi semakin menganga lebar. Rasio Gini Kekayaan kita 0,77 dan nyaris sempurna berada di dalam kuasa segelintir orang. Dari 83 persen orang dewasa kita hanya punya kekayaan di bawah 150 juta. Sementara rata rata dunia 58 persen dan mereka yang kekayaanya di atas 1,5 milyard hanya 1,1 persen. Sementara rata rata dunia adalah 10,6 persen (Suissie Credit Institute, 2021). Organisasi Oxfarm melaporkan secara dramatis, hanya 4 anggota keluarga saja ternyata kekayaanya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin. 

Rakyat kebanyakan hanya mengais remah remah ekonomi yang diperebutkan dan dipersaingkan hingga berdarah darah di bawah. Gambaran paling sadis adalah 99,6 persen atau 64 juta rakyat kita atau hampir sama dengan jumlah kepala keluarga itu hidup di wilayah ekonomi mikro gurem, hidup segan mati sungkan. 

Level motivasinya dirikan usaha jauh dari kelas anak konglomerat yang bermain bisnis start up dan memainkan ekonomi bubble. Levelnya hanya survival, bertahan hidup di tengah himpitan hidup yang semakin mencekik dengan bersaing sama sanak famili dan tetangga untuk perebutkan remah-remah roti sisa perampokan kue ekonomi besar segelintir para pemilik korporasi besar kapitalis.

Kesenjangan kepemilikan lahan petani yang terjadi juga menunjukkan kecenderungan yang semakin buruk. Menurut hasil survei nasional (Susenas), kepemilikan lahan perkapita rata rata tahun 1980 angkanya 1,05 hektar dan sekarang ini tinggal 0,22 hektar. Hari ini misalnya, yang disebut buruh tani di desa desa itu jumlahnya hingga 74 persen. Sementara ada segelintir elit kaya yang kuasai lahan hingga ratusan ribu dan jutaan hektar.  

Untuk gambarkan betapa kontrasnya kehidupan para buruh tani dan petani gurem itu adalah ketika kita lihat mereka yang ada di daerah sentra beras Indramayu misalnya, justru merekalah orang pertama yang membeli beras ketika hadapi masa paceklik. 

Para buruh di perkotaan juga hidup dalam kebrangsakan, mereka kebanyakan hidup di bawah perikatan kerja informal  dan ditekan para penyedia pekerja outsourching yang potonganya mencekik hingga 30 persen dari gaji mereka yang sudah kecil. Mereka yang tak tertampung di ruang kerja formal lalu terlempar kleleran di trotoar jadi buruh lepas tanpa jaminan sebagai tukang ojek online. 

Satu kondisi yang sangat kontras jika misalnya kita bandingkan antara salah satu gaji Presiden Direktur bank BUMN yang katanya milik rakyat itu dengan buruh outsourchignya. Perbandinganya bisa hingga 2.200 kali lipat. 

Struktur ekonomi kita secara fundamental sebetulnya sudah berada dalam jerat besar mafioso. Dari sektor pangan, komoditi ekstraktif pertambangan hingga teknologi informasi. Memeras dan menindas serta ciptakan ketergantungan. 

Hubungan predatorik itu dapat kita lihat misalnya dari praktek kemitraan yang monopolis dari perusahaan ternak ayam misalnya. Di lapangan, para peternak rakyat itu hanya jadi bulan bulanan perusahaan konglomerat hitam nasional dan internasional.  

Mereka dibuat bergantung dengan benih (DOC), pakannya, virus dan obatnya, hingga penguasaan harga hasil panen. Kemitraan semu sebagai praktek  predatorik harga (predatory pricing) telah membuat para peternak rakyat atau skala rumah tangga dalam posisi hidup segan mati tak mau. 

Saat ini, korporasi kapitalis itu bukan hanya merampok di pasar, tapi juga uang negara melalui kongkalikong di tingkat regulasi. Para politisi tak mengutil uang rakyat dari apbn saja, tapi juga sudah melalui cara mutakhir melalui regulasi dan kebijakan. 

Krisis akibat pandemi Covid-19 telah membuka kotak pandora bagaimana mereka bekerja. Di tengah daya beli rakyat terpuruk dan hidup yang mencekik justru membuat elit jadi semakin akumulatif dan konsentratif kekayaannya. Tabungan elit kaya dan elit politik itu justru meningkat tajam ketika rakyat kelaparan. 

Struktur sosial ekonomi kita dari sejak jaman kolonial Belanda hingga saat ini ternyata tidak pernah berubah. Begitu juga strategi kebijakan ekonomi yang diterapkan. 

Rakyat pribumi di masa penjajahan Belanda itu hidup dalam sistem ekonomi mikro pertanian dan perdagangan kelas gurem, lemah dan serabutan. Sementara, sebagian lagi segelintir elit kayanya kuasai perdagangan dan perkebunan kelas menengah ke atas. J.H Booke menyebutnya sebagai sistem ekonomi dualistik. 

Para kapitalis global dari negara kapitalis pusat itu tetap memanfaatkan  segelintir elit feodalist dan elit kaya nasional dalam struktur masyarakat kita untuk cengkeram dan eksploitasi sumber sumber ekonomi rakyat.  

Sistem pertambangan dan perkebunan monokultur milik asing yang ada di masa kolonial hari ini semakin masif. Investasi di sektor ini juga ” secara paksa” lakukan penyerobotan tanah rakyat, penyingkiran masyarakat adat,  jadikan rakyat hanya sebagai buruh kasar, dan rusak seluruh ekosistem alam. 

Jika dahulu perusahaan perusahaan asing itu diminta untuk bangun infrastruktur pendukung bagi investasi mereka, hari ini seluruh fiskal kita justru habis-habisan bangun proyek mega infrastruktur yang digunakan untuk mwndukumg eksploitasi ekonomi rakyat kita. 

Dalam sektor tertiernya juga, UU Penanaman Modal kita, di sektor keuangan itu dibebaskan menjadi yang terliar di dunia. Biarkan pemilikan asing hingga 99 persen. Bandingkan misalnya Malaysia yang hanya perkenankan hingga 17,5 persen, Amerika Serikat hanya 30 persen. Padahal, lembaga keuangan itu ibarat darah bagi ekonomi kita. 

Di sektor ekonomi digital hari ini juga sama. Negara telah berada dalam cengkeram para angel  investor asing yang kuasai sektor investasi digital kita tanpa ketahanan sedikitpun. Bisnis platform yang ada dikuasai oleh asing dari kepemilikannya. Liberalisasi penguasaan kepemilikan tersebut akhirnya telah biarkan asing kuasai data algoritma perilaku pasar kita. Sehingga market place kita isinya banjir produk import hingga kurang lebih 90 persen yang jelas akan terus gerus devisa kita. 

Pemerintahan menjadi sangat autokratif. Budaya patriarkhi dan  feodalisme mengeras bersama birokrasi dan berubah menjadi patrimoni. Dimana sifat kekuasaan politik mengalir dari atas  ke bawah. Mengoposisi kepentingan rakyat banyak dan kooptatif terhadap kekuatan masyarakat sipil. 

Penyakit sindrom kekuasaan dan pembentukan dinasti politik terjadi di semua level pemerintahan. Suara masyarakat ditentukan oleh kepentingan elit, bukan aspirasi murni dari bawah. Kepentingan politiknya pragmatik top down. 

Ruang politik yang penuh kebajikan dan medan perjuangan bagi tegaknya kepentingan bersama (bonum commune) disabotase secara  vulgar dan banal tanpa rasa malu demi penuhi hasrat perdagingan segelintir elit semata. Menumpuk kekayaan dan kekuasaan sebanyak banyaknya. 

Rakyat bukan lagi menjadi subyek pembangunan namun justru hanya jadi obyek proyek ” pembina(sa)an”. Dijadikan sebagai obyek program pemerintah yang justru perkaya elit makelar programnya. Rakyat banyak ekonominya tetap tak berubah dari sejak jaman Kolonial Belanda. 

Blok Politik 

Bung Hatta ( 1951) telah memberikan peringatan yang cukup keras sebetulnya. Beliau katakan, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi itu hanya akan lahirkan autokrasi. Hari ini, politik itu tak lagi hanya menjadi autokratif tapi sudah jadi Plutogarki. Suatu rejim yang anti demokrasi. 

Hari ini, dalam hubungan triangle kenegaraan masyarakat sipil dan negara sebetulnya sudah jatuh dalam  subordinatif terhadap korporasi. Kekuasaan yang sifatnya policentris itu tidak lagi mampu membuat seorang pemerintah sepenuhnya berkuasa untuk menjadi avant ganda bagi perwujudan keadilan dan kemakmuran, melainkan hanya jadi pelayan kelas kapitalis.

Kalau di masa Orde Baru kuasa negara itu jadi pengaman instalasi bisnis kapitalis dalam model “state-led capitalism”, maka hari ini sebetulnya negara telah dikempongi dan dikangkangi oleh pemilik korporat kapitalis segelintir  dalam model ” market-led capitalism”. Dalam bahasa sarkastik Dawam Rahardjo, dia menyebutnya dalam istilah – negara berubah profesi dari penjaaga keamanan di mas Orde Baru saat ini jadi pembersih toilet, untuk bersihkan berak elit kapitalis yang ciptakan residu berupa kemiskinan, kesenjangan, kerusakan alam. 

Berharap bahwa elit politik kita akan melakukan perombakan besar secara struktural itu seperti biduk merindukan bulan. Nyaris tidak mungkin terjadi. Untuk itu rakyat sipil harus lakukan pengorganisasian untuk membangun blok politik baru yang bernama blok politik anti oligarkhi. Blok politik ini dibangun tentu dengan harus mengambil garis demargasi yang tegas dan bebas dari kurcaci kekuasaan. Harus lepas dari anasir plutogarki dalam segala rupa. 

Blok politik ini juga harus memiliki kemampuan untuk membangun basis suprastruktur dan infrastruktur baru dari kekuatan solidaritas rakyat. Bukan mengandai masuk dalam sistem politik yang berjalan hari ini. Bentuknya bisa saja partai, tapi dengan platform yang ideologis tapi non elektrolal. Atau semacam Ormas atau Koperasi. Agendanya juga harus jelas tegas, yaitu kembalikan demokrasi sejati dengan dorong demokratisasi politik dan demokratisasi ekonomi.

Dalam agenda demokrasi politik misalnya; dobrak aturan pemilu, sistem kepartaian, buang aturan yang perkuat dinasti dan lain-lain. Kemudian dalam bidang ekonomi dorong lahirnya UU Sistem Perekonomian Nasional yang demokratis, pemilikan saham untuk buruh, pembatasan rasio gaji, penerapan pendapatan minimum warga, reforma agraria, fokus bangun kekuatan ekonomi domestik pangan dan energi, hentikan kebijakan ekonomi karitatif yang lecehkan rakyat, koperasikan BUMN agar dapat dinikmati rakyat, hentikan kebijakan utang ugal-ugalan yang akan bebani generasi mendatang dan lain-lain. 

Jakarta, 19 Januari 2023

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button