JAGRATARA

(Mukaddimah Majelis Ilmu Kenduri Cinta Jakarta, 16 Desember 2022)

Ada bahaya objektif dan bahaya subjektif dalam pendakian gunung. Bahaya objektif adalah bahaya lingkungan sepanjang jalur pendakian. Yaitu bahaya dari faktor musim, cuaca, kontur tanah medan pendakian, ketinggian gunung, hewan buas, hingga keamanan terkait kondisi sosial. Jika jalur pendakian berada dalam wilayah yang sedang terjadi konflik maka bahaya ini semakin tidak terhingga. Untuk mengimbangi, maka sang subjek yaitu para pendakinya perlu dibekali pengetahuan dan peralatan yang memadai untuk bertahan hidup dan merampungkan misi pendakian. Mulai dari pengenalan medan, penggunaan alat survival, persediaan makanan, hingga persiapan fisik dan mental.

Dalam sebuah rencana pendakian, komunikasi antar orang-orang yang terlibat sangat mempengaruhi keselamatan dan kelancaran aktivitas pendakian. Inisiatif perlu disampaikan untuk memotivasi dan menginspirasi pendaki lainnya supaya bersedia terlibat. Yang mulanya masing-masing pendaki memiliki imajinasi dan tujuannya sendiri-sendiri, dengan komunikasi akan membentuk tujuan kolektif atas aktivitas pendakian yang akan dilakukan. Pada prosesnya boleh jadi ada pendaki yang tidak jadi ikut rencana, begitupun dengan usulan-usulan yang bermunculan. Usulan yang masuk akal akan disetujui dan dapat dilaksanakan, sedangkan usulan yang tidak relevan akan ditinggalkan. Imajinasi kolektif dipicu oleh cerita yang make sense. Cerita ini dapat berupa pengalaman, sejarah, bahkan opini yang itu bisa berisi kebenaran atau kebohongan. Selama manusia memiliki kemampuan bercerita dan meyakinkan secara logis maka akan ada yang menyetujui ataupun menolaknya.

Dari dulu perang antar kelompok manusia penyebab utamanya adalah ‘cerita’ yang tidak sama. Tidak bisa dicari jalan tengah untuk memahami saudaranya dengan percakapan atau argumen yang berbeda cerita. Maka akan terjadi perselisihan dan jika antar kelompok, mereka akan tawur, bahkan perang. Seorang pemikir, untuk memuaskan ego yang tetapi memiliki komunikasi yang buruk, dampaknya hanya kepada dirinya sendiri. Tetapi orator ulung seperti Mussolini ataupun Hitler, piawai bercerita membawa bangsanya dan menginspirasi rakyatnya menjadi too proud nation justru menjadi sangat berbahaya. Mampu memicu perang antar negara melalui tutur kata.

Saat Nabi Adam diturunkan ke bumi diajari nama-nama. Sejak itu manusia memiliki bahasa untuk menyebutkan nama-nama dan cara mengkomunikasikannya. Realitas objek seperti gunung, pepohonan, tebing, jurang, batu, tanah, air dan apa saja yang bisa teraba panca indera dihadirkan dengan nama-nama dalam percakapan. Begitu juga dengan realitas subjektif seperti rasa sakit, lelah, gembira, sedih dan berbagai yang bisa dirasakan dapat disampaikan melalui kata-kata. Sedangkan imajinasi sebagai realitas ketiga perlu berkelindan dengan realitasnya agar diterima. Mungkin dulu ada yang memiliki imajinasi membuat roda berbentuk segitiga atau mungkin berbentuk kotak, namun roda berbentuk lingkaran lebih masuk akal dan bisa diterima.

Lihat juga

Teknologi semakin berkembang pesat, mungkin di tahun 90’an tidak terbayangkan orang-orang dapat dengan mudah mengakses informasi dan berkomunikasi seperti sekarang ini. Loncatan teknologi telah merubah kehidupan umat manusia menjadi seperti yang sedang kita alami. Namun yang terjadi gawai dan segala tools di dalamnya merampok perhatian dari aktivitas keseharian kita. Berapa jam kita habiskan untuk memperhatikan layar gawai dan melakukan scroll. Kebiasaan itu bisa merenggut perhatian kita kepada keluarga dan orang-orang yang berada disekitar kita.

Berbagai platform digital memanjakan siapa saja penggunanya. Tanpa disadari, para penggunanya bermalas-malasan dibuai dan tenggelam dalam banjir informasi. Perhatian pada mempelajari ke dalam diri dan realitas yang terjadi disekitar jadi cenderung berkurang. Karena jebakan gadget dengan berbagai platform digitalnya telah membuat kita hanya memperhatikan yang terjadi jauh di luar diri kita sendiri.

Kita dipaksa untuk berpikir global. Peristiwa Internasional seolah urusan tetangga kanan kiri kita. Resesi seperti adanya ancaman binatang buas yang sedang kelaparan berkeliaran di sekitar rumah kita. Juguran para presiden dunia di Bali yang baru saja terjadi bulan lalu terasa seperti usai rapat RT yang sebentar lagi berpengaruh terhadap jadwal kerja bakti atau iuran bulanan warga. Santer kelangkaan pangan dunia bagaikan isu akan bangkrut satu-satunya warung sembako yang biasa dipakai kasbon oleh warga kampung. Gelaran kompetisi sepak bola Piala Dunia di Qatar sudah seperti kompetisi antar kampung yang kita seakan harus terlibat secara emosional dan aktivitas keseharian kita harus terpengaruh. Kita terlalu disibukkan dengan berbagai urusan besar yang belum karuan benar-benar menjadi urusan kita, sementara yang benar-benar urusan kita dan semestinya dapat dikerjakan lebih optimal dan perlu kewaspadaan penuh justru kurang. Untuk itu Jagratara kita perlukan.

Dalam kosmologi Jawa, kita mengenal maningal, manekung, dan manages. Saat maningal kita menggunakan panca indera, logika dan fokus berfikir atas semua kejadian dan permasalahan untuk dicari kemungkinan alasan di luar dari dirinya. Kemudian setelah itu manekung, yaitu proses dimana kita menggunakan rasa, mengendapkannya untuk mereduksi nafsu. Kosong untuk mencapai manages, yaitu petunjuk ilahiah yang sejati.

Di penghujung tahun sekaligus untuk menghadapi tahun 2023 dan tahun-tahun berikutnya Kenduri Cinta mengusung Jagratara pada edisi Desember 2022. Diambil dari Bahasa Sansekerta yang bermakna selalu waspada.  Seperti biasa forum terbuka yang dapat dihadiri oleh siapa saja, sampai jumpa. (Redaksi Kenduri Cinta) 

Lihat juga

Back to top button