IBU PADHANGMBULAN: SUMBER KASIH SAYANG, DAN MUARA KERINDUAN

Pada era ’90an awal, pasokan listrik di kampung-kampung masih terbatas. Hanya segelintir orang saja yang mampu mengakses (membayar) penggunaan listrik. Termasuk di kampung saya. Listrik sebatas digunakan untuk lampu penerangan di waktu malam. Kala itu, belum ada yang punya namanya kulkas, teve, AC, setrika listrik, mesin cuci, magic com, apalagi blender. Semua masih serba manual.

Lantaran pasokan listrik terbatas, lampu penerang minim, maka kondisi kampung di malam hari tampak gulita. Jalanan remang, rumah-rumah temaram. Mereka yang rumahnya tidak dialiri listrik biasa menggunakan dian atau tintir sebagai pelita. Botol/ kaleng diisi minyak tanah, lalu dikasih sumbu. Sumbu yang mencuat ke atas disumet (dinyalakan) dengan api. Nyalanya tak seberapa, namun cukup menjadi suluh bagi sekitar. 

Bila malam telah tiba, ibu sudah tidak memperbolehkan anaknya keluar rumah. Pokoke kudu ning njero. Ora oleh metu. Solat, ngaji, makan, dan nggarap PR menjadi menu rutin di malam hari. Dan satu-satunya hiburan malam bagi keluarga kami adalah mendengarkan siaran radio. Bercengkrama bersama keluarga sembari menikmati lagu, tembang, atau wayangan dari pesawat radio, sudah menjadi hiburan yang amat sangat istimewa. 

Jika kentong uluk-uluk sudah dibunyikan, itu tandanya pukul sembilan malam. Wayahe kami tidur. Hari telah larut. Selain ketukannya yang khas, kentong uluk-uluk juga menjadi semacam kode (pemberitahuan) bahwa kondisi kampung aman, dan warga dipersilakan untuk istirahat (tidur). Petugas ronda siap berjaga mengamankan kampung dan sekitarnya. Bagi saya yang masih kanak saat itu, bunyi kentong uluk-uluk terasa unik sekaligus mistik. Ada rasa aman ketika mendengarnya, tetapi juga merinding setiap merasakan ketukan demi ketukannya. Tung tung tung tungtungtungtung tung tung tung. 

Pada zaman minim penerangan tempo dulu, ada satu momen yang selalu saya dan kawan-kawan tunggu. Momen yang begitu asyik dan ngangeni. Yang hanya terjadi sebulan sekali. Ya, padhangmbulan. Setiap padhangmbulan (malam 15) bulan bulat sempurna. Purnama. Cahyanya terang. Sinarnya benderang. Menerangi seisi bumi. Malam hari bak siang hari. Di momen itulah ibuku dan hampir semua orang tua di kampung mengizinkan anak-anaknya keluar rumah. Bermain. Dolanan. Delikan (main petak umpet). Main ninja-ninjaan pake sarung, dll. Padhangmbulan benar-benar menjadi wahana klangenan kami sebagai anak-anak dusun yang jauh dari gemerlap perkotaan. 

***

Sore tadi (31/8), tatkala adzan Magrib berkumandang, di ufuk timur bulan tampil purnama. Padhangmbulan. Warnanya kuning-oranye, keemasan. Indah. Megah. Cantik sekali. Sungguh takjub menyaksikannya. Beberapa kali saya coba abadikan lewat kamera. 

Entah kenapa, setiap momen padhangmbulan, ingatan saya langsung terbawa ke masa lalu. Teringat ibu. Teman sepermainan. Dan kampung halaman. Teringat malam-malam kami yang berselimut kegelapan. Maka saat momen padhangmbulan, kami menyambutnya suka cita. Bagi anak-anak sepantaran kami saat itu, padhangmbulan layaknya hari raya yang patut dirayakan. 

Di waktu yang bersamaan, di penghujung Agustus (31/8), di Desa Mentoro, Sumobito, Jombang, digelarlah pengajian Padhangmbulan. Forum yang diadakan sebulan sekali tepat saat purnama tiba. Padhangmbulan merupakan “ibu” dari anak-anak majelis, simpul, dan lingkar Maiyah yang tersebar di penjuru negeri. “Ibu” yang telah 30 tahun mengasuh, mengayomi, dan mengajari anak-cucunya nilai-nilai kasih sayang, persaudaraan, hingga kebermanfatan bagi liyan. 

Seperti halnya masa kecil saya dulu, para penggiat dan jamaah Maiyah pun merayakan setiap gelaran Majelis Padhangmbulan. Dengan cara berkumpul, bershalawat, bermunajat, dan sinau bareng. Itu semua dilandasi dan ditunaikan atas dasar rasa syukur kepada Yang Maha Pemberi Hidup, berikut rasa cinta kepada sang kekasih Baginda Muhammad Saw.

Laiknya rumah ibu, selalu tumbuh rindu untuk beranjangsana ke Padhangmbulan. Nuansa sederhana, udara sejuk, suasana asri nan syahdu di area Omah Padhangmbulan, benar-benar menciptakan kehangatan dan kenyamanan. Kami selalu ingin dan ingin kembali ke sana. Berziarah, bersilaturahmi, mengaji, menata hati, menjernihkan pikiran. Semoga Ibu yang bernama Padhangmbulan demikian adanya. Menjadi sumber kasih sayang, dan muara kerinduan. 

Gemolong, 31 Agustus 2023

Lihat juga

Back to top button