HITUNG GUNDHUL DAN MANUSIA HARAM
Jarum jam mendekat ke angka 9 dan 5. Duh, sudah lewat 25 menit dari rencana warga di kampung saya untuk memperbaiki jalan. Yup, sudah sekian lama jalan itu bolong-bolong, aspalnya mengelupas, kalau dizoom dari atas mirip kolam-kolam kecil tanpa air.
Alhamdulillah giat rutin rumah sudah “rampungan”. 20 menit yang lalu kami sarapan menu “mewah”. Tahu bacem sambel bawang, sepotong daging ayam, nasi liwet, plus teh manis gelas kecil. Hihuii, “nggemeske” kan?
Sambil “njepit” sebatang kretek yang barusan saya nyalakan, kaki ini segera melangkah menuju medan kerjabakti kampung kami. Wuih, rame, bapak-bapak semua, laki-laki semuanya.
Deru mesin “molen” mengiringi giat bersama kami. Dua bapak mengoperasikannya, sepertinya memang “tukang”, tenaga ahli yang didatangkan untuk efisiensi waktu pengerjaan. Maklum, hari-hari sebelum minggu di beberapa tempat di Jogja sudah hujan. Ada yang gerimis, ada “lebat tapi sebentar”, ada yang “babar blas” belum bau “ampo”.
Nah, kampung saya masuk kategori terakhir. Belum “diguyur” hujan, sudah lebih dari 10 hari “sumuk”, gerah, baik siang atau malam. Kalau malam banyak warga “non stop” hidup AC nya, tentu dengan setelan derajat yang masing-masing. Rumah saya? Tidak ada AC, maklum wong “ndalan”. Lebih terbiasa panasan, berkawan sinar matahari dan panas mesin kendaraan. Malam sumuk ya copot baju atau kipasan, kwakk.
Ada “segundhuk” pasir, split, dan puluhan karung semen. Semua berada si tempatnya masing-masing, tak jauh dari molen yang terus berderu bak isi fikiran beliau para tukang. Yess, para ahli ini yang kemudian memandu seluruh aktifitas “ngecor” jalan utama kampung kami.
Menurut Mas Sekretaris RT saya, juklak juknis kerjabakti ini digawangi 8 orang tukang. Bahan bangunan ngecor “sumbangan” dari Seseorang nyalon anggota Dewan, plus dulu pernah menjabat Lurah Desa sekian waktu.
Ooo.. jadi begitu Mas, kata saya.
Iya Pak, dan pengerjaannya borongan.
Ooo.. pantesan ada beberapa orang yang tidak saya kenali wajahnya, kata batin saya.
Eh tapi, ini tukangnya jadi 8 orang atau berapa, saya belum tahu pasti Pak, sahut Mas Sekretaris RT.
“Nek dulu, waktu saya muda, kami biasa ‘nembung” anggota dewan yang sudah jadi dengan istilah ‘etung gundhul’ Mas, kata saya.
“Gimana itu Pak?”, tanya Mas Sekretaris RT.
“Misal untuk acara ‘pesta’ bareng’ Mas, kami telpon anggota Dewan A (nama misal), lalu dijawab oleh Pak A dengan kalimat ‘oke, pirang gundhul?'”, jawab saya.
“Misal untuk biaya akomodasi + logistik pesta bareng, ya dikalikan jumlah gundhul kami sampaikan ke Pak A. Kemudian dana segar turun ke acara kami”, papar saya.
“Woalah, gitu ya Pak”, sahut Mas Sekretaris.
“Yess Mas. Kadang ya ada manipulasi jumlah gundhul, biar ada sisa untuk dana taktis tambah logistik atau P3K”, jawab saya.
“Dan semua dana segar dihabiskan bareng Mas. Entuke piro didum rasane nggo kabeh. Ndak ada ‘makelarisasi’ atau ‘ngunthet’ Mas”, kata saya lagi.
“Tapi itu jaman dulu waktu saya masih “jahiliyah” lho Mas. Jangan ditiru karena memang tidak benar untuk ditiru. Ini hanya cerita masa lalu Mas”, sahut saya secepatnya supaya Mas Sekretaris RT paham maksud saya.
“Whaini, malah bisa untuk menganalisa bagaimana sebetulnya dana segar kerjabakti ini ya Pak?”, kata Mas Sekretaris RT.
“Bisa saja Mas. Asal nanti yang dicari itu ‘apa yang benar’, bukan ‘siapa yang salah’. Nanti akan ketemu semuanya Mas. Soal siapa yang benar, nah itu karena apa yang benar sedang melekat pada seseorang atau siapapun”, jawab saya.
***
Percakapan kami terhenti, batu split harus bergiliran dengan pasir untuk masuk ke molen. Saya “nyeroki” pasir, Mas Sekretaris RT ngangkuti ember yang saya isi pasir. Nyenengke. Ada taktis dan teknis yang berganti-ganti pelaku/subjeknya dengan saling rela, kecuali operator molen yang memang “pantesnya” ya dipegang yang ahli (tukange). Dua RT kerjabakti bersama, berbagi teh dan air minum dengan gelas yang sama. Ada arem-arem dan tahu bacem yang menggoda, sesekali dipetik dinikmati bapak-bapak yang hadir. Emejing keterjadian, kata batin saya.
Sebelum jam 11 saya “mlipir” pulang, ada rencana “tilik bayi” kawan juang saya ba’da Dhuhur. Masih bisa istirahat sebentar ‘nggaringke kringet’, dan mandi biar bersih. Kalau menggunakan “khasanah” Maiyah yang Lima Type Manusia, semoga saya tidak masuk kategori Manusia Haram di lingkar domisili saya. Juga supaya adik bayi “ponakan” saya nanti tidak mencium bau semen, hihi.
Yogyakarta, 5 November 2023.