Hikayat Djati

Entah bagaimana cara mengawali tulisan ini, sepertinya mudah, namun cukup lumayan rumit bagi kami yang jebolan S1 + D1 alias SD. Tetapi tak dapat dipungkiri akibat support, kritik, dan saran teman-teman yang membaca Menek Blimbing membuat semangat selalu bangkit seperti pengantin anyar.

Baiklah kawan, mari kita berkelana sejenak sembari menikmati Rasa Syukur yang nikmatnya melebihi Es Campur.

Ada seorang “Pendekar Silat” menggunakan caping bercadar putih, kegemaran beliau berjalan mengelilingi seluruh penjuru bumi, iya, seluruh penjuru bumi. Beliau pernah melintasi padang pasir, Jabal Nur, bahkan beliau pernah berjalan naik tinggi di atas medan batu batu terjal di bawah terik panas matahari. Beliau juga pernah singgah di tempat Nabi Musa pingsan melihat ledakan gunung batu raksasa yang meleleh. 

Suatu ketika saat berada di negara musim salju, dengan berjalan kaki beliau silaturahmi ke rumah sahabat karibnya. Di tengah perjalanan itu, salju sudah turun menemani setiap kaki melangkah. Di telapak kaki beliau masih membekas lukisan tebalnya salju, tajamnya bebatuan, bahkan goresan panas matahari mengisahkan tentang Syari’, Thoriq, Shirot, Sabil, semua ditempuh dalam sunyi. Berjalan dan terus berjalan, dingin salju semakin akrab dengan tubuhnya, seolah-olah enggan berpisah seperti panas matahari di Jabal Nur itu. 

Setelah tiba di rumah sahabat karibnya, beliau mengetuk pintu beberapa kali, namun tak ada satu suara pun menjawab. Sepertinya rumah itu sedang ditinggal pergi pemiliknya. Saat itu manusia benar-benar mengandalkan ketajaman sinyal telepati bukan sinyal telekomunikasi seperti zaman sekarang ini. Waktu semakin bergerak menuju malam, beliau masih tetap menunggu di depan pintu rumah itu. Berharap sahabatnya segera pulang. Langit mulai berganti warna menunjukkan malam telah datang. Dingin salju semakin kuat, sekuat rasa kangen kepada sahabat. Beliau tetap tak beranjak dari tempat itu. Sampai akhirnya beliau tertidur dalam keadaan telungkup sambil menahan dingin dinegara salju. 

Lihat juga

Hidup sendiri di Negara orang, tak ada saudara atau pun kawan, menahan haus dan lapar menjelajahi dunia men-tirakati kehidupan. 

Menjelang pagi tiba, sahabat yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, beliau terjaga dari tidur sejenak akibat mendengar langkah kaki yang telah lama ia kenal. Dengan penuh kerinduan keduanya berpeluk erat, kedua pendekar itu saling menatap wajah, seakan-akan saling membaca perjalanan kisah masing-masing. Tanpa cerita tanpa kata kata. 

Setelah terasa cukup keesokan harinya beliau melanjutkan perjalanan. Sengaja beliau berjalan kaki mengikuti alur hati nurani, bukan tidak membawa bekal, beliau selalu siap lahir batin, ijtihad dan ikhtiarnya sangat tinggi. 

Walaupun tidak sebanyak para saudagar, namun beberapa lembar uang selalu ada secukupnya. Di tengah tengah perjalanan beliau didatangi gerombolan orang asing berbadan kekar penuh tatto. Di antara gerombolan itu datang seorang pimpinannya mendekati beliau, dengan bahasa asing yang intinya “njaluk duwit”. Beliau tetap tenang serta menatap wajah juga mendengarkan ucapan preman yang bernada kasar. 

Kemudian beliau mengambil dompet dari saku, lalu membuka dompet di hadapan preman tadi, namun beliau tidak mengambil uang, yang beliau ambil adalah silet tajam, bukan untuk di-“slentik”-kan ke wajah si preman, tapi silet itu malah dikunyah sendiri oleh beliau.

Preman itu terkejut dan mundur selangkah, kemudian anak buahnya bicara kepada ketua begal itu dengan bahasa negara mereka. Artinya begini: “Hati-hati bos di depan kita ini orang nyeleneh” (sepurane reek, gak iso boso asing) Tetapi beliau tetap memberi uang kepada mereka, tanpa diminta paksa pun beliau memberi dengan senang hati. Bahkan setelah kejadian itu membuat mereka menjadi baik pada beliau, serta berkenan menawarkan jasa untuk siap mengantar kemana tempat tujuan. 

(QS. Ali Imran: 139).

 وَلَا تَهِنُوۡا وَ لَا تَحۡزَنُوۡا وَاَنۡتُمُ الۡاَعۡلَوۡنَ اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ‏ 

“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman.” 

(QS Al-Baqarah: 216)

. وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Artinya: Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” 

Begitulah hakikat jiwa Pendekar Silat, sigap, tenang, fokus dan waspada terhadap segala keadaan. Bergeraknya adalah ibadah, diamnya adalah Falsafah.

Menurut sepemahman kami, apabila di dalam jiwa manusia telah mendarah daging (nggetih) unsur-unsur ke Tauhidan-nya “Penuh Dengan Karomah” dialah Pendekar. 

Tentu tidak cukup dengan itu, jiwa pendekar selalu menemani, membahagiakan, mencerahkan masyarakat, rakyat bahkan ummat, dengan istiqomah “Silaturahmi”, itulah Silat. 

Mohon izin, Beliaulah Raden Ronopati nama Gelar Satria Panandita Sanisihan Wahyu adalah Sunan Kadipiro yang oleh anak cucunya beliau disebut dengan hati penuh Cinta, ya itu, Mbah Nun

Sampai sekarang pun Pendekar Silat itu, masih berjalan dan terus berjalan. Menanam kebaikan di segala penjuru bumi Tuhan. Memuliakan yang diremehkan orang, Membangkitkan semangat yang telah hancur berantakan. 

طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا، مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ

Telah terbit purnama di atas kita, dari lembah wada

وَجَبَ الشُّکْرُ عَلَيْنَا، مَا دَعَا لِلهِ دَاعِ

Wajiblah kita bersyukur atasnya, ketika seorang penyeru mengajak kepada Allah. []

 

Lihat juga

Back to top button