GAMBANG SYAFAAT MENAPAKI SPIRIT KIAIKANJENG

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Gambang Syafaat Semarang Shalawatan Bersama KiaiKanjeng, Jumat 25 Agustus 2023)

Menapaki Perjalanan Spiritual Bersama KiaiKanjeng

Saat itu tepat pukul 20.36 WIB ketika Pakdhe-pakdhe KiaiKanjeng mulai menempati panggung tempat berlangsungnya acara. Diikuti oleh beberapa pertanyaan pengantar dari Kang Muhadjir sebagai pemantik, diskusi dalam acara shalawatan tersebut menghadirkan beberapa narasumber utama yang telah merasakan perjalanan spiritual bersama dengan KiaiKanjeng. Di antaranya adalah Pak Nevi, Pak Joko Kamto, Pak Yoyok, Pak Bobit, Mas Helmi, dan Mas Doni. Setiap narasumber membawa sudut pandang yang unik dalam menggambarkan bagaimana perjalanan dengan KiaiKanjeng ini telah mengubah hidup mereka.

Pak Nevi, salah satu personal KiaiKanjeng, memulai diskusi dengan menceritakan perjalanan panjangnya bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng sejak tahun 1978. Beliau mengingat bagaimana pada zaman reformasi tahun 1998, KiaiKanjeng dan Mbah Nun berkeliling ke banyak wilayah untuk menyebarluaskan sholawat meskipun situasi politik saat itu sangat mencekam. Pak Nevi menyampaikan bahwa perjalanan spiritual bersama KiaiKanjeng telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Pak Nevi juga menyampaikan bahwa di era politik yang mulai menghangat seperti ini, shalawat bisa menjadi salah satu sarana agar tetap waras dalam menghadapi berbagai kondisi.

“Saya merasa diperjalankan oleh Allah melalui KiaiKanjeng” – Pak Nevi

Pak Joko Kamto, narasumber berikutnya, berbagi kisahnya tentang bagaimana beliau yang awalnya jauh dari shalawatan. Namun, dengan bimbingan Mbah Nun, beliau mulai mengenal dan mengapresiasi sholawat. Pak Joko Kamto menjelaskan bahwa shalawat bukan semata-mata penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw., tetapi juga merupakan bentuk hubungan vertikal dengan Allah Swt. Beliau mengungkapkan keyakinannya bahwa shalawat dapat dilakukan hampir setiap saat untuk terus menghubungkan manusia dengan Allah dan Nabi Muhammad.

“Mungkin jika saya sudah tidak bisa shalat, hal yang akan saya lakukan sampai akhir hayat adalah bershalawat” – Pak Joko Kamto

Mas Yoyok membawa perspektif tentang pengaruh KiaiKanjeng dalam budaya populer. Beliau menyebut album Kado Muhammad yang mengangkat nilai religi dalam konteks budaya. Lagu “Lir-ilir” juga adalah contoh bagaimana melodi Melayu digunakan untuk merangkul banyak orang di Nusantara. Melalui perjalanan seni KiaiKanjeng, beliau menekankan tentang nilai keberagaman yang dapat menyatukan banyak orang dari berbagai latar belakang.

“Latar belakang saya bukan santri, hanya pernah mendengar shalawatan di langgar. Lalu saya mulai berlatih dengan KiaiKanjeng” – Mas Yoyok

Setelahnya, Pak Bobit bercerita mengenai kendala yang pernah dihadapi saat KiaiKanjeng akan berangkat menghadiri undangan shalawatan di Banyuwangi karena bertepatan dengan maraknya konflik pembunuhan dalam isu santet di sana. Pada saat itu kondisinya sedang sangat mencekam sehingga setiap mobil yang melewati jalan akan diberhentikan dan ditodong dengan puluhan pertanyaan sebelum memasuki kawasan. Beruntungnya, perjalanan justru menjadi lancar karena mobil yang ditumpangi oleh Pakdhe-pakdhe KiaiKanjeng justru dikawal dan diantarkan hingga selamat sampai ke tujuan.

“Komunitas mana yang sejak awal memperkenalkan sholawat? Jelas Cak Nun dan KiaiKanjeng” – Pak Bobit

Diskusi berlanjut dengan pandangan dari Mas Helmi tentang ekspresi musik dalam KiaiKanjeng. Beliau menjelaskan bahwa KiaiKanjeng memilih shalawat sebagai sarana untuk memberikan nuansa baru dalam ekspresi musik. Gamelan KiaiKanjeng yang unik menunjukkan bahwa KiaiKanjeng tidak hanya berfokus pada tradisi, tetapi juga ingin menciptakan interpretasi baru dalam bentuk seni.

“Saat itu Islam belum mendapat tempat yang wajar di ruang publik, dan Mbah Nun dengan KiaiKanjeng mengisi ruang itu melalui album Kado Muhammad. KiaiKanjeng menjadi role model bagi jamaah Maiyah dalam mengungkap cinta melalui shalawat” – Mas Helmi

Mas Doni melanjutkan dengan cerita perjalanannya dalam KiaiKanjeng. Beliau mengingat bagaimana pertama kali diuji oleh Mbah Nun untuk menyanyikan lagu KiaiKanjeng dan mendapat kiriman 147 lagu sekaligus untuk didengarkan dan dipelajari. Dengan latihan dan dukungan dari kelompok, beliau merasakan transformasi dalam dirinya. Panggung pertamanya bersama KiaiKanjeng pada tahun 2010 di Titik 0 Kilometer Yogyakarta adalah momen bersejarah dalam perjalanan spiritualnya.

“Bagi saya, berkarya di KiaiKanjeng adalah puncak dari karier saya” – Mas Doni

 Transformasi Diri Melalui Sholawat dan Seni

Perjalanan KiaiKanjeng dimulai dari musik puisi, berpindah ke shalawat, lalu ke tawashshulan. Pada awalnya, fokus mereka lebih pada bentuk puisi sebagai sarana ekspresi untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual. Musik dalam konteks ini masih memiliki peran pendukung yang sederhana, lebih sebagai penyempurna dari karya puisi. Seiring berjalannya waktu, KiaiKanjeng mulai memasukkan unsur-unsur musik ke dalam perjalanan spiritual mereka. Shalawat, sebagai bentuk penghormatan dan doa kepada Nabi Muhammad menjadi pilihan yang tepat karena memberikan dimensi spiritual yang lebih dalam.

Tawashshulan adalah inovasi KiaiKanjeng yang menggabungkan syiar dengan lagu populer yang akrab di telinga masyarakat. Penggunaan lirik-lirik syiar dalam lagu-lagu populer memberikan nuansa baru yang unik, di mana pesan keagamaan terkandung dalam alunan musik yang familiar. Tawashshulan adalah cara KiaiKanjeng menghubungkan tradisi agama dengan realitas budaya populer. Dalam hal ini, KiaiKanjeng memadukan dua unsur yang mungkin terlihat bertolak belakang, namun dengan kreativitas yang tinggi, mereka menciptakan bentuk ekspresi baru yang menggugah jiwa.

Pada awalnya, masyarakat mungkin memiliki pandangan skeptis terhadap shalawatan yang diusung oleh KiaiKanjeng. Shalawatan dianggap tradisional dan terbatas pada ranah keagamaan formal. Namun, perjalanan KiaiKanjeng dalam menghadirkan shalawatan dengan sentuhan musik dan tawashshulan berhasil mengubah pandangan ini secara signifikan. KiaiKanjeng mampu menghidupkan kembali semangat dan pesona sholawatan dengan cara yang segar dan menarik, sehingga banyak orang yang semula mencibir shalawatan sekarang justru terlibat dalam membawakan lagu-lagu KiaiKanjeng.

KiaiKanjeng berhasil memperluas persepsi masyarakat terhadap sholawatan, mengangkatnya dari keterbatasan tradisional menjadi ekspresi yang kontemporer dan inklusif. Mereka membuktikan bahwa sholawatan bisa menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai aspek kehidupan, dari agama hingga budaya. Transformasi perjalanan KiaiKanjeng dari musik puisi hingga tawashshulan adalah cerminan dari dedikasi mereka dalam memberikan nilai-nilai spiritual melalui medium yang lebih universal dan mengakar di tengah-tengah masyarakat.

Menyoal Harapan dan Makna

Para narasumber berbagi harapan mereka untuk masa depan KiaiKanjeng. Pak Joko Kamto menyampaikan harapannya bahwa regenerasi KiaiKanjeng akan mengambil semangatnya dan menerapkannya sesuai dengan komunitas mereka masing-masing. Pak Nevi menekankan bahwa perjalanan spiritual bersama KiaiKanjeng adalah bentuk investasi dalam kehidupan rohaniah yang lebih mendalam.

“Regenerasi bukan berarti anak-anak harus melakukan hal yang sama dengan kami. Namun ambil semangatnya dan terapkan di komunitas anak-anak kami masing-masing” – Pak Joko Kamto

Sebagai penutup, para narasumber mengungkapkan gambaran mengenai Mbah Nun. Mbah Nun adalah jebolan Pondok Pesantren Gontor dan merupakan seniman sastra dari kota santri Jombang. KiaiKanjeng yang dibentuk oleh Mbah Nun telah menjadi wadah untuk melanjutkan tradisi keagamaan melalui seni dan ekspresi. Dalam perjalanannya, KiaiKanjeng berhasil mengangkat sholawat ke ruang publik dan menciptakan tradisi Maiyah yang memberikan ruang bagi spiritualitas.

Diskusi ini memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana setiap personal dalam KiaiKanjeng merasakan perjalanan spiritual yang bermakna. Benang merah yang menghubungkan diskusi ini adalah perjalanan yang membawa setiap individu menuju makna dan pengalaman yang sangat berharga melalui KiaiKanjeng.

Perjalanan spiritual bersama KiaiKanjeng bukan hanya sekadar merayakan musik, tetapi juga menggugah roh dan menjalani perjalanan makna yang mendalam. Setiap narasumber telah merasakan perjalanan yang sangat berharga dan berarti, mengalami transformasi spiritual, dan dengan demikian, mereka membawa cerita yang memotivasi serta menginspirasi banyak orang untuk merasakan perjalanan yang sama. Dalam diskusi ini, KiaiKanjeng menjadi simbol kesatuan dan perubahan yang positif, membawa pesan perdamaian dan kebersamaan melalui musik dan sholawat yang mereka bawakan.

“Spirit KiaiKanjeng adalah menjunjung yang diremehkan orang, menggali yang dikubur orang, dan mengingat yang dilupakan orang” – Pak Nevi

 

Lihat juga

Back to top button