FANSHAB (LAGI)

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Poci Maiyah Tegal, edisi September 2023)

Kulla yaumin huwa fii sya-ni. Setiap saat Dia (Allah) di dalam ‘kesinambungan’.

Faidza faroghta fanshob, Maka ketika selesai, lanjutkanlah lagi (ke pekerjaan yang lain).

Sepasang kekasih melangsungkan pernikahan. Jika cinta ibarat gelombang, maka pertemuan dari dua gelombang sepasang manusia itu melahirkan partikel : bayi. Jangan buang-buang energi mendalami apa itu cahaya, seperti halnya debat kusir tentang sudut pandang baik dan buruk. Mari kita naik, seperti kata surat al insyiroh itu. Fanshob , salah satu maknanya adalah menaikan, reposisi, mengangkat, mengalirkan. Ada baiknya kita naik ke pembahasan keadilan, daripada sudut pandang baik dan buruk.

Bayi itu tumbuh, fanshob, tinggi dan berat badan (umumnya) bertambah, naik, meningkat. Seperti kutipan surat ar rahman itu, tidak ada yang benar-benar diam di semesta ini. Bahkan, keheningan hatimu yang konsisten di jalan sunyi itu, ‘ramai’ dengan pemandangan yang hanya kamu saja yang tahu.

Memasuki usia satu dua tahun, bayi itu belajar bicara, belajar berjalan. Huruf demi huruf, suara demi suara dia hafalkan. Otaknya mulai sibuk, terlebih bagi mereka yang diberikan handphone agar tak rewel. Perlahan dia mulai bisa diajak bicara dengan orangtuanya. Lambat tapi pasti, dia mulai bertanya apa ini dan apa itu. Dan memasuki usia sekolah, anak itu mulai memahami huruf, rangkaian kata, angka, dan kalimat. Lalu, sebagian tetap menjadi anak yang sayang pada orangtuanya, sebagian lagi membangkang. Anak-anak yang sholeh akan paham, mengajari apalagi menceramahi orangtunya dengan mulut yang dulu diajarinya bicara adalah suatu pelanggaran. Atau sekedar bilang “Ah, mane pimen sih?” atau “Aduuh.. Bapane pimen sih?” apalagi di hadapan mereka. Pembelajaran intelektual, meningkat ke pembelajaran rasa. Bagaimana agar tetap tenang, tetap sayang, pada orangtua yang tak paham, selama tidak mengajaknya berbuat dosa.

Lihat juga

Kita skip cerita tentang anak toleh, anak-anak yang suka bertulah. Selain kita berdoa agar dijauhkan dari watak itu, kiranya tak usah diceritakan juga di kenyataan begitu banyak. Meski tentu saja, kita juga bisa salah dan lupa, tapi kita berharap Tuhan berkenan selalu menjaga hati kita agar cenderung dalam kebaikan.

Memasuki usia akhir remaja, anak itu bermain, bergaul, dan seringkali juga tak pulang. Sebagian sadar sedang dalam pembelajaran kehidupan. Sebagian lagi lepas kendali diri kebingungan entah apa yang dicari. Pada awalnya, ia tertarik dengan begitu banyak misteri kehidupan. Darimana manusia bermula?, Apa yang manusia cari dalam hidup ini?, Mengapa orang baik bernasib buruk?, Apa itu takdir dan bagaimana mekanismenya? Dan seterusnya. Sebagian menemukan jawaban-jawaban yang menjadikannya terus naik ke pertanyaan lain dan pemahaman yang lebih luas. Sebagian menyerah, merasa lelah, lalu seperti orang-orang kalah: meratapi nasib dan posesif.

Anak-anak yang tertuntun, terbimbing, yang awalnya mencari dengan sungguh-sungguh, mulai bicara. Mereka menyampaikan pada banyak orang yang membutuhkan pengajaran itu. Bukan hanya lewat lisan, sebagian mulai menaikan kapasitasnya, selain bicara mereka juga menulis. Esai, cerpen, komik hikmah, buku, anak-anak itu tak berhenti mengalir. Anak-anak yang menulis itu bukan berarti tak mau berada di lingkaran anak-anak yang masih asyik berbicara lagi, melainkan, seperti halnya cahaya di awal itu, bersinar dari sumber yang sama ke tempat-tempat lain. Jika cahaya hanya bersinar di satu tempat, maka tempat lain akan dikuasai kegelapan. Jika ilmu adalah cahaya, maka mengapa hanya bersinar di tempat itu saja?

Sebagian anak itu berhenti dikapasitas menulisnya, sebagian lagi berkarya. Mencari solusi-solusi masyarakat, bahkan ikut membuat program bersama para pemimpin bangsa. Sebagian tergoda dengan fasilitas, kelezatan dunia, sebagian anak tetap mati-matian berjuang untuk umat, demi cinta kepada nabinya, tak meminta-minta meski dipersilakan, dan tetap hidup tegap dengan sikap zuhudnya. Ada yang bilang, hidup ini pilihan. Seperti pepatah, sekalipun pengetahuan (katanya) adalah beban, memilih kebodohan bukanlah pilihan yang tepat. Sekalipun layak hidup nyaman, sebagian anak itu memilih jalan perjuangan, lagi, dan lagi. Ketika ditanya, apa kamu tak lelah hidup begitu, nak? Jawab anak-anak itu : Hidup ini pasti capek, tapi kami akan malu jika bertemu nabi-ku nanti, dan aku memilih jalan yang salah. Ulama (dan begitu juga umat) dari golongan umatku (rasulullah), seperti nabi-nabi bani israil. Jika nabi bani israil kuat-kuat (misalnya Musa), maka umat ini pun harus kuat. Dan di dalam kekuatan yang besar, terdapat tanggung jawab yang besar pula. Sangat disayangkan, jika kekuatan besar itu tak digunakan untuk perjuangan untuk umat manusia.

Anak-anak itu tumbuh, dewasa, menua, lalu maut pun datang. Kata siapa manusia itu mati? Kita mendoakan yang hidup, bukan yang mati. Doa-doa kita untuk jiwa-jiwa bercahaya yang selalu hidup di alam yang lebih tinggi. Lalu mengapa kita harus ke kuburan untuk mendoakan mereka? Tidak harus, hanya sebaiknya. Sebab, tubuh kita adalah tanah dan air, sedangkan jiwa kita adalah cahaya. Kuburan adalah tempat pulang untuk tubuh, sedang jiwa kita akan kembali lagi, bersatu dengan cahaya. Terkadang berwujud gelombang yang susah ditemui, terkadang berwujud partikel ketika frekuensi kita sama. 

Siapakah anak-anak yang tertuntun itu? Mereka adalah anak-anak Maiyah. Para pencari, penggembala ilmu pengetahuan dan rasa, yang kita berharap Tuhan berkenan menjadikan mereka sebagai kenaikan derajat bangsa dan umat manusia zaman ini. Amin.

(Abdullah Farid/Redaksi Poci Maiyah)

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button