ETNOTIGROLOGI = BERKAWAN HARIMAU JAWA
Persinggungan saya dengan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dimulai sekitar empat tahun lalu ketika saya mengenal Om Didik Raharyono. Om Didik empat juga menemani semalam suntuk di Masyarakat Maiyah Cirrebes (Cirebon – Brebes). Persinggungan beliau dengan Maiyah sebetulnya bukan saat itu saja, jauh sebelumnya beliau sudah kenal dengan almarhum Iman Budhi Santosa yang dikenal dekat dengan alam dan lingkungan.
Om Didik kurang lebih sudah dua puluh lima tahun keluar masuk rimba raya untuk meneliti karnivor besar, terutama Harimau Jawa (Harja). Sebelumnya, sekitar tahun 1980-an Harimau Jawa dinyatakan punah. Para pakar menyatakan habitat terakhir Harimau Jawa hanya ada di Taman Nasional Meru Betiri, JawaTimur pada tahun 1976.
Namun bagi beliau banyak terjadi kejanggalan dalam spekulasi klaim ‘punah’ tersebut. Saat melakukan penelitian dan observasi di lapangan, banyak warga pengakses hutan yang masih bersaksi menceritakan pertemuan mereka dengan sosok Harimau Jawa, bahkan dari kalangan pemburu lokal.
Entah mengapa penentuan lokasi sampling habitat Harimau Jawa saat itu hanya dipilih Suaka Margasatwa Meru Betiri dengan tidak memeriksa wilayah hutan Jawa lainnya yang masih sangat luas. Adapun pemasangan kamera trap selama kurang lebih sepuluh tahun untuk memantau Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, juga mengesampingkan beberapa lokasi berkontur walaupun terinfokan dijumpai Harimau Jawa. Sehingga tidak bisa dijadikan acuan bahwa karena tidak terkamera trap, maka Harimau Jawa dianggap sudah tidak ada di kawasan di mana foto sosoknya pernah di dapatkan tahun 1938. Walaupun ada catatan bahwa tahun 2009 berhasil dicetak jejak tapak kaki Harimau Jawa berdimensi 14×16 cm dari Ujung Kulon oleh UKF-IPB.
2018 merupakan tahun yang sangat bersejarah karena pada tahun itu berhasil didapatkan foto sosok Harimau Jawa di sebuah hutan di Jawa Tengah, yang diambil langsung oleh pemburu lokal saat ‘nyanggong’ Babi Hutan; setelah terakhir kali Harimau Jawa terpotret oleh kamera dalam keadaan hidup sekitar 84 tahun lalu pada 1938 di Ujung Kulon, dan terpotret dalam keadaan tertembak mati pada 1957 di hutan daerah JawaTimur oleh Karno.
Foto 2018 ini membuat Om Didik dan tim PKJ (Peduli Karnivor Jawa) kemudian melakukan verifikasi ke Bapak pemotretnya dan penelitain di lokasi pemotretan dengannya memperoleh hasil memuaskan bahwa gambar foto tahun 2018 itu asli. Kemudian saya dan Om Didik mendapatkan kabar pada awal 2020 ada lagi yang berhasil memotret Harimau Jawa pada tahun 2007 di lokasi berbeda di hutan Jawa, namun yang ini belum selesai diidentifikasi tentang keasliannya.
Di balik kontroversi itu semua, bagi Om Didik Raharyono bukanlah hal biasa karena berpengaruh tentang semua unsur sosial, politik, ekonomi dan geopolitik dalam mempengaruhi kebijakan.
Tetapi yang menarik dari pengalaman keluar masuk hutan dan berinteraksi sosial dengan masyarakat sekitar hutan, ternyata banyak temuan filosofi dan budaya antara Manusia dan Harimau Jawa yang bernilai ekologi dan ekosofis bagi keberlangsungan makhluk hidup.
Masyarakat Jawa khususnya mengenal Harimau Jawa ini dengan sebutan ‘Simbah’, ‘Mbah’, ‘Mbahe’, ‘Buyut’ bahkan masyarakat tatar Sunda mengenal kedekatan raja rimba dengan kerajaan seperti dalam cerita Prabu Siliwangi. Dalam beberapa hal lainnya Harimau Jawa dijadikan sebuah simbol ‘pemilik pengetahuan’ (genius lokal) yang selalu dekat dengan Raja, terutama dalam kerajaan Nuswantara untuk berkuasa, ketika bisa menciptakan senjata yang tidak terkalahkan, seperti raja rimba dengan taring dan kuku tajamnya.
Diharapkan kearifan dan pengetahuan lokal seperti itu menjadi sebuah kebijakan komunal untuk harmonis berbagi ruang antara Manusia dan Harimau Jawa karena keduanya menduduki puncak rantai makanan. Manusia yang berkeadaban ini rela untuk berbagi ruang hidup dengan Harimau Jawa dan hidup berdampingan. Sehingga kita tidak menjustifikasi nilai arogan bahwa Harimau Jawa itu pembunuh.
Ini adalah pelajaran warisan leluhur Nuswantara sesungguhnya, dimana orang asing menyebutnya ‘wild life’ (binatang liar) karena mereka tidak ada singgungan yang menggambarkan peradaban antara kedua makhluk tersebut.
Beberapa minggu lalu bahkan ada sebuah momentum tentang kebudayaan mengenai penyerahan patung Harimau Jawa yang dibuat maestro patung I Nyoman Nuarta dari Bali kepada komunitas masyarakat Cigugur di Paseban Kuningan Jawa Barat. Lewat upacara ‘BaliKaSunda’, ini bukan hanya simbol semata, dalam bahasa Sunda artinya ‘Pulang Ke Sunda’, sebuah rentetan panjang sejarah Nuswantara tentang nenek moyang orang Bali dan Sunda besar (Jawa) yang dipertemukan kembali melalui Harimau Jawa sebagai simbol kembali ke asal dengan membawa kejayaan masa silam untuk masa kini dan akan datang.
Dalam khasanah kearifan lokal di Pulau Jawa, dikenal bahwa Harimau Jawa menjadi sebuah indikator keselarasan dan kesejahteraan sebab Harimau Jawa di habitat asli mampu tidak memakan mangsa hampir dua bulan karena mampu menyerap sumber energi alam terutama logam mulia yang jauh keberadaannya di bawah sarangnya.
Salah satu alasan kenapa bangsa penjajah membantai Harimau Jawa secara besar-besaran untuk merampok semua kandungan kekayaan ibu pertiwi dengan menghilangkan Harimau Jawa sebagai detektor logam alami, selain untuk membuka lahan perkebunnan tebu yang menurut catatan Peter Boomgartz sekitar tahun 1864 sampai 1892 hampir 3.000-an ekor Harimau Jawa terbantai di sekitaran Jawa Utara terutama Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang dan sekitarnya.
Ini juga yang membuat Harimau Jawa saat ini sulit dijumpai karena kemampuannya menyimpan dan membagikan memori trauma ‘pernah dibunuh dan dibantai’. Setipe dengan hasil sebuah kajian dengan percobaan tikus melewati labirin, setelah ada seekor tikus yang berhasil melewati labirin, maka terungkap generasi dari tikus yang berhasil itu maupun tikus lain bukan keturunan tikus percobaan menjadi mampu dengan cepat melewati labirin dengan mudahnya.
Oleh karena itu, saat ini sangat penting untuk segera digali kembali khasanah pengetahuan lokal-hasil rangkuman perjalanan ribuan tahun leluhur yang hidup di Pulau Jawa dalam berinteraksi langsung dengan Harimau Jawa. Biasanya, khasanah pengetahuan lokal ini tersembunyi pada folklor, seloka, simbol, dan etika kebudayaan lainnya. Sehingga generasi ke depan dapat memulihkan kembali hubungan “hidup harmonis berbagi ruang” antara manusia dengan harimau jawa ataupun semua kehidupan selain manusia yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semoga.