DILEMA CAIR DAN PADAT

Aku pernah sedikit didebat oleh adik jamaah maiyah. Teringat pada suatu persiapan pergelaran Teater Perdikan, dia menghampiriku. Secara singkat kuceritakan begini :

“ Wak, sepurane sakdurunge. Menurutku sampeyan pas prolog rapat tadi kayaknya kurang memahami maiyah,” dia mengawali sembari salim menjabat tanganku. Sampeyan kelihatan ono ndredege dengan prakiraan minimal angka rupiah yang dibutuhkan untuk menggelar pentas teater ini. Iki perintah mbah Nun lho, Wak. Koq sampeyan masih ragu memikirkan hal remeh seperti angka rupiah ini.”

Mak jegler, aku sedikit terkesiap dengan makhluk satu ini. Kupandangi wajahnya, aku yakin dia sedang serius sewaktu melontarkan pernyataan itu. “ Terus yoopo maksudmu Dul,” aku membalas singkat.

Ngene lho wak. Maiyah itu kan cair, ojok dipadatkan pada yang duniawi lah. Wong cuma urusan anggaran rupiah, itu dunia padat yang remeh Wak. Apalagi penyelenggaraan acara ini sudah dawuh perintah Mbah Nun, masak nggak yakin ta kalau semua itu akan beres dengan sendirinya… Wis bondho yakin saja Wak, mosok kalah yakin karo arek sing enom-enom,” sedikit panjang ia mengungkpan pemikirannya,

Teman dan dulur semua, baik yang aktif sebagai penggiat di rutinan maiyahan atau yang masih bertugas menjadi jamaah penikmat suguhan ilmu di sinau bareng, aku yakin ada yang pernah mempunyai pemikiran seperti di atas.

Lihat juga

Dialektika tentang maiyah cair atau padatan memang sesuatu yang sangat persepsional dalam alam pikiran kita masing-masing. Ini normal menurutku karena Maiyah adalah hidayah baru, gres, baru diterimakan ke Mbah Nun oleh Allah Swt. untuk disampaikan kepada kita generasi pertama maiyah, umat yang limbung, kemplo, linglung, goblok dan segudang kejahiliyahan kita lainnya produk pendidikan abad 21.

Sekian puluh ribu atau jutaan umat maiyah saat ini yang aktif menggali ilmu maiyah sudah pasti ada sangat ragam tafsir atas apa dibalik semua yang pernah disampaikan Mbah Nun. Semua berhak untuk menafisiri dan menjadikan tadabbur setelah ilmu yang diterimanya dipadukan dengan informasi lain yang dipunyai dan diramu dengan pengalaman pribadi masing-masing.

Hal ini sebenarnya yang membuat aku (dan semoga kita semua) yakin akan kebenaran maiyah. Melihat dari Islam yang dikenalkan Nabi Muhammad Saw., ciri-ciri petunjuk atau ilmu yang sesuai hakikat manusia adalah yang tidak mendoktrin an sich, namun memancing potensi manusia (pemikiran dan nalurinya) menjadi tadabbur yang kemudian diaplikasikan sesuai keadaan diri masing-masing. Maiyah ya juga seperti itu yang aku rasakan, sangat merelatifkan sesuatu yang memang Allah Swt memberikan hak kepada manusia untuk mengelaborasinya. Maka antara kaget dan bangga aku menerima masukan dari dulur maiyah yang kuceritakan diatas.

Kembali ke urusan cair dan padat, bagiku hal ini harus ditadabburi dengan jangkep. Maiyah sebagai nilai pengejewantahan Islam yang sesuai kehendak Allah Sw, maiyah sebagai jalan rekrontruksi Islam yang sesuai ajaran lahir batin Rasulullah Muhammad Saw., menurutku tidak bisa lari dari ubo rampe keduniaan.

Misal dari yang paling kecil dulu contohnya, penyelenggaraan rutinan maiyahan yang digelar di tiap simpul maiyah di seluruh dunia. Apa nggak memerlukan koordinasi untuk dimana tempat, tema sinau, pinjam sound system, terop dan lain-lain? Koordinasi banyak kepala itu adalah pekerjaan organisasi. 

Organisasi adalah bentuk sunnatullah bagi sekelompok orang yang mempunyai tujuan bersama untuk mencapai tujuannya itu secara lebih sistematis, efektif dan efisien. 

Lha tapi membentuk organisasi kan menciptakan firqoh, membentuk golongan? Padahal jelas kita Maiyah jangan sampai menambah kerusakan dunia dengan menambahi jumlah golongan?

Nah ini dilemanya. Dilema yang menurutku kita ciptakan sendiri di tempurung otak kita.

Kalau maiyah disebut Mbah Nun bukan organisasi, menurutku itu artinya jangan dijadikan organisasi sebagaimana lazimnya organisasi yang ada di sekitar kita. Yang perlu akte pendirian dan menyusun AD ART.

Cair-nya maiyah adalah karena ia hidayah untuk memahami nilai-nilai Islam yang direkrontruksi ulang pemahamannya karena di-mlingsih-kan berabad lamanya sejak wafatnya Rasulullah. Hidayah (ilmu) maiyah nggak mungkin dan gak ilok kalau dipadatkan, sebagaimana orang modern mendaftarkan hak cipta dan paten.

Cuma penyerapan dan pelaksanaan nilai-nilai maiyah itu kita perlu memadat. Perlu berorganisasi. Perlu kerjasama, gotong royong dan nyengkuyung bareng-bareng. Untuk apa? Supaya lebih efisien, efektif dan  dan sistematis kita membumikan ilmu maiyah dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi terutama dalam bermasyarakat.

Kita berorganisasi tanpa membentuk organisasi. Kita memadat tidak untuk menjadi golongan yang menambah riuh kerusakan dunia. Maiyah yang cair kita batasi pemahamannya pada nilai-nilai yang disampaikan Mbah Nun berdasar hidayah yang datang pada beliau. Di kita, jangan meniru cair-nya Mbah Nun. 

Di antara kita, penggiat-volunter atau apapun namanya ada yang harus siap memadat mengambil peran untuk menjadi kaum pekerja yang mempersiapkan segala sesuatu kebutuhan duniawi terselenggaranya penyebaran nilai-nilai maiyah. Dan jangan takut dicap sudah murtad dari maiyah karena dituduh kedonyan.

Pada pengalaman lainnya, mungkin bisa menjadi salah satu contoh jalan keluar mencari titik temu cair dan padat. Ketika briefing pada adik-adik suatu kepanitiaan pergelaran baru-baru ini, ditanyakan begini : Ada perusahaan yang meminta proposal, sedang maiyah kan nggak kenal proposal. Aku menjawabnya: pergelaran ini adalah manifestasi penyebaran nilai maiyah. Maka kerelatifan prosedur dimungkinkan untuk kemaslahatan.

Karena proposal adalah prasyarat administrasi perusahaan, maka kalau mereka yang meminta kita akan memberikan. Tapi kita jangan menyebar proposal. Kita ajukan jika ada pembicaraan sebelumnya bahwa mereka tertarik membantu acara kita. Setelah fix mau membantu, baru ubo rampe yang diperlukan untuk administrasi kita penuhi. Jadi kita tetap tidak menyebar proposal dengan ngawur, mengemis pada orang atau badan yang tidak kenal maiyah.

Di atas itu adalah secuplik dari banyak sudut perbedaan persepsi kita para jamaah maiyah atas maiyah cair dan padat. Banyak sisi lain yang juga mungkin kita masih sungkan membahasnya. Melalui tulisan ini, semoga memancing opini lainnya dengan contoh kasus yang lain untuk menjadi bahan pembelajaran kita menempatkan diri secara presisi dalam zaman gonjang ganjing ini.

Jangan sampai kita membiasakan rasan-rasan, semacam rerasan yang umum ada di antara para penggiat yang tengah diuji keikhlasannya: itu yang diajak dan dikenalkan Mbah Nun di depan jamaah maiyah, dan mengaku mengagumi dan sering juga tampil di panggung sinau bareng, para cerdik pandai, pemegang dompet tebal, tidak pernah bertanya: menyelenggarakan acara kayak gini bertahun-tahun, dapat dana untuk sewa sound, konsumsi dll dari mana ya? Seakan-akan kita dipandang semacam Bunda Maryam yang dijatah makan minum dari malaikat yang diutus turun langsung dari langit!

Ada beberapa hal yang menurut sebagian kita tabu untuk kita diskusikan, terutama yang menyangkut irisan hubungan keduniawian kita dan maiyah. Aku mencoba memancing menggali opini teman-teman lainnya untuk beropini secara bebas dan bertanggung jawab. 

Ibarat kita yakin masuk surga karena ber-maiyah, maka jangan kita kapling sendirian itu surga. Klir.

Lihat juga

Back to top button