DIAM-DIAM MAIYAHAN

Jam sebelas siang. Mendung menggelayut di sisi utara kota Tulungagung. Kantuk makin tak terbendung. Membayangkan badan selonjor syukur-syukur bisa merem sak sliut rong sliut alangkah nikmatnya.

Berhubung belum bisa merem sak sliutan maka warung kopi menjadi pilihan untuk mengusir kantuk. Bertemu saya dengan beberapa teman. Saya pesan teh panas, menyalakan rokok, dan rasa kantuk pun tertunda sejenak.

Obrolan khas warung kopi kita semua tahu: ngalor ngidul melayang tanpa tepi. Salah satu dari teman ngobrol ini baru saya kenal. Dia dari Surabaya. Terbilang aktif hadir di Bangbangwetan. Teman satunya lagi saya kenal: Pak Pri panggilannya. Orang Tulungagung. Dia mengikuti Maiyahan lewat Youtube. 

Namun, entah bagaimana awalnya, obrolan bersama dua orang teman pindah topik. Bertiga kami membahas Mbah Nun dan Maiyah. Saya berguman, “Tidak di warung kopi, tidak di stasiun, tidak di kampus, ke mana badan ini terdampar saya bertemu sedulur Maiyah.”

Kadang pertemuan itu menjadi pertemuan rahasia. Beberapa kali saya naik ojek online dari stasiun Jombang menuju rumah di Jagalan tidak bisa bayar. Tepatnya, tidak boleh bayar. Mas atau Pak ojek online tiba-tiba langsung pergi meninggalkan saya yang kebingungan di depan rumah karena belum bayar. 

Itu pasti “ulah” teman-teman Maiyah, pikir saya. Dua atau tiga kali mengalami momentum itu, saya pasang strategi. Sambil mengembalikan helm kepada Mas atau Pak ojek online saya berbisik, “Ini rezeki dari Allah. Mohon diterima.”

Dua teman saya ngobrol di warung itu pun ternyata diam-diam mengikuti Maiyah, dan mereka Maiyahan diam-diam. Pak Pri menyampaikan pikiran dan sikap Mbah Nun yang konsisten. “Beliau tidak berburu pangkat dan jabatan,” ucapnya. “Sejak zaman Pak Harto kalau Cak Nun mau, jabatan itu mudah didapat.” 

Mas dari Surabaya bercerita nikmatnya hadir di Maiyahan. “Pesan kopi, nyumet rokok, cari posisi duduk paling enak, siap menyimak wejangan Mbah Nun,” tuturnya. 

Saya menjadi pendengar setia, menampung pengalaman sahabat kita ini.

Belum lima belas menit obrolan berlangsung saya merasakan terjalinnya ikatan paseduluran di antara kami bertiga. Maiyahan diam-diam tapi rasa persaudaraannya nyata terasa.

Proklamasi Nusantara menyatakan bahwa satu umat nusantara menyatu dan bergandeng tangan dengan seluruh umat manusia di bumi untuk saling menghormati, menyayangi, melindungi dan menyejahterakan di dalam kesatuan itu.

Kita belajar bersama, sinau bareng, urip bebrayan, manjing ajur-ajer agar terhindar dari sinyalemen Allah Swt: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (Q.S. Muhammad: 22).

Plosokandang, 11 November 2022

Lihat juga

Back to top button