CAK NUN DAN PILIHAN BER-ISLAM
(Disampaikan dalam acara TASYAKURAN YAUMUL MILAD MBAH NUN KE-70 yang diselenggarakan oleh JM Malang Raya di Rumah Maiyah Al-Manhal Malang, Sabtu 27 Mei 2023)
Di kalangan cendekiawan Muslim, lazim dirumuskan ada 4 cara untuk mengenal Islam. Pertama adalah dengan cara mengenal Allah dan membandingkannya dengan “tuhan-tuhan” lain yang disembah oleh manusia di luar pemeluk Islam. Kedua, dengan cara mengenal Al-Qur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab agama selain kitab suci Islam.
Ketiga, dengan mengenal Nabi pembawa risalah Islam: akhlaqnya, karakternya, serta perilaku dalam kehidupan sehari-harinya secara utuh. Ulangi: utuh. Tanpa dipilih mana-mana yang sesuai dengan pandangan pribadi seseorang atau tidak.
Sebab, kadang-kadang, –hanya kadang-kadang–, kita melihat seseorang meniru cara berpakaian Nabi. Tapi, di saat yang sama, dia menolak bahkan menganggap rendah rambut gondrong dan semir merah. Padahal itu juga pernah dilakukan oleh Nabi. Ini inkonsistensi berpikir.
Sedangkan yang terakhir adalah dengan cara mengenal figur-figur yang menonjol dari kaum muslim.
Tiga hal pertamalah: mengenal Allah melalui, mengenal Al-Qur’an, dan mengenal kehidupan sehari-hari Baginda Nabi yang menjadi “prosesor” utama dari pilihan ber-Islam Cak Nun.
Cak Nun adalah figur yang—konon sejak kecil sudah—memiliki keunikan-keunikan dibanding dengan teman-teman sebayanya. Salah satu keunikan itu adalah karakter pemberontak yang dia miliki. Karakter ini tidak tumbuh dari antah-berantah atau dari gejala psikologis tumbuh-kembang anak. Akan tetapi, tumbuh dari rasa ketidakadilan yang dialami atau disaksikan terjadi di sekelilingnya.
Peristiwa yang sangat legend yang sering diceritakan oleh Cak Nun sendiri adalah ketika Cak Nun kecil memprotes guru yang didapati tiba di sekolah terlambat, tetapi tidak menghukum dirinya sendiri. Padahal, jika guru tersebut mendapati ada murid yang terlambat tiba di sekolah, murid itu akan dihukum. Maka, Cak Nun kecil memprotes peristiwa itu. Dengan sengit. Teatrikal. Bahkan, “anarkhis”. Cak Nun kecil mengencingi guru kelas dari atas bangku.
Peristiwa inilah yang kemudian bisa diambil menjadi pos pantau kita dalam memandang dan memahami Cak Nun. Bahkan sampai hari ini. Protes. Memberontak. Dengan sengit. Ketika mengalami atau menyaksikan ketidakadilan di sekelilingnya. Kelak, kita akan melihat peristiwa dengan pola yang sama ketika Cak Nun remaja sedang mondok di Gontor. Dengan risiko diusir dari Gontor. Juga ketika sekolah di SMA Muhammadiyah 1, Yogyakarta. Dengan risiko keluar dari sekolah.
Bahkan ketika Cak Nun melanglang buana jauh di Eropa. Kegelisahan itu terekam pada surat-surat Dari Pojok Sejarah.
Perlawanan juga sengit ketika Cak Nun merespons kekuasaan Orde Baru periode 70-an hingga yang paling keras 80-an dan awal 90-an. Pun ketika kekuasaan Presiden Mega, Presiden Yudhoyono, dan Presiden Jokowi, Cak Nun tetap berada pada jalan protes dan pemberontakan. Hanya saja dengan metode yang berbeda.
Maka, anak-cucu Cak Nun tidak perlu heran, kaget, ngeri, dan goyah, jika menyaksikan Cak Nun diserang, dengan sengit, dan bertubi-tubi, dari segala arah, untuk membunuh karakternya. Itu adalah bagian dari risiko tugas Cak Nun di muka bumi. Maka, ketika tidak lama lagi Cak Nun akan kembali diserang, dengan berbagai cara, entah untuk isu Pemilu, menaikkan viewer sebuah channel, atau meningkatkan jumlah subscriber, mengertilah bahwa Cak Nun tidak pernah berdiri di batu kepentingan pribadi atau kelompok. Cak Nun, –nyaris selalu–, berdiri di atas batu kepentingan kita semua: bangsa Indonesia.
Terakhir, ketika hendak berangkat ke Kuala Lumpur, saya diantar oleh seorang sopir taksi ke Juanda. Sopir itu salah satu korban luapan lumpur Lapindo Sidoarjo. Dia salah satu orang yang disumpah Cak Nun atas permintaan seorang Ibu pengusaha yang akan membayar seluruh uang ganti rugi. Dalam ceritanya, saat disumpah, ada banyak tetangga dan temannya yang berbohong tentang luas tanah dan rumah yang dimiliki untuk mendapatkan ganti rugi yang lebih tinggi.
Dan benar saja, tetangga dan teman-teman yang berbohong itu memang mendapatkan ganti rugi yang lebih besar dibanding seharusnya yang dia terima. Tapi apa lacur, dikemudian hari, orang-orang itu hancur hidupnya. Dengan berbagai cara. Jadi, jika Anda—siapa pun Anda—merasa pernah menyakiti hati Cak Nun, sebaiknya: berhentilah. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan hidup kita.
Sugeng Ambal Warso Cak Nun!
Segala doa terbaik untuk Panjenengan dari anak-cucu.
Al-Fatihah!!!