BERCERMIN DI MEMPHIS
“Gaes kapan bisa digendakan untuk ‘take’ lagi?,” tiba-tiba ada WA dari Yai Helmi (YH).
“Nanti sesudah minggu depan ya Yai, kebetulan saya mau cuti. Eman jatah cuti saya masih ada tujuh hari kerja,” jawab saya
“Lho mau ada agenda apa sehingga cuti?,” tanya YH.
“Saya cuti untuk keluarga, Yai.”
“Ngundang-ngundang, gaes…,” balas YH
“Ooh bukan keluarga di sini, tapi keluarga di US mengundang saya untuk berkunjung ke sana.”
“Mereka mengundang untuk berbincang bincang dan semacam ‘rembug desa’ untuk memikir strategi ulang pengelolaan kanker anak,” jawab saya.
“Lha sudah dikirim tiket dan akomodasinya je,” lanjut saya.
“Naah sekalian dibikin laporan pandangan mata gaess…,” pesan Yai Helmi kepada saya, ketika saya menyampaikan jadwal perjalanan ke Memphis.
Kebetulan saya mewakili ‘guru-guru’ saya diundang dalam sebuah pertemuan akbar tingkat dunia tentang bagaimana kita mengelola kanker pada anak. Pertemuan ini sendiri dimotori dan diselenggarakan oleh St Jude Children Research Hospital di Memphis, Amerika Serikat.
Saya sendiri adalah salah satu dari beberapa teman di Indonesia yang tergabung dalam sebuah ‘persahabatan global’ yang dimotori oleh saudara-saudara di Memphis, Amerika Serikat.
Mereka menyiapkan ini sudah lebih dari enam bulan yang lalu. Undangan yang beredar pun ratusan delegasi dari puluhan negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Beberapa wakil dari Asia yang saya tahu dari mailing list yang beredar di antaranya adalah India, Pakistan, Srilangka, Bangladesh, Vietnam, Myanmar, Nephal dan hampir semua wakil dari negara ASEAN, karena saya kok tidak melihat wakil dari Brunei Darussalam. Saya tak mampu menyebut semua wakil yang diundang, saking banyaknya. Belum lagi teman-teman dari daratan Afrika dan juga puluhan dari negara Amerika Latin.
Kita ini menjadi tamu terhormat. Tinggal menerima undangan dan menjawab ya atau tidak (akan hadir).
Bila menjawab ya maka kita tinggal menerima tiket PP (dengan jadwal yang sudah disepakati), serta diberi pondokan di sebuah hotel mewah di dekat rumah sakit. Disediakan jemputan dari dan menuju airport. Semuanya tidak mengeluarkan uang, kecuali saya mengeluarkan uang untuk kereta bandara YIA yang harganya 20 ribu rupiah.
Saya mencoba nginguk berapa sih harga tiket saya dengan rute Jogja-Jakarta-Tokyo-Hudson(Texas)-Memphis PP? setelah saya cari cari ternyata seharga 5150 USD, atau kira kira 75 juta lebih. Ini baru untuk perjalanan lho, belum hotelnya, belum transport lokal, belum lagi untuk makannya. Kita para undangan tidak perlu mengeluarkan sepeser pun uang untuk itu.
Nah itu baru untuk seorang. Pertemuan semacam ini terakhir terselenggara sebelum pandemi melanda, yaitu pada 2018. Sejumlah 150-an orang menghadiri waktu itu. Bisa dibayangkan berapa biaya yang dikeluarkan RS St Jude untuk menyelenggarakannya.
Untuk tahun ini pasti jauh lebih tinggi lagi biayanya, selain lebih banyak yang diundang, biaya tiket pesawat pun naik.
Seberapa kaya RS St Jude ini? Tentu sangat kaya. RS ini adalah RS swasta yang berdirinya diprakarsai oleh Dhany Thomas (seorang pelawak dan bintang TV) Amerika di tahun 1960-an. Dhany tidak tega melihat penderitaan rakyat yang tidak mampu yang menderita sakit, apalagi sakit berat seperti kanker.
Maka Dhany ‘ngemis’ di jalan-jalan, (sebelum akhirnya dia kaya karena menjadi bintang Televisi di Amerika) untuk mengumpulkan donasi membangun RS ini. Perkembangannya demikian pesat. Donasi yang mengalir ke RS ini begitu deras, sehingga RS ini mampu menjadi RS riset yang sebenar-benarnya. Selain riset untuk penyakit sekaligus riset untuk obat-obatannya juga.
Yang lebih penting lagi, akhirnya RS ini mampu menggandeng negara negara (berkembang) lain, untuk diajak srawung, membenahi dalam pengelolaan penyakit kanker, terutama kanker anak. Bahkan pasien-pasien di sini, dirawat secara gratis-tis, bahkan diberi pondokan gratis untuk anak dan bapak ibunya, bahkan disangoni dengan uang saku kira-kira info waktu itu adalah 80 USD per pasien per minggu. RS ini mengelola sebanyak 1500 kamar pondokan pasien ini (disebut guest house) atau Ronald Mc Donald’house (karena McD yang mensponsorinya), yang terbagi dalam 3 lokasi yang berbeda. Ada transportasi gratis untuk dan dari RS ke masing-masing pondokan ini.
Saya ndomblong kepada semangat gotong-royong mereka di mana para orang kaya dan pengusaha serta perusahaan bergotong-royong untuk mendonasikan sebagian harta mereka untuk golongan yang tidak mampu.
Bukankah ini konsep yang Islami?
Kita selalu bilang:
“Negara ini kaya. Kaya dengan tambang emas, minyak, nikel, batubara!”
“Kita ini negara yang gemah ripah loh jinawi!”
“Kita ini negara yang subur dan makmur, ijo royo royo!, punya hutan luas, laut luas!”
“Kita ini negara yang (paling) toleran di antara negara negara lain”
Sambil minum teh hijau hangat sajian pramugari, saya berangan-angan kapan, “kita bisa seperti saudara-saudara di Memphis itu….”
NH174