BELAJAR ESTETIKA PUISI DAN SASTRA

(Puisi bukan hanya kata dan susunan kalimat)

Sastra tak pernah mati. Ia akan terus ada. Manusia dan kemanusiaan tak bisa lepas dari sastra. Bicara sastra (kesusastraan) berarti bicara kehidupan. Apa jadinya hidup jika tak ada sastra? Laksana kemarau panjang yang tak dialiri air hujan. Gersang. Kering. Kerontang.

Di negeri ini kita dikaruniai banyak penyair dan sastrawan besar. Sayangnya, negara ini ciut dan kecut mengapresiasi kiprah berikut karya para sastrawan. Penyair/ sastrawan dicap kiri. Pengganggu kekuasaan. Bahkan benalu bagi pemerintahan. Dan itu agaknya sangat bertentangan dengan ungkapan Presiden AS John F. Kennedy, “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Setuju atau tidak setuju dengan ungkapan Sang Presiden, faktanya puisi dan sastra menjadi bagian penting dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bisa dibilang sastra yang paling dekat dengan kita (rakyat) adalah puisi. Puisi menjelma menu sejuta umat. Ia dapat diterima di segmen dan cuaca apapun. Puisi menerobos sekat-sekat. Puisi menerjang kelas-kelas. Puisi tak pandang usia, gender, agama, suku, dan apapun saja. Semua bisa berpuisi, menikmati, dan mengapresiasi puisi.

Puisi juga multifungsi. Ia bisa berperan sebagai apa saja. Sebagai doa, mantra, bahan kontemplasi, motto hidup, yel-yel, pernyataan sikap, alat kritik, slogan kebudayaan, fenomena, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, penggalan puisi berikut ini telah banyak digunakan orang untuk ragam kepentingan.

  1. “Mampus kau, dikoyak-koyak sepi.”
  2. “Hanya ada satu kata, lawan!
  3. “Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”
  4. “Yang fana adalah waktu, kita abadi.”
  5. “Hanya sunyi, mengajari kita untuk tak mendua.”

Tanpa menyebutkan nama penyairnya, saya hampir yakin teman-teman mafhum siapa nama penyair yang menulis puisi-puisi tersebut. Alasannya, diksi puisi di atas kerap kita baca dan temui (di banyak platform), sehingga nempel di kepala.

Dari lima penulis puisi di atas, yang empat sudah wafat, yakni Chairil Anwar, Wiji Tukul, WS. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono (SDD). Percayalah, yang mati hanya jasadnya. Karya mereka abadi. Dan satu-satunya yang masih tersisa ialah Emha Ainun Nadjib, Simbah guru kita.

Kutipan “hanya sunyi, mengajari kita untuk tak mendua” merupakan penggalan dari puisi Mbah Nun yang berjudul “Berdekatankah Kita” yang ditulis pada tahun 1977. Berikut bait lengkapnya.

 

Tuhan, berdekatankah kita

sedang rasa teramat jauh.

tapi berjauhankah kita

sedang rasa begini dekat

seperti langit dan warna biru

seperti sepi menyeru

 

Kekasih

Kau kandung aku

kukandung Engkau

seperti mengandung mimpi

terendam di kepala

tapi sayup tak terhingga

hanya sunyi

mengajari kita

untuk tak mendua

 

Pada 18 Maret lalu, Rumah Maiyah Kadipiro menggelar acara Sastra Emha, Puisi-puisi 1970-an edisi pertama. Sastra Emha jilid pertama diisi dengan diskusi, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan tanya jawab. Di tengah acara, duet MC Kak Patub dan Mas Doni sempat membawakan musikalisasi puisi “Berdekatankah Kita”. Sumpah! Magis—–luar biasa. Sementara itu, Pak Toto, Pak Simon HT, dan Mbah Nun hadir sebagai narasumber. Menurut rencana, acara Sastra Emha akan rutin digelar pada bulan-bulan berikutnya.

***

Beberapa poin penting disampaikan para narasumber terkait proses kreatif Mbah Nun dalam menulis puisi di era 70-an. Pak Simon mengatakan, “Cak Nun itu orang yang sangat disiplin dan tekun. Itulah salah satu kelebihan yang dimiliki beliau, sehingga bisa produktif menulis karya hingga sekarang.”

Pak Simon menambahkan, “Selain etos disiplin dalam menulis, isi tulisan-tulisan Cak Nun sangat kritis dan kontekstual. Itu berkat proses pengolahan diri beliau yang intens terjun dan bergaul dengan banyak lapisan masyarakat.”

Sedangkan menurut Pak Toto, kelebihan lain dari Cak Nun adalah beliau cakap menangkap kejadian sehari-hari yang terkadang luput dari mripat pandang umum. Pak Toto mengibaratkan, jika kita melihat banyak foto, dan di antara foto-foto itu tidak ada foto diri kita, maka itu tidak akan menarik buat kita. Namun jika foto kita muncul di rombongan foto tersebut, otomatis itu akan menarik, dan berharga bagi kita.

Dan itu juga berlaku pada tulisan. Baik itu puisi, esai, artikel, cerpen, dan lain-lain. Nah, di tulisan-tulisan Mbah Nun, ketika kita membacanya, saya, atau kita, atau mungkin banyak orang di luar sana mendapati bahwa potret diri kita ada/ terekam/ ter-capture di dalam tulisan tersebut. Kita seperti dilibatkan, diajak, dianggap. Memakai bahasa sekarang, kok relate ya dengan saya. Bahkan sebagian kita mungkin berujar, “ini gue banget.” Dan seterusnya.

Merespons paparan Pak Toto dan Pak Simon, Mbah Nun menyampaikan jika puisi itu hanya pintu. Pintu untuk memasuki ruang besar kehidupan. Melalui penghayatan puisi, kita dilatih untuk lebih jernih dan jangkep dalam melihat setiap fenomena (sosial, politik, budaya, agama, dll) yang terjadi.

Mbah Nun juga mengisahkan tentang bagaimana proses penghayatan beliau dalam menulis puisi. Estetika puisi yang ada dalam diri Mbah Nun terbentuk dari pengalaman hidup beliau sejak kecil. Satu contoh, saat beliau SD dan pulang sekolah dengan berjalan kaki, di bawah sengat terik matahari, dan pas sedang haus-hausnya, Mbah Nun melihat kambing-kambing sedang meminum air bening yang menggenang di parit tengah sawah dengan segernya. Pada momen itulah Simbah merasakan estetika. Keindahan. Situasi batin yang luar biasa. Pengalaman estetika itulah yang menjadi titik awal beliau untuk kemudian menuliskan puisi demi puisi.

“Puisi bukan hanya kata dan susunan kalimat. Puisi adalah satu bagian rohaniah yang ada dalam diri kita yang oleh para penyair diimplementasikan lewat huruf, kata, dan kalimat. Tetapi estetika puisi ada dan terasa (menyentuh) di dalam jiwa kita.” Papar Mbah Nun. Sebagai pecinta kata-kata indah nan bermakna, saya pun mengamininya.

Dari uraian para narasumber, kita memperoleh perspektif dan spektrum yang lebih komprehensif terkait puisi dan sastra. Bahwa estetika puisi letaknya di jiwa. Dipancarkan lewat diksi. Lalu kembali masuk ke jiwa tatkala membacanya. Dan momen puasa Ramadhan ini, puisi “Berdekatankah Kita” karya Mbah Nun, rasanya sangat kompatibel untuk menghantar kita berkontemplasi. Menepi sejenak dari ingar-bingar, dan berdiam diri (iktikaf) di bilik permenungan. Sebab, hanya sunyi mengajari kita, untuk tak mendua.

Gemolong, 10 Ramadhan 1444 H

Lihat juga

Back to top button