BELAJAR BIJAKSANA DALAM BERMEDIA SOSIAL

(Liputan Diskusi Ramadhan Simpul Maiyah Mafaza Eropa, Kebijaksanan Social Media, Bantul 10 April 2023)

Pada Senin 10 April 2023, Simpul Maiyah Eropa Mafaza berkolaborasi dengan Remaja Masjid Al-Amin Desa Ngestiharjo Bantul menggelar acara talkshow dan diskusi dengan tema “Kebijaksanaan Social Media”. Peserta yang hadir, yang semuanya generasi muda, berjumlah sekitar 80-an orang remaja Masjid.

Acara talkshow ini merupakan menjadi rangkaian dari program Madrasah Mafaza. Program Madrasah Mafaza adalah kegiatan di mana penggiat Mafaza berkolaborasi dengan komunitas lokal untuk mengadakan diskusi, social campaign, atau gerakan sosial lain di tingkat perkampungan dan pedesaan

Tepat pukul 21.00,  acara dimulai dengan dipandu oleh Aditya Wijaya, penggiat Mafaza. Narasumber talkshow ini Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh. Acara dibuka dengan sebuah pertanyaan: apakah munculnya social media merupakan bagian dari percepatan peradaban dan mengubah tata kelola sosial di masyarakat ataukah hanya sebagai gejolak peradaban dan tidak ada perubahan yang mendasar? 

Mas Sabrang menjawab pertanyaan tersebut dengan menyebutkan bahwa terjadi perbedaan signifikan dari proses inovatif di peradaban dunia. Jika dulu hanya didapati satu perubahan dalam satu fase usia, dewasa ini perubahan terjadi begitu banyak dalam satu rentang fase usia. Sebagai contoh bagaimana perkembangan alat komunikasi dari era surat, telegram, telephone, pager, SMS, email, WA, dan smartphone. Semua terjadi dalam satu satuan generasi. 

Perkembangan teknologi, lebih-lebih dalam dunia media sosial yang begitu cepat, menjadikan siapapun seperti anak baru di hadapan teknologi baru. Adaptasi teknologi diterima pengguna dengan sikap beragam. 

Lihat juga

Generasi X misalnya, lebih cenderung men-sharing informasi yang ada di media sosial dengan lebih cepat, karena terbawa gaya bersosialisasi pada zamannya, di mana penyampaian informasi yang cepat akan mendapat kredit sosial yang lebih. Berbeda dengan generasi di bawahnya, dari generasi millennial ke generasi Z. Kredit sosial berupa like and comment akan lebih bernilai di mata mereka. 

Namun, generasi X memiliki kearifan dalam konteks perilaku sosial. Generasi ini telah cukup makan asam garam kehidupan sebelumnya. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengakuisisikan kebijaksanaan tersebut dalam dunia sosial media. Tentang hal ini pemandu talkshow memantik pertanyaan. Jika perkembangan teknologi begitu pesat dan menjadikan pengguna sebagai anak baru di hadapan laju teknologi, lalu kapan kedewasaan bermedia sosial didapat, sementara kearifan biasanya membutuhkan waktu? 

Mas Sabrang mengulas bahwa dalam diri manusia harus disadari antara “aku” sebagai peran sosial dan “aku” sebagai diri sendiri. Aku sebagai peran sosial cenderung akan terus beradaptasi dengan lingkungan. Aku sebagai peran sosial seharusnya dikontrol oleh aku yang disadari secara hakiki. Jangan sampai aku yang hakiki justru tertarik pada aku sosial yang berubah-ubah peran. Beliau menyinggung sebuang ungkapan “man arofa nafsahu faqod arofa robbahu”. Islam telah mengajarkan metodologi untuk bertemu dengan aku yang sejati. 

Pertanyaan mengalir dari peserta diskusi. Ajeng, salah seorang peserta diskusi, bertanya bagaimana cara menghindari cyber bullying. Jawaban pertanyaan ini terletak pada kemampuan manusia untuk memilih pada permainan apa dia akan bermain. Jika secara sadar seorang manusia memilih bermedia sosiall media, maka dia memiliki konsekuensi untuk segala hal, baik positif maupun negatif, yang ada di media sosial. Jika dirasa tidak cukup penting atau menganggap bahwa lingkungan media sosial yang dipakai cukup toxic, maka selalu ada pilihan untuk tidak memakai media sosial. 

Pertanyaan lain membahas seputar bagaimana agar kita memiliki kontrol terhadap media sosial. Seringkali pemakai media sosial menghabiskan waktu cukup lama di depan platform media sosial secara tidak sadar. Mereka seolah tidak memiliki kontrol terhadap penggunaannya dan cenderung adiktif. “Kembali ke niat”, kata Mas Sabrang. Islam memiliki tool yang disebutkan di dalam hadits, bahwa segala sesuatu itu dimulai dengan niat. Bahkan Mas Sabrang menyebutkan ayat pertama dengan redaksi, “Iqra biismi rabikalladzi khalaq”. 

Ayat ini menerangkan bahwa proses membaca bisa disertakan dengan niat kepada Tuhan. Agar eling dan waspada. Dua term terakhir, menjadi bagian penting dalam konteks media sosial. Eling terhadap niat awal bermedia sosisal, dan waspada terhadap distraksi yang mungkin terjadi dalam sosial media. 

Moderator menambahkan, bahwa dalam ayat yang disitir Mas Sabrang (Al Alaq :1), dalam proses asbabun nuzulnya juga berkaitan erat dengan bagaimana interaksi dan komunikasi terjadi (baca juga: Apakah Kita (Hanya) Diperintah Membaca). Di dalam ayat tersebut terjadi proses bagaimana sebelum perintah membaca dari Jibril dipenuhi Nabi Muhammad, terjadi pengulangan perintah dan proses bertanya. 

Dalam kaitannya dengan media sosial, proses pengulangan materi dan bertanya berfungsi sebagai verifikasi terhadap informasi yang diterima. Sehingga informasi tersebut bisa ditimbang kadar kebenarannya, validitasnya, baik buruknya, dan dampak sosialnya. 

Pertanyaan lain atau lebih tepatnya kegelisahan seorang peserta terhadap generasi belakangan di mana mereka menghabiskan waktunya lebih banyak di media sosial. Apakah dengan habit seperti itu akan memunculkan peradaban yang selamat dan berkualitas. Kegelisahan ini langsung menjadi bahan diskusi. Menurut penelitian, generasi Z menghabiskan paling tidak 8 jam dalam kehidupannya untuk bermedia sosial. Fenomena ini erat dengan istilah FOMO (Fear Out Missing Of) di mana pengguna akan merasa gelisah jika tidak mendapat update di dunia maya. 

Pengguna seharusnya pintar menginvestasikan waktunya. Taruhlah dalam 0-60 menit dalam kehidupannya, pengguna media sosial seharusnya benar-benar berinvestasi kepada ilmu yang bermanfaat dalam jangka panjang. Kebiasaan ini harus dijaga untuk berdampak secara jangka panjang pula. Menanggapi pertanyaan dan kegelisahan yang diutarakan, gagasan dari sudut pandang lain juga disampaikan. 

Dalam dunia sains, dikenal adanya key species, di mana di antara ribuan bahkan jutaan spesies, ada segelintir species yang dikenal sebagai kunci peradaban. Selama key species tetap eksis, maka peradaban akan bisa diulang. Rumus 1/10 juga berlaku di mana sebenarnya perubahan itu cukup dimotori oleh 1/10 dari populasi sebuah komunitas. 

Diskusi juga bergulir dalam pertanyaan dari seorang peserta perempuan. Dia bertanya tentang bagaimana pandangan pemateri terhadap pengguna media sosial yang skeptis terhadap konten atau materi dakwah. Padahal ada hadits yang menyebutkan bahwa sampaikan dariku (Muhammad) walapun satu ayat. 

Menanggapi pertanyaan di atas, peserta diskusi diajak untuk memahami apa makna ayat yang dimaksud, sedangkan dalam khasanah keilmuan Islam dikenal ada ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Jika yang dimaksud hanya sharing terhadap ayat qauliyah, maka bukankah pengguna media sosial yang lain juga memiliki kesempatan yang sama untuk me-refer langsung di Al-Qur’an?

Kemungkinan lain adalah yang di-share bisa jadi pemahaman orang lain terhadap ayat tersebut yang justru bisa menimbulkan potensi perpecahan. Seperti kasus belum lama ini di mana ada pengguna media sosial yang melakukan kritik terhadap fenomena arisan yang ada di masyarakat. Pengguna tersebut menganggap arisan haram dan ada unsur riba. Padahal yang disampaikan hanyalah pandangan seorang da’i dan bukan hasil telaah ilmiah. Sharing yang seperti ini justru memiliki potensi perpecahan. 

Diskusi ditutup dengan harapan bahwa semoga peserta yang hadir memahami bagaimana media sosial bekerja dan pesan untuk tetap bijak dengan menginvestasikan ilmu yang penting di dalam kehidupan masing-masing. Pesan lain yang disampaikan adalah bersiap terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam dunia digital ke depan. Lebih-lebih dengan munculnya artificial intelligence yang difungsikan sebagai otak kedua dalam dunia data processing di dunia. 

(AWW/Redaksi Mafaza)

Lihat juga

Back to top button