BEDA PILIHAN PASLON?  

Entah kenapa saya ingin menulis penemu berikut ini. Tiba-tiba saja terlintas.

Yup. Bangsa Indonesia sedang memasuki tahap Pemilu 5 tahunan. Sebuah perhelatan hajat bersama yang meski mungkin tidak semua warga bangsa setuju (jika mau jujur), tetapi tetap saja terus tergelar dan ada di hadapan mata kita sehari-hari. 

Apalagi orang-orang masa kini (termasuk saya) cenderung lebih banyak kehabisan waktu di depan gadget termasuk android, tidak bisa tidak akan terus terpapar info-info soal coblosan kontestan pemilu 2024 bulan depan. 

“Eh, tapi kan kita bisa abaikan juga,” japri kawan juang saya. 

“Iya juga Lur. Hatapi, apa iya kalau kita abai itu sebuah pilihan sikap yang tepat?,” jawab saya. 

Lihat juga

“Lhoh, pilihan sikap kan sangat subjektif. Ndak bisa menjadi sesuatu yang universal dong,” sahut beliau. 

“Betul. Memang tidak bisa universal sifatnya. Maksudnya seperti kebebasan berpendapat kan?,” jawab saya. 

“Nah itu. Saya bebas kan mau berpendapat bagaimana, mau milih siapa di antara 3 paslon itu. Mau tidak milih ketiganya kan juga boleh?,” jawab kawan juang.

“Yess. Pada klausul kemanusiaan itu saya sepakat tapi separo,” jawab saya. 

“Kok separo? Memangnya ada separo tidak sepakat?,” kata kawan juang. 

“Ya. Mulai dari Debat Capres-Cawapres misalnya. Dari situ sebetulnya kita diberi kesempatan untuk tahu sakjane bagaimana 3 paslon tersebut. Trus, minimal itu kan sudah sebuah upaya untuk membagi bahan analisis baik-buruk ketiganya. Ada wahana blokosuto di sana,” jawab saya. 

“Halahh, nyoblos ra nyoblos tep podho wae. Tep golek pangan dewe,” seloroh kawan juang saya. 

“Nah, betul. Golek pangan itu tindakan wajib atau sunnah Lur? Kalau wajib, apa sebabnya. Kalau sunnah apa sebabnya?,” tanya saya. 

“Yo wajib lah. Golek pangan nggo mangan kan kebutuhan jasmani dan rohani kita,” kata kawan juang. 

“Berarti ada pemilu atau tidak ada pemilu, ya tetep golek pangan kan?,” tanya saya. 

“Jelas lah. Kan sudah saya katakan wajib tadi Lur,” jawab beliau. 

“Oke sip. Sekarang kira-kira, dua periode yang akan habis masanya besok Oktober itu ada sangkut-pautnya dengan kewajiban kita nggolek pangan tidak?”

“Nggak ada Lur, saya bukan PNS kok! Saya kan dagang.” 

“Sekarang misalnya, tindakan nyoblos itu kita serupakan dengan nandur, menanam, gimana Lur?,” kata saya. 

“Mmm.. boleh juga tapi lucu. Memangnya ketiga paslon itu tanaman? Pohon? Lalu pohon apa coba? Pepaya? Sukun? Padi? Atau apa?,” tanya kawan juang saya. 

“Anggap saja Pohon X, jenis pohon kepemimpinan. Jika ia kita tanam, mungkin pohon X ini belum atau bahkan bukan pohon ideal. Bijinya custom, benihnya 5 tahunan sekali, dan belum tentu berbuah atau bisa dikonsumsi warga bangsa ini. Gitu aja piye?,” tawar saya. 

“Oke. Boleh juga. Nanti kita lanjut lagi, saya musti jemput anak pulang sekolah Lur,” jawab kawan juang. 

“Sip. Titidije Lur,” pungkas saya. 

_______________________ 

Ya begitulah. Kami biasa japrian apa saja, berdebat (saling menyampaikan isi pikiran dan mengargumentasiinya) apa pun, di sela-sela rutinitas harian yang terpola. 

Sekelebat kemudian saya ingat kalimat “sopo nandur, bakale ngundhuh“. Welha, siapa menanam akan menuai (hasilnya) kemudian. Eh tapi, ada juga lho sepenggal kalimat pepeling yang “ngundhuh wohing pakarti“. 

Apa keduanya (2 pepeling) berkaitan ya? Kesimpulan saya sih iya. 

Nandur (menanam) itu kan sebuah giat, sedang pakarti itu kan sesuatu yang kita lakukan/kerjakan. 

Sopo-pakarti, pakarti-nandur, nandur-ngundhuh, ngundhuh-woh, woh-pakarti, pakarti-sopo. 

Melingkar, tersambung menjadi sebuah lingkaran, kalau terputus di salah satu (pasangan-pasangan) ya tidak akan menjadi lingkaran (keterjadian). 

Lho lho lho, kok jadi sebuah tawaran baru bagi situasi “panas” menjelang coblosan besok 14 Februari ya. 

Bagaimana kalau kemudian mulai sekarang kita kampanyekan “beda pilihan adalah sopo nandur bakale ngundhuh“. 

Ngundhuh apa? Ya buah dari pohon X yang punya 3 varietas (paslon) tersebut. 

Mau menanam atau tidak, di kemudian hari akan ada woh masing-masing. Mau mencoblos no 1, 2, atau 3, paling tidak kita sudah punya simulasi buahnya bagaimana. 

Kalau kita tanam pohon paslon no 1, buahnya akan migunanikah

Kalau kita tanam pohon paslon no 2, buahnya akan migunanikah

Kalau kita tanam pohon paslon no 3, buahnya akan migunanikah

Migunani (bermanfaat) untuk siapa? Tentu kita mesti mengambil proyeksi luas dan jauh ke masa depan, sebagaimana Simbah sering berpesan kepada kita. Luasnya untuk bangsa Indonesia, jauh masanya sampai anak cucu kita nanti. 

Semoga berkenan, semoga bisa mengurangi ketegangan. Plus karena ini hanya penemu (tawaran pendapat) saya, maka sangat boleh ditolak, sangat boleh diterima, loss gak rewel-rewelan. Wassalam.  

Yogyakarta, 19 Januari 2024.

Lihat juga

Back to top button