Balagha Asyuddahu

Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah BangbangWetan Surabaya edisi Januari 2023

Bersikap dewasa tidak semudah yang dibayangkan. Bertambahnya usia bukan jaminan bertambah pula kedewasaan seseorang. Pun, tak jarang pula kita temui seseorang yang secara jasmani masih “muda”, ternyata secara rohani jauh sangat “dewasa” melebihi umurnya.

Salah satu tulisan Mbah Nun di buku “Jogja-Indonesia Pulang Pergi” mengatakan bahwa untuk mengetahui kedewasaan seseorang cukup bisa dilihat dari ekspresinya ketika dia marah. Ketika emosi semakin tinggi dan tingkat kemarahannya menjadi-jadi itu menunjukkan bahwa dia belum dewasa. Semakin bisa meredam emosi ketika marah, maka dia menunjukkan sikap kedewasaannya.

Khasanah Islam memperkenalkan 3 kategori menyangkut kedewasaa. Pertama, Balagha Al-Hulum, dewasa secara fisik (akil baligh). Kedua, Balaghu An-Nikah, dewasa siap untuk menikah. Artinya mempunyai kedewasaan berpikir dan kesiapan mental untuk menikah. Ketiga, Balagha Asyuddahu, kedewasaan yang matang baik sikap, mental, maupun akalnya. Nah, kategori ketiga ini yang seharusnya kita capai secara pribadi dan keluarga.

Q.S. Al-Ahqaf: 15 dan Q.S. Al-Qashash: 14 juga membahas tentang bab kedewasaan. Dewasa dalam ayat tersebut diibaratkan buah yang telah matang di pohon sehingga bisa dipetik untuk dipanen. Buah tersebut kemungkinan tidak akan ada manfaatnya apabila kita petik sebelum matang. Dalam tafsir ayat tersebut Allah juga memerintahkan supaya manusia bersikap dan berbuat baik kepada bapak dan ibu. Tentunya berbuat baik sesuai dengan perintah agama.

Lalu kalau kita berkaca pada diri sendiri dan memandang kondisi sosial di sekitar kita, apakah kedewasaan yang dimaksud ayat di atas nampak secara real?

Lihat juga

Masih lekat di benak kita tentang fenomena gangster yang sempat viral di Surabaya, belum lagi berbagai tindakan asusila, amoral, dan kekerasan fisik maupun psikis yang hilir mudik seolah tak ada habisnya. Pelaku dan korban bisa siapa saja. Bisa sebaya, tua ke yang lebih muda, juga muda ke yang lebih tua. Latar belakang pelaku dan korban juga beragam. Tidak hanya orang non-berpendidikan, tak jarang dosen dan pemuka agama juga bisa menjadi pelaku. Tempatnya pun bisa di mana saja, bahkan di tempat yang lekat hubungannya dengan lembaga pendidikan dan agama.

Kompleks kalau mencari siapa yang salah. Motif tiap kasus dan pelaku sangat beragam. Tetapi kalau apa yang salah, kita bisa mulai menelisik dari diri pribadi kita terlebih dahulu dan pondasi bangsa yang bernama keluarga. Bagi yang sudah berkeluarga—maupun yang belum–, tanyakan pada diri sendiri (dan pasangan) apakah cara mendidik anak sudah tepat? Jangan-jangan kita terlalu pasrah pada sekolah/lembaga pendidikan lain untuk mendidik anak, padahal lembaga pendidikan utama bagi anak adalah keluarga. Atau benar kata pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, anak nakal karena ya… orang tuanya juga nakal!

Semua hal di atas “seharusnya” menjadi keprihatinan kita semua. Bukankah dari Maiyah kita semakin akrab dengan kata nandur. Siapa lagi yang nandur kedewasaan berpikir dan bertindak kepada anak-anak kita kalau bukan orang tuanya sendiri. Minimal kita nandur kedewasaan pada diri masing-masing dulu lah. Syukur-syukur kalau gelombang kebaikan tersebut menjalar kepada sekitar.

Cak Lontong pernah berkata, “Tua itu pasti (kalau diizinkan), tapi dewasa itu pilihan.” Kita diskusikan semuanya di Januari 2023 ini di mana lagi kalau bukan BangbangWetan.

[Tim Tema BangbangWetan]

Lihat juga

Back to top button