BAGAIMANA DISFUNGSI AKAL TERJADI

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Gambang Syafaat Semarang Edisi Juli 2024)

Era di mana informasi mengalir deras bagai air bah, siapa sangka justru kita semakin kehilangan arah? Inilah yang coba diulas dalam forum Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat pada Juli 2024, dengan mengangkat tema “Disfungsi Akal”. Forum yang kehadirannya senantiasa ditunggu setiap bulannya ini kembali menghadirkan narasumber dengan latar belakang berbeda yaitu Kang Muhajir, Pak Saratri, Pak Ilyas, dan Gus Aniq.

Acara dibuka dengan lantunan munajat yang dibawakan oleh Kang Jion, Mas Wahyudi, dan Mbak Anjani. Rasi Timur alias Mas Aziz juga hadir untuk menghibur sekaligus menyadarkan lewat lagu-lagu bertema sosial dan kemanusiaan. Ini menjadi pengingat bahwa di tengah hiruk pikuk dunia digital, kita tak boleh lupa pada realitas sosial. Sebelum para narasumber utama angkat bicara, Kang Jion, Mbak Diyah, dan Kang Muhajir memberikan mukadimah yang memantik pemikiran para jamaah, mengajak untuk mulai merefleksi, sudahkah kita menggunakan akal kita dengan benar? Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan disfungsi akal? Bagaimana fenomena ini bisa terjadi di era yang katanya semakin maju? Dan yang lebih penting, bagaimana kita bisa mengembalikan fungsi akal ke jalur yang benar? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam forum yang berlangsung hingga larut malam itu.

Kang Muhajir membuka diskusi dengan mengutarakan keresahannya tentang bagaimana manusia modern sering kali gagal dalam mengoptimalkan fungsi akalnya. Akal yang seharusnya menjadi instrumen utama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan kebaikan, kini seringkali terdistorsi oleh godaan duniawi. Kang Muhajir menyoroti kecenderungan manusia untuk mengejar kesenangan, bahkan hingga taraf mengabaikan fungsi akal yang sesungguhnya. Fenomena ini mencerminkan suatu ironi, meski sadar akan kesalahan tindakannya, banyak individu tetap terjebak dalam lingkaran perilaku yang kontraproduktif. Lebih memprihatinkan lagi, kesenangan individu ini seringkali mengalahkan kepentingan kolektif, menciptakan dampak negatif yang meluas ke lingkungan sekitar.

Pandangan Kang Muhajir ini mendapat tanggapan dalam berbagai sudut pandang dari para jamaah. Mas Indra dari Indramayu, misalnya, menegaskan bahwa kegagalan dalam menggunakan akal berimplikasi pada kegagalan manusia dalam perannya sebagai khalifah di muka bumi. Mas Iwan dari Temanggung menyoroti akar permasalahan dari sudut yang berbeda. Ia berpendapat bahwa minimnya literasi dan interaksi sosial yang bermakna telah membuat manusia lebih mudah dikendalikan oleh nafsu. Akibatnya, akal yang seharusnya menjadi “sopir” dalam mengarahkan tindakan manusia, justru menjadi “penumpang” dari keinginan nafsu yang tak terkendali.

Lihat juga

Fenomena pikiran kosong yang diangkat oleh Mas Abdur dari Jayapura menambah kompleksitas permasalahan. Ketidakmampuan mengendalikan akal tidak hanya membuat manusia rentan terhadap godaan, tetapi juga menciptakan kekosongan spiritual yang berbahaya. Pikiran yang kosong, tanpa arah dan tujuan, menjadi lahan subur bagi tumbuhnya pemikiran dan tindakan destruktif. Mbak Mae dari Kudus dan Mbak Maudy menambahkan dimensi praktis dari disfungsi akal ini. Kebiasaan menunda kewajiban ibadah seperti salat, serta kecenderungan untuk menyalahkan orang lain sambil mengabaikan introspeksi diri, adalah manifestasi nyata dari tidak optimalnya penggunaan akal. Ini menunjukkan bahwa disfungsi akal bukan hanya masalah filosofis, tetapi juga berdampak langsung pada perilaku sehari-hari.

Mas Ahmat dari Jambi membawa diskusi ke level yang lebih dalam dengan menyoroti dominasi sisi “kehewanan” manusia dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh lagi, ia mengangkat isu kultural di mana kesalahan seringkali dimaklumi dan dianggap wajar, menciptakan lingkungan sosial yang permisif terhadap perilaku yang sebenarnya merugikan. Rangkaian pendapat ini menggambarkan betapa kompleks dan multidimensinya permasalahan disfungsi akal. Dari ranah spiritual, sosial, hingga kultural, kegagalan dalam mengoptimalkan fungsi akal telah menciptakan berbagai problematika yang saling berkaitan. Sebagai masyarakat, kita dihadapkan pada tantangan untuk kembali merefleksikan dan mengevaluasi bagaimana kita menggunakan anugerah terbesar dari Allah ini.

Melanjutkan diskusi tentang disfungsi akal, Pak Saratri yang merupakan seorang akademisi, membawa perspektif yang menyoroti fenomena kontemporer yang sangat memprihatinkan. Maraknya kasus “habib palsu” dan “profesor palsu” menjadi cermin betapa masyarakat kita telah terjebak dalam pengejaran status dan gelar, namun mengabaikan esensi ilmu dan kebijaksanaan yang seharusnya menyertainya. Fenomena ini bukan hanya masalah etika atau hukum semata, tetapi juga merupakan indikator yang jelas tentang disfungsi akal dalam skala yang lebih luas. Masyarakat yang terlalu fokus pada “wadak” atau tampilan luar, namun kosong dalam substansi pemikiran, adalah masyarakat yang telah kehilangan arah dalam menggunakan akalnya.

Pak Saratri mengingatkan kita pada janji Allah untuk meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Namun, apakah kita telah salah mengartikan ilmu hanya sebatas gelar atau titel? Bukankah seharusnya ilmu itu tercermin dalam kemampuan berpikir kritis, analitis, dan bijaksana? Iqra’ atau bacalah – perintah pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an – menjadi titik sentral dalam argumen Pak Saratri. Membaca di sini bukan sekadar melafalkan huruf, tetapi juga membaca fenomena alam, sosial, dan spiritual. Inilah yang seharusnya menjadi dasar bagi manusia untuk mengelola bumi dan menjalankan agama dengan akalnya.

Pak Saratri mengangkat sosok Isaac Newton sebagai contoh penggunaan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Newton tidak hanya mengamati apel jatuh, tetapi mampu mengabstraksikan fenomena tersebut menjadi teori gravitasi yang revolusioner. Ini adalah contoh nyata bagaimana akal, jika digunakan secara optimal, dapat membawa manusia pada pencapaian luar biasa. Sayangnya, sistem pendidikan kita sepertinya telah gagal dalam mengasah kemampuan berpikir tingkat tinggi ini. Kurikulum yang didominasi hafalan, minimnya pelajaran yang merangsang keterampilan berpikir kritis seperti mencongak, telah menciptakan generasi yang mungkin pintar dalam mengingat, tetapi lemah dalam menganalisis dan memecahkan masalah. Lebih memprihatinkan lagi, Pak Saratri menyoroti bagaimana akal seolah disingkirkan dari pendidikan tinggi. Ijazah yang seharusnya menjadi bukti kematangan intelektual seseorang, kini seringkali hanya menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Ini adalah bentuk degradasi yang sangat serius dalam dunia akademik.

Gus Aniq membawa diskusi tentang disfungsi akal ke dimensi yang lebih luas, menghubungkan teks suci dengan karya sastra dunia dan konsep kecerdasan yang lebih holistik. Beliau memulai dengan menyinggung pertemuan antara Mas Sabrang dan Syech Imron yang membahas Surat Al-A’raf ayat 179, sebuah ayat yang secara langsung berbicara tentang manusia yang tidak mengoptimalkan fungsi akal, hati, dan inderanya.

Gus Aniq kemudian membawa kita pada pemahaman yang lebih mendalam tentang kecerdasan. Beliau membagi kecerdasan menjadi tiga: kecerdasan otak, kecerdasan jantung, dan kecerdasan nafas. Kecerdasan otak, yang sering menjadi fokus utama di dunia Barat, memang penting. Namun, Gus Aniq mengingatkan kita bahwa dalam tradisi Islam, khususnya dalam dunia fiqih, kecerdasan jantung (yang mungkin bisa kita artikan sebagai kecerdasan emosional atau spiritual) dan kecerdasan nafas (mungkin berkaitan dengan kesadaran dan pengendalian diri) juga mendapat perhatian besar.

Analisis linguistik Gus Aniq tentang kata ‘aqlun juga sangat mencerahkan. Memaknai ‘ain sebagai sistem atau sumber informasi, qaf sebagai proses menghimpun, dan lam sebagai reaksi atau output, beliau memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang proses berpikir. Ini menunjukkan bahwa akal bukan hanya tentang menerima informasi, tetapi juga tentang bagaimana kita memproses dan meresponnya. Contoh rangkaian makna pada asmaul husna yang diberikan Gus Aniq – ’alimun hakim, lathifun khabir, rahman rahim – menunjukkan bagaimana konsep-konsep dalam Islam saling terkait dan membentuk pemahaman yang lebih komprehensif. Ini bisa menjadi model bagi kita tentang bagaimana seharusnya menggunakan akal: tidak terisolasi, tetapi selalu dalam konteks yang lebih luas dan saling berhubungan.

Pak Ilyas membawa diskusi kita ke akar penciptaan manusia, memberikan perspektif yang unik tentang bagaimana kita seharusnya memahami dan menggunakan akal. Beliau menggambarkan Nabi Adam sebagai “manusia hibrida baru” yang melalui proses penciptaan tiga tahap, masing-masing melambangkan aspek penting dari keberadaan manusia. Menurut Pak Ilyas, ruh ditiupkan ke dalam Nabi Adam melalui tiga tahap, kepala (akal), dada (hati), perut (syahwat). Perspektif ini memberikan gambaran manusia sebagai makhluk multidimensi, di mana setiap aspek memiliki peran dan fungsi yang penting. Akal di kepala mewakili kemampuan berpikir dan menalar, hati di dada mewakili emosi dan spiritualitas, sementara syahwat di perut mewakili keinginan dan hasrat duniawi.

Menariknya, Pak Ilyas menyoroti sifat hati yang tidak memiliki batas karena banyaknya keinginan. Ini menunjukkan potensi hati yang bisa menjadi sumber kebaikan tak terbatas, namun juga bisa menjadi sumber masalah jika tidak dikendalikan. Di sinilah peran akal menjadi sangat penting – sebagai pengendali dan pengarah keinginan hati.

Dari rangkaian perspektif yang diberikan oleh Kang Muhajir, Pak Saratri, Gus Aniq, dan Pak Ilyas, kita bisa menarik beberapa kesimpulan penting tentang disfungsi akal dan implikasinya bagi kehidupan manusia modern. Disfungsi akal bukan hanya masalah kognitif, tetapi melibatkan aspek spiritual, emosional, dan bahkan fisiologis manusia. Ini adalah masalah multidimensi yang memerlukan pendekatan holistik untuk mengatasinya. Penggunaan akal yang optimal bukan berarti mendominasi aspek lain dari kemanusiaan kita. Sebaliknya, ini adalah tentang mencapai keseimbangan antara akal, hati, dan syahwat – antara pemikiran, perasaan, dan keinginan.

Pada akhirnya, diskusi ini mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks dan multidimensi. Mengoptimalkan fungsi akal bukan berarti mengabaikan aspek lain dari kemanusiaan kita, tetapi justru mengintegrasikan semua aspek tersebut untuk mencapai potensi tertinggi kita sebagai manusia. Ini adalah tantangan besar yang kita hadapi di era modern – bagaimana kita bisa kembali menemukan keseimbangan dan menggunakan seluruh potensi kita untuk kebaikan diri sendiri, masyarakat, dan alam semesta.

(Redaksi Gambang Syafaat) 

Lihat juga

Back to top button