ANTARA GRESIK DAN LUMAJANG, CERITA PERJALANAN “KLUNTHING” MENUJU KENDURI SINAU ILMU TANI
Klunthing. Tiba-tiba handphone saya muncul notifikasi ada pesan WhatsApp masuk, pada Kamis (3/10/2024), sekitar pukul 18.50 WIB.
“Mene melu a?”. demikian isi pada pesan tersebut kudapat dari Pak Dul.
“Wah, nandi iki?” jawab saya dengan segera.
“Lumajang”. sambung Pak Dul.
“Acara opo iki?” lanjut saya.
“Sowan nang Cak Sholikin, sekaligus sinau tani”. tegas Pak Dul.
“Rencana balik Gresik e kapan, Pak Dul?” tanya saya penuh perhitungan.
“Sabtu sore”. kata Pak Dul lewat pesan singkat WhatsApp.
Dalam benak pikiran saya, terlintas banyak pikiran untuk mempertimbangkan ajakan ini. Mulai dari pertimbangan waktu kerja saya, serta pertimbangan hari Sabtu yang seharusnya saya libur biasanya buat istirahat.
“Sabtu sore e nyampe Gresik e kah?” rasa ragu pun masih menyelinap pada saya.
“Sore e budal teka Lumajang. Piye?” tanya Pak Dul untuk memastikan.
Tanpa pikir panjang, saya pun mengiyakan tawaran dan ajakan ini. Hitung-hitung, niat e ya apik. Saya juga bisa menyapa Cak Sholikin lagi, setelah sebelumnya pernah bertemu di Padhangmbulan pada Juli 2024
Ingatan saya tetiba langsung nyantol pada momentum detik-detik menjelang pertemuan di Jombang tersebut. Mulanya Cak Teguh (Tukul) menginformasikan, ia barusan di WhatsApp Abah Hamim.
“Mau nanya, di sekitar Panceng apa ada rombongan yang mau ke Padhangmbulan? Seandainya ada, saya butuh nunut”. demikian pesan dari Abah Hamim.
Selain mengabari dulur-dulur Damar Kedhaton Gresik lainnya, Cak Teguh (Tukul) kebetulan memang ada rencana berangkat ke Padhangmbulan.
Ibarat gayung bersambut atau istilah khas yang akrab terdengar arek-arek Maiyah, momentum klunthing datang lagi. Diperjalankan untuk dipertemukan.
Ternyata, Pak Dul juga sudah ada janji bertemu dengan Cak Sholikin di Padhangmbulan. Cak Teguh (Tukul) menjemput Abah Hamim ke kediamannya, Desa Campurrejo, Kecamatan Panceng. Desa satu ini berada di Gresik wilayah utara.
Pak Dul yang tinggal di Desa Racikulon, Kecamatan Sidayu pun, karena wilayah ini berada di selatannya Panceng, ia pun menunggu Cak Teguh (Tukul), sekalian bareng-bareng berangkat ke Padhangmbulan.
Rombongan Abah Hamim, Cak Teguh (Tukul), dan Pak Dul kemudian menuju titik penjemputan berikutnya, Kamituwa Wak Syuaib di Iker-Iker Geger, Kecamatan Cerme.
Sebelum tiba di lokasi penjemputan, saya pun merasa eman-eman jika tidak ikut serta rombongan. Apalagi hampir beberapa bulan kebelakang, saya sudah lama tidak hadir di Padhangmbulan.
Rumah saya juga masih satu kecamatan dengan ndalem Wak Syuaib, hanya beda desa saja. Ya sudah, tanpa perlu pikir-pikir panjang, saya berangkat ke ndalem Kamituwa Wak Syuaib.
Berempat orang; Abah Hamim, Wak Syuaib, Cak Teguh (Tukul), dan Pak Dul dari Gresik yang berangkat ke Menturo. Dalam perjalanan, Abah Hamim sempat bercerita juga bagaimana perjalanan panjang Mbah Nun. Abah Hamim ini merupakan salah satu sahabat karib Mbah Nun ketika di Eropa.
Singkat cerita, sesampainya di Menturo, mobil rombongan yang saya naiki parkir tepat di halaman depan ndalem Menturo. Turun dari mobil, Abah Hamim melepas kerinduan dengan keluarga ndalem Menturo. Beliau pun langsung menuju ke pelataran ndalem.
Sementara itu, Wak Syuaib, Cak Teguh, Pak Dul, dan saya menuju ke belakang panggung Padhangmbulan. Di sana, dulur-dulur Majelis Pahingan menyambut dengan gembira. Kami bersalaman, berangkulan, dan bertegur sapa. Saling bertanya kabar, dan sebagainya.
Setelah itu sedikit bergeser ke gedung TPQ. Di tempat ini, saksi pertama kalinya saya bertemu dengan Cak Sholikin. Beragam topik jadi bahasan seru dan menarik, terutama berkaitan dengan pertanian. Ide bagus telah disiapkan Pak Dul, dan dikendurikan bareng-bareng bersama Cak Sholikin beserta dulur Lumajang lainnya. Mbah Dil juga ikut membersamai dalam pertemuan pada malam itu.
Pertemuan tersebut menjadi wasilah, sebagai energi, untuk terus dikembangkan dan dieksekusi. Semampunya dan terus berjalan.
Momentum klunthing itu datang lagi, tepatnya pada tanggal 4-5 Oktober 2024. Perjalanan cinta menuju kenduri sinau ilmu tani perlahan-lahan menemukan jalannya sendiri. Alon-alon asal kelakon.
Jumat, (4/10/2024) sore, rombongan dari Gresik bertolak menuju ke Lumajang. Wak Syuaib, Pak Dul beserta istri, saya, dan Cak Anam Racikulon selaku sopir berangkat untuk sambung silaturahim dengan Cak Sholikin.
Sekitar 4,5 jam waktu perjalanan menuju Lumajang kami tempuh dan tiba di rumah Cak Sholikin pada pukul 21.30 WIB. Di sana, kami disambut Mbah Dil, Cak Sholikin dan beberapa dulur JM Lumajang.
Obrolan berlangsung hangat dan cair, topik pembahasan pun beragam. Mulai dari berbagai cerita perkembangan pertanian dari masing-masing wilayah baik di Gresik maupun Lumajang.
Obrolan malam itu menitikberatkan pada pentingnya pupuk yang berbahan asli dari organik, tanpa pengawet, campuran kimia.
Semua hal yang dibicarakan pada malam hari itu berangkat dengan satu frekuensi yang sama; pesan Mbah Nun untuk menanam. Menyiapkan dan mengamankan lumbung pangan.
Kerja-kerja di dunia pertanian sendiri bagian dari nguri-nguri, betapa suburnya tanah penggalan surga di dunia yang bernama Nusantara. Segala macam tumbuhan, limbah asalkan tidak plastik, ikan mati yang sudah busuk, telur busuk, sisa puntung rokok, dan lainnya, ternyata bisa diolah kembali. Dijadikan pupuk organik, dan banyak hal lainnya.
Beberapa di antaranya juga bercerita bagaimana ada seorang petani yang sejak awal, sejak nol bergerilya dan berjuang mengolah pertanian dengan organik, tetapi banyak diremehkan petani lainnya.
Meskipun pada akhirnya, para petani yang mulanya meremehkan itu, mendekat dengan sendirinya. Mencari tahu, apa sih tips supaya bisa menumbuhkan tanaman yang berkualitas dengan menekan efisiensi modal anggaran.
“Kita sedang merancang bagaimana melahirkan generasi-generasi baru. Kita bagi dengan tim-tim muda berkelompok. Kalau ngomong permasalahan diremehkan, atau lainnya, dari dulu sampai saat ini ya selalu sama kayak begitu” jelas Mbah Dil.
Bincang santai penuh ilmu, hikmah, pun tak terasa meskipun cukup lama berjam-jam hingga menunjukkan pukul 01.00 WIB.
Pada hari kedua, Sabtu (5/10/2024), kami bersama rombongan diantar menuju ke Pak Ndut. Di sana, kami banyak belajar bagaimana memanfaatkan lahan kosong untuk diolah dengan nafas dan spirit kebersamaan. Mengolah tanah untuk dijadikan sebagai lahan produktif; ditanam bayam, pepaya, kelor, dan lainnya.
Pembagian fungsi kerjanya pun ditata rapi sedemikian rupa. Ada yang bagian olah tanah dan tanaman, ada pula yang bagian pemasaran. Hasilnya, keuntungan yang didapat disepakati untuk masuk ke dalam kas RT setempat.
Setelah mengelilingi lahan olahan bersama, kami pun duduk melingkar di sebuah gubuk kayu yang berdiri tepat di samping hamparan sawah yang membentang. Tepat disampingnya pula, ada aliran sungai irigasi kecil.
Tandur Apik, Panen Apik, dan Terus Berjalan. Setia berproses dengan spirit rakaat jangka panjang, dengan menyapa sedulur tua; hewan, tumbuhan, mbah-mbah leluhur. Menyapa baik tetumbuhan, menyertakan Allah beserta Kekasihnya Kanjeng Nabi.
Pertemuan ini bagian dari upaya untuk mewujudkan kemandirian pupuk, serta membina generasi muda penerus, sekaligus pranata jasa tani simultan.
Semoga, niat baik untuk menanam hingga kiamat kelak senantiasa diperjalankan dan dipertemukan menemui jalannya sendiri. Seperti bunyi suara Klunthing, dalam Bahasa Jawa untuk menyebut bunyi suara dari barang berbahan kaca atau besi, seperti uang koin.
Kata ini, juga kerap digunakan sebagian masyarakat untuk mengungkapkan makna konotasi yang berarti “gajian”. Namun, tidak di Maiyah. Ini tentu menurut analisa saya sendiri, seluruh hal yang berkaitan dengan Maiyah. Klunthing tidak lain semacam bentuk lain dari “hidayah” yang berupa diperjalankan.
Doa dan wirid Hasbunallah pun memungkasi pertemuan Kenduri Sinau Ilmu Tani sore hari itu.