ALOB-ALOB LARUTLUK INDONESIA-BELANDA

Awal Oktober lalu, tengah malam, Mas Syafiih tiba-tiba mengirim pesan singkat. Bukan pesan seperti biasa, tetapi screenshot chat WA dengan Coach Indra Sjafri. Saya pun membalasnya dengan tidak kalah singkat, Siap! Pesan singkat itu kemudian menjadi cerita panjang lebar soal Indonesia, sepak bola, dan Maiyah. Hulu, tengah, dan hilir cerita itu satu, Cak Nun. Karena melalui wasilah beliaulah kami dipertemukan.

Senang, sudah pasti! Karena pertemuan langka itu membawa kami untuk bisa saling belajar dan tukar pikiran tentang banyak hal. Di tengah jadwal padat Coach Indra Sjafri yang sedang ditugaskan PSSI melakukan blusukan bola 2.0 mencari talenta muda berdarah dan berhati Indonesia, kami ajak beliau sejenak menelusuri bau surga dan rupa neraka dunia Eropa di negeri Belanda. Misi mulia ini tidak main-main, untuk memantaskan Timnas berlaga di Piala Dunia. Logika dan spiritualitas sepakbola ala Coach Indra pernah beliau uji dan buktikan pada blusukan bola 1.0.mencari bibit unggul desa se-Nusantara yang kita semua tahu hasilnya, juara Asia. Kami pun mendapatkan kuliah panjang tentang perjalanan hidup dan karir beliau yang tidak banyak orang mampu menjalaninya.   

Di sisi lain, pertemuan itu juga menyisipkan duka mendalam, sangat dalam. Tragedi Kanjuruhan yang seharusnya tidak terjadi itu menjadi separuh lebih tema obrolan kami menyusuri sudut-sudut kota Amsterdam. Beliau membawa kami larut dalam keprihatinan yang amat serius, tidak hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi ikhtiar membangun sepakbola Indonesia yang lebih bermartabat. Untuk menulis inipun berat sekali rasanya, karena beliau tahu persis anatomi dan kulit-kulitnya. Sulit dipercaya, tetapi begitulah faktanya. Ada amarah yang mungkin belum reda. Ada teka-teki yang sulit terpecahkan. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Semuanya misteri, karena ternyata itulah yang membuat kita terus mencari dan meneliti. Ujian Mawas Diri NKRI, tema obrolan terakhir kami mendiskusikan pesan Cak Nun atas tragedi yang menyedihkan ini. Mau-tidak mau semua pihak memang harus mampu mengambil jarak, merenungi, dan meghikmah-i tanpa terkecuali. 

Entah dari mana mawas diri itu harus dimulai. Mungkin dari Malanglah tempatnya, dan yang pasti dari musibah inilah momentumnya. Coach Indra mengajak kami menundukkan kepala dan terus mendoakan agar semua hal tentang sepakbola tidak lagi diperlakukan secara terbalik, dari semua aspeknya. Saya mungkin kurang paham maksud beliau, karena beliaulah yang mengalami dan melewatinya, mulai dari sebagai seorang pemain bola, pelatih, dan sekarang pengurus asosiasi tertinggi di masyarakat persepakbolaan Indonesia.  

Dari pesan beliau justeru saya menemukan bahwa Kera atau Genaro Ngalam (orang Malang) sudah lama sekali memiliki kata kuncinya. Iya, osob kiwalan (bahasa walikan)! Itu pasti bukan sekedar bahasa plesetan. Itu jelas sindiran, bahkan tamparan keras untuk bangsa Indonesia yang secara antropologis memilki etnotalentologi (meminjam istilah Cak Nun) yang sangat kaya, termasuk seharusnya dalam mengkreativi manajemen dan negoro-mowo-toto-nya sepak bola. Jelas bahwa tragedi Kanjuruhan itu adalah akibat atau setidaknya konsekuensi logis dari kuwalik-nya banyak sekali hal, tidak hanya urusan sepakbolanya. 

Satu-satunya cara mengembalikan ya dibalik lagi. Kembali! Dalam khazanah Maiyah mungkin sering disebut dengan dekonstruksi. Bukankah naluriah kolektif atau deso mowo coro-nya bangsa Indonesia itu bottom-up, nyengkuyung dan ngawulo kata orang Jawa, ng-abdi bagi orang Sunda, meng-kaule (kawula) untuk orang Madura, ng-mbo istilah orang Minang, men-sahaya (saya) bagi orang Melayu di Sumatera, ng-ulon bagi orang Kaltim, dan seterunya. Semuanya murujuk pada kemawasdirian dan pengelanaan ke-dalam-diri-an. Sementara negoro mowo toto-nya, yang seharusnya selaras dengan spirit tersebut malah kuwalik dan seolah berjalan menuju kutub yang lain. Dari pucuk kuasa tertinggi negara hingga pamong praja terendahnya, top-down, mrentah, dan menguasai adalah template algoritma software sekaligus kerja hardware-nya.

Coach Indra dan rombongan kembali ke Indonesia. Kami sementara bertahan di Belanda. Saya kembali membolak-balik buku Bola-Bola Kultural yang ditulis Cak Nun tahun 1993. Ternyata di sana Cak Nun sudah memotret panjang lebar tentang kuwaliknya orang-orang memperlakukan dan memaknai sepakbola. Kalau dibaca ulang, tahun 1993 ternyata berbarengan dengan mulai populernya nama Aremania, yaitu setelah Arema Malang (sebelum berubah nama menjadi Arema FC) tercatat menjuarai kompetisi Galatama musim 1992-1993. Naskah lakon Pak Kanjeng yang ditulis Cak Nun sebagai bentuk protes atas kebijakan rezim Orde Baru di Waduk Kedungombo juga pertama kali dipentaskan di Yogyakarta pada tahun 1993. Embrio pengajian Padhangmbulan Jombang, yang kemudian tumbuh menjadi simpul Maiyah di banyak tempat juga bermula di tahun 1993. Bahkan Coach Indra, yang juga menikah tahun di 1993, saat itu juga menjadi titik balik kembalinya ke dunia sepakbola setelah sekian tahun bekerja kantoran. Cak Nun dan Coach Indra dipertemukan di kemudian hari oleh segitiga cinta Sepakbola, Indonesia, dan Maiyah. 

Amsterdam, 24 Oktober 2022

Lihat juga

Back to top button