KESENIAN EBEG BANYUMAS SEBAGAI AJARAN HIDUP

Orang Jawa memiliki kecenderungan sangat kuat dalam menyelaraskan atau mengharmonikan diri dengan alam. Maka kemudian lahirlah ilmu titen. Yakni kemampuan membaca gejala dan perilaku alam. Kehidupan sosial orang Jawa akan diselenggarakan berdasarkan nilai-nilai yang diperoleh dari hasil membaca watak alam. Dalam pandangan leluhur Jawa, alam bukanlah benda mati. Alam dipahami sebagai obyek yang hidup. Bahkan lebih dari itu, leluhur Jawa menempatkan alam sebagai saudara tua. Mereka kemudian mengenal istilah Ibu Bumi dan Bapak angkasa.

Karena alam dipahami sebagai sesuatu yang hidup, maka hubungan manusia dan alam menjadi sebuah interaksi yang dinamis dan hidup. Ada dialog batin di antara keduanya. Salah satu metode orang Jawa dalam berinteraksi dengan alam adalah dengan melihat sisihan-sisihan lain dari unsur alam itu sendiri. Sampai kemudian melahirkan terminologi dayang, indang, mbahu rekso, dan lain sebagainya. Istilah-istilah itu merupakan konsep yang dibangun orang Jawa dalam berdialog dengan alam.

Orang Jawa sangat patuh kepada nilai-nilai yang berorientasi pada harmoni kesemestaan. Tindak-tanduk manusia Jawa sangat dikoridori oleh sistem nilai semacam itu. Berangkat dari dasar nilai-nilai itu, leluhur Jawa membangun peradaban. Maka kemudian budaya Jawa menjadi lekat dengan fenomena yang oleh orang modern disebut sebagai mistis. Sebenarnya, stigma mistis dan klenik bagi budaya leluhur timbul karena perbedaan sudut pandang, di mana ilmu-ilmu modern memandang alam hanya sebagai obyek atau benda mati.

Budaya Jawa yang sarat nilai itu membuat hampir dalam semua segi kehidupan, leluhur kita akan menitipkan pesan moral. Dalam penamaan makanan saja, mereka selalu melekatkan anjuran-anjuran filosofis. Misal nama makanan Takir, merupakan akronim dari nata-pikir, Wedang = weweh kadang, cangkir = nancang pikir, dan lain sebagainya.

Termasuk dalam hal kesenian. Hampir semua jenis kesenian Jawa selalu menyiratkan nilai adiluhung. Di Jawa ada jenis kesenian yang identik dengan fenomena mistik. Sebuah kesenian yang ketika memperagakan adegan tertentu melibatkan sisihan-sisihan eksistensi di luar yang kasat mata. Kesenian Ebeg ini adalah salah satu bentuk kesenian tari yang berasal dari daerah Banyumas. Tarian Ebeg ini menggambarkan prajurit perang yang sedang menaiki kuda. Gerakan tariannya merupakan gambaran kegagahan yang diperagakan oleh setiap pemain Ebeg. Kesenian Ebeg dipercaya sebagai kesenian asli, karena Kesenian Ebeg ini belum terkena pengaruh dari budaya lain, bahkan dari agama Hindu dan Buddha.

Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam kesenian Ebeg ini banyak berkisah tentang kehidupan keseharian masyarakat tradisional, wejangan, dan bercerita tentang Ebeg itu sendiri. Dan lagi, Kesenian Ebeg ini hampir kesemuanya menggunakan logat Bahasa Jawa Ngapak Banyumasan. Beberapa contoh lagu-lagu dalam Ebeg yang sering dinyanyikan adalah Sekar Gadung, Eling-Eling, Ricik-Ricik Banyumasan, Tole-Tole, Waru Doyong, Ana Maning Modele Wong Purbalingga, dan lain-lain.

Kesenian Ebeg bisa dikatakan sebagai jenis teater khas orang Banyumas. Dalam sebuah adegan wuru atau in trance, para pemain akan memakan apa saja yang tidak lazim dimakan manusia. Pesan utama yang terkandung di adegan tersebut adalah ketidaksadaran akan membuat manusia kehilangan kemampuan untuk mengontrol diri dalam mengambil keputusan sehingga tak bisa membedakan antara yang baik dan buruk, benar dan salah, elok dan jorok. Maka sesi wuru selalu diiringi dengan lagu yang berjudul Eling-eling. Eling adalah bahasa Jawa yang berarti ingat. Sebuah pesan moral agar manusia selalu eling, ingat, dan sadar diri. Dalam Islam juga dikenal kata Dzikir, yang bermakna ingat atau eling.

Jika adegan wuru atau in trance diyakini sebagai hasil kerjasama dengan makhluk lain, atau yang kerap disebut sebagai indang, itu karena leluhur Jawa memiliki intensitas interaksi dengan sisihan-sisihan alam. Alam bisa dirangsang untuk merespons aktivitas manusia. Kekuatan sisihan alam itu dilibatkan agar dalam keadaan wuru atau in trance, pemain Ebeg bisa dengan total memperagakan perilaku menyimpang dari kelaziman. Dari adegan tersebut inti pesan bisa tersampaikan kepada khalayak.

Kalau mau jujur, wuru atau ora eling (tidak sadar) bisa dimaknai secara lebih esensial. Ketidaksadaran manusia bisa dilihat dari indikator rendahnya empati, mementingkan diri sendiri, rakus dan tamak. Jika wuru dalam kesenian Ebeg hanya memakan beling, lugut dan pelepah pisang, wuru esensial dalam kenyataan sosial bisa lebih sadis dan biadab, karena yang dimakan bisa aspal, beton, solar, dan lain sebagainya. Semoga kesenian Ebeg bisa menjadi peng-eling-eling dari wuru massal yang sedang berlangsung dalam kehidupan nyata.

 

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button