FANTADZIRIS SA’AH
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya Edisi Oktober 2025)

Pernahkah Engkau duduk sebentar, lalu bertanya pada dirimu sendiri: apa sebenarnya keahlianmu? Fadhilah apa yang Allah titipkan kepadamu?
Pertanyaan itu semakin terasa penting ketika kita sadar, sering kali kita tidak mampu menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Bukankah Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan lewat sabda beliau yang agung:
“Idza wusid al-amru ila ghairi ahlihi fantadziris-sa’ah.”
Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.
Fantadziris-sa’ah. Kata itu seperti dentang kentongan di tengah malam. Alarm tanda bahaya. Isyarat kehancuran. Kita tidak tahu bentuknya, tapi cukup untuk membuat dada bergetar dan akal sadar.
Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Kuncinya ada pada memahami akar masalahnya: ketika urusan jatuh ke tangan yang bukan ahlinya. Dari sinilah pelajaran bermula. Bahwa ikhtiar terpenting kita sebagai manusia adalah mengenali keahlian diri, dan lebih jauh lagi, memahami maksud Tuhan menciptakan kita—untuk apa kita hadir di dunia, serta peran sosial apa yang kita emban.
Perjalanan menemukan maksud Tuhan, tentu panjang dan tidak sederhana. Kita hanya bisa menempuhnya dengan muhasabah, belajar, dan berbagai jalan ikhtiar. Mbah Nun pernah menegaskan bahwa salah satu fungsi sekolah dan menuntut ilmu adalah untuk menemukan maksud Tuhan atas hidup kita. Beliau berpesan: “Carilah apa yang kamu suka, lalu tekuni sampai jadi ahli.”
Menjadi ahli sejatinya adalah perjalanan mesra bersama Tuhan. Di sana ada jatuh-bangun, pencarian, dan perjuangan mengenali diri. Hingga akhirnya, kita memahami bahwa Allah punya maksud khusus bagi kita. Landasannya jelas: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.” Siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya—dalam arti, ia mengerti apa yang dimaksudkan Allah atas dirinya.
Namun apa jadinya bila seseorang mengambil peran yang bukan bidangnya, hanya demi kepentingan duniawi? Bukankah akibatnya berbahaya? Jika kesalahan itu terjadi dalam lingkup bangsa—misalnya jabatan publik dipegang karena balas budi, bukan berlandas kompetensi—maka kehancuran pasti terjadi.
Max Weber pun menegur—Kepemimpinan yang bertumpu pada karisma memang memikat, tapi rapuh. Cepat atau lambat, karisma harus ditopang kompetensi nyata dan dilembagakan dalam sistem rasional—yang ia sebut routinization of charisma. Tanpa itu, kekuasaan mudah jatuh ke dalam kekacauan.
Karena itu, tanggung jawab kita bukan hanya mengenali diri, tetapi juga menjaga agar urusan publik berada di tangan yang benar. Baik dalam agama, masyarakat, maupun negara, kita mesti cermat dalam memilih pemimpin, imam, wakil rakyat, atau pejabat. Jangan sekadar terpikat karisma; pastikan ada kompetensi. Hanya dengan begitu kita bisa terhindar dari ancaman fantadziris-sa’ah.
Pada akhirnya, Mbah Nun pernah mengingatkan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Maka berikhtiarlah, berjuanglah, dan bekerja keraslah. Setelah itu, fantadziris-sa’ah—tunggulah waktunya. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok pagi, dua tahun, lima tahun, atau bahkan sepuluh tahun mendatang. Maka, menjadi ahli adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh juang. Yang dinilai Allah adalah ikhtiar dan kesungguhan kita. Adapun hasil akhirnya, biarlah menjadi ketetapan-Nya. Yang pasti, Allah akan membalas setiap usaha dengan balasan yang setimpal.
BangbangWetan – edisi Oktober 2025
Rabu, 08 Oktober 2025 / Rabiʻ II 16, 1447 H
📍 Pos Bloc Surabaya, Jl. Kebon Rojo, Krembangan
Mari kita rawat pikiran bersama. Mari kita temani satu sama lain, supaya setiap urusan jatuh ke tangan yang pantas. Agar insyaAllah kita tidak termasuk golongan yang harus menunggu dengan penuh kecemasan: fantadziris-sa’ah.
(Redaksi Bangbang Wetan)






