ANTARA GRESIK, KEPANJEN DAN BOJONEGORO

(Lanjutan cerita Mengejar Suara Adzan di Majid Jami’ Seoul) 

Lantunan suara iqomah yang keluar dari loudspeaker mini di halaman Seoul Central Mosque ini terasa karib di telinga. Naik-turun nadanya, panjang pendeknya, mirip dengan yang biasa terdengar di Jawa. Tak seperti iqomah yang 6 tahun lalu saya simak di Masjid Niujie Beijing. Jangankan iqomah, di masjid tertua di Beijing itu adzan saja pendek-pendek, dan dikumandangkan tanpa pengeras suara oleh muadzin yang berdiri di halaman masjid. Tapi antara keduanya ya sama saja, bagi pendatang macam saya, mendengar adzan di negeri yang mayoritas warganya tak bertuhan, tetaplah momentum istimewa.

Kami harus menapaki tangga yang cukup tinggi sebelum sampai di teras masjid. Lalu saya celingkukan mencari tempat wudhu, tak ketemu. Sempat melongokkan kepala ke ruang utama masjid, tercium aroma bukhur menguarkan wangi gaharu. Cukup kuat, tapi menentramkan. Dan tanpa sengaja pandangan tertuju pada peci merah putih yang dikenakan salah satu makmum yang berdiri tepat di belakang imam. Segera saya ambil HP, cekrek

Rupanya tempat wudlu ada di sudut halaman masjid. Harus turun tangga lagi. Sembari jalan, saya amati berulang kali foto hasil jepretan barusan. “Iki peci maiyah apa pecine wong Turki ya?”, saya membatin penasaran.

Saya sudah kembali lebih dulu di ruang utama masjid ketika Mas Argo dan Kak Wawan masih mengambil wudlu. Sambil menunggu mereka, saya duduk di tepi, seraya mengamati barisan jamaah yang sudah tahiyat akhir. 

Satu per satu jamaah berdiri dan meninggalkan tempat, sekian menit setelah imam mengucap salam. Kian jelas terlihat makmum yang satu itu. Fix, peci maiyah. Maka pandangan mata saya arahkan terus padanya. Jangan sampai lepas. Ia bangkit berdiri, membalikkan badan dan lalu berjalan. Nampaknya tak sampai tiga detik waktu baginya untuk segera menyadari bahwa di masjid ini ada dua orang yang berpeci persis sama ; ia dan saya.

Ia percepat langkah, saya sambut dengan bangkit berdiri dan mengulurkan tangan. Ia jabat erat tangan saya, teriring salam dan pelukan. Lagi-lagi, serasa kanca lawas, padahal belum kenalan. Dialah Mas Azis, arek Kepanjen Malang yang setahun terakhir berkhidmah di Masjid Jami’ Seoul. 

“Jangan-jangan sing iqomah maeng Sampeyan, Mas Azis?”

Njih, leres, Mas,” jawabnya.

Gusti Allah… tibakne sing ta’uber dina iki ndhuk Itaewon adalah suara adzan’e Aremaiyah!”, ungkap saya seolah tak percaya dihadiahi pengalaman indah ini.

Mas Argo dan Kak Wawan tiba, dan lekas menghambur ke kami. Perbincangan singkat nan hangat pun terjadi. Arek Jatim sedang reuni.

Obrolan berlanjut setelah kami menunaikan sholat. Mas Argo berjanji suatu saat akan kembali ke masjid ini dengan mengajak serta dulur-dulur Tong Il Qoryah yang mayoritas berdomisili di kota Daegu. Tapi sayang, kultur keseharian yang berlangsung di masjid ini rasanya belum memungkinkan untuk digelarnya tawashshulan. Setidaknya, kamar mess Mas Azis bisa dipakai untuk sekedar ngudud dan sholawatan bareng, pelan-pelan.

Sebenarnya kami masih ingin berlama-lama berbincang dengan Mas Azis, namun kami harus mengerti ia perlu segera melanjutkan pekerjaannya sebagai pengurus takmir. Maka kami pun berpamitan, dan lalu melangkahkan kaki cari warung makan.

Setelah sempat njajan gorengan di sebuah kedai “Manis Kitchen” – yes, memang namanya demikian, Indonesia banget – kami lanjut mencari warung yang menyediakan menu makanan Indonesia. Rawon, soto, tempe penye, pecel, nasi padang, dan semacamnya, menjadi sesuatu yang sedang sangat kami kangeni. Langkah kami terhenti ketika saya melihat papan bertuliskan larangan merokok dalam empat bahasa ; Korea, Inggris, Indonesia, dan Jawa. Fix, ini dia tujuan kita. Maka di warung inilah kami berlabuh. Seluruh kru yang terlibat, baik di dapur, kasir maupun pelayan, kabeh wong Jawa.

Puas menikmati makan siang, rombongan kami berpisah ; cewek-cewek jalan sendiri, dan kami cowok bertiga menikmati suasana Itaewon dan lanjut blusukan kembali ke pusat kota Seoul. Hingga jelang maghrib kami tiba di hotel. 

Saya dan Mas Argo transit di taman. Pesan kopi dan ngudud. Ia berbagi kenangan saat membersamai Mbah Nun ketika rawuh di Korea. Komunitas umat muslim Indonesia di Korea kerap mengundang muballigh dari Indonesia. Masing-masing da’i memberi kesan pengalaman tersendiri. Bukan rahasia lagi kan, ada yang memang memasang standar tertentu; selain bisyaroh – untuk tidak mengatakan tarif –, ada juga yang sampai menentukan level tiket pesawat, kelas kamar hotel, dan aneka ke-rewel-an lainnya. 

Manurut Mas Argo, teman-teman di sini mengakui, lain cerita ketika Mbah Nun yang disuwun rawuh. Semua proses berangkat dilandasi dengan ketulusan cinta dan tepa slira. Sampai pada titik justru teman-teman panitia yang merasa ewuh pakewuh pada pilihan sikap Mbah Nun yang tidak ingin diistimewakan. Salah satu kenangan ia tuturkan, “tokoh sebesar dan sekaliber Mbah Nun, memilih balik kanan dari pintu restoran dan duduk di tangga hotel, menikmati segelas teh hangat dan ngudud.”

Waktu maghrib tiba, kami masuk kamar. Sholat maghrib berjamaah. Usai salam, Mas Argo setuju tatkala saya tawari untuk tawashshulan singkat seraya mendoakan Simbah. Dari kamar lantai 11 hotel Ramada di kawasan Sindorim Seoul, setelah wasilah faatihah, wirid Padhangmbulan dilantunkan. Ya, hanya oleh kami berdua, saya dan dia. Entah perasaan macam apa yang sedang hinggap. Saya tak bisa mengidentifikasi. Dan rasa-rasanya memang tidak perlu, cukup diterima dan dialami saja. Kami larut. Kami hanyut. Yang tampak agak jelas ialah aliran rasa syukur ; Tuhan memperkenankan kami mengenal dan belajar pada Simbah, tentang bagaimana menjadi manusia. Agak lebih terang adalah derasnya rasa rindu ; pada beliau Simbah yang kami anggap sebagai Guru.

Tiba di Ma Lana Mawlan Siwallah, lantunan suara kami mulai tersendat. Allahu Allahu bergetar, mata pun basah. Alfas Salam kami pecah, tak kuasa menahan. Kami berdua menangis tersedu.

……

….

Saya antar Mas Argo turun. Saya haturkan padanya teks Tawashshulan yang sampul belakangnya ada logo Damar Kedhaton. Saya melepas kepergiannya dengan bisikan pesan dan doa, “wahai pejalan visa-bilillah, selamat melanjutkan perjuangan, semoga tahun depan di Bojonegoro aku menjumpaimu saat Sakinahan”

 

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button