SANDYAKALA DECA

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Sulthon Penanggungan Pasuruan Edisi Agustus 2023) 

Beberapa hari ini banyak terdengar suara riuh nan serentak seperti instruksi komandan kepada pasukan. Juga bunyi “prak-prak” seperti hentakan kaki sekumpulan barisan sedang berjalan. Baru sadar ternyata ada upacara peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78. Sudah renta jika dikomparasi umur manusia, namun negeri yang dirajut beratus-ratus tahun silam oleh nenek moyang para Brahma telah banyak kehilangan nilai dan martabat sebagai bangsa sehingga yang tampak hari ini seperti di dominasi kaum Sudra.

Sejarah Garuda yang berwibawa tidak pernah digali dan dikaji dengan serius oleh para panglima negeri. Burung Garuda hanya bayang-bayang yang tidak pernah dicari dan didaur ulang jejaknya sampai hari ini sehingga melahirkan generasi buta yang hanya bisa menjadi Burung Jalak Sawah.

Dunia telah berubah dan berlangsung sangat cepat terdorong metabolisme digitalisasi. Maka bangsa yang tidak mampu beradaptasi, akan terus melahirkan generasi kerdil yang tidak akan pernah mampu menentukan jalan keputusan tujuan yang adil.

Zaman sedang berada pada persimpangan perubahan. Melalui tangan dan kaki anak muda yang hidup di dalam algoritma berbagai platform digital, menjadi keniscayaan yang akan mengantarkan mereka pada sebuah degradasi pemikiran tentang definisi bahagia. Sesuatu yang bersifat materiil menjadi pondasi menentukan tujuannya hingga buta arah pada hakikat hidup manusia menuju Tuhan. Terlalu banyak mengejar pagi dan melupakan senja.

Mari kita ambil alih pada momentum persimpangan peradaban yang penuh dengan tikungan talbis. Waktu yang tepat seperti “Sandyakala” yaitu gurat merah senja yang menjadi alarm kewaspadaan untuk segera memulai merenungi diri sebagai manusia yang bermuasal dari tanah “Deca”, tempat kita terlahir sebagai Bangsa Garuda di Tanah Air Nusantara.

Lihat juga

(Redaksi Sulthon Penanggungan) 

Lihat juga

Back to top button