WORKSHOP SABLON CUKIL KAYU DAN MUSIKALISASI PUISI MBAH NUN
(Rangkaian “Pameran Arsip 70 Tahun Mbah Nun”, Maiyah Cirrebes, 27-30 Mei 2023, B Coffee (MADIA House) Pabuaran Cirebon Jawa Barat)
Pada Minggu siang (28 Mei 2023) cuaca di sekitar lokasi Pameran Arsip 70 Tahun Mbah Nun terasa sangat terik. Awan mendung menggantung menggelayut tetapi tidak hujan. Tepat pukul 12.00 WIB kami sudah kedatangan kawan–kawan dari Ketanggungan Brebes berjumlah 3 orang. Mereka sengaja berterik matahari menuju lokasi walau mengetahui pameran mulai dibuka pukul 13.00 WIB.
Alasannya, mereka ingin sambang sedulur silaturahmi, bisa mengobrol lebih banyak lagi dengan para penggiat agar tidak menganggu acara jika mereka datang mengobrol saat acara berlangsung. Tapi ya sebenarnya para penggiat sih bebas kapan saja ada waktu untuk berbincang santai dan yang terpenting adalah mengobati “rindu” kepada Mbah Nun.
Hari ini adalah hari ke 2 pameran berlangsung, pukul 13.30 WIB diagendakan workshop sablon cukil kayu yang akan diisi kawan kami bernama Kang Ruyung dari Taring Awi. Sebelumnya pada bulan februari ketika Mbah Nun sambang ke anak cucunya di Maiyah Cirrebes, Kang Ruyung mengisi acara dengan grup tarawangsanya.
Pada pukul 13.00 WIB Kang Ruyung belum tiba di lokasi sampai satu jam berikutnya belum mendapatkan kabar, sementara para peserta workshop sudah mulai berdatangan satu persatu. Saat kami coba berkomunikasi ternyata Kang Ruyung megalami masalah di perjalanan.
Vespa bergaya tank bajanya “ngambek” tidak mau nyala mesinnya. Untungnya Kang Ruyung berjalan bersama kawan-kawan Kandang Maca{n). Sebuah grup musik terdiri dari 4 personel spesialis musikalisasi puisi yang juga akan mengisi rangkaian acara pameran pada sore hari. Alat dan perlengkapan workshop yang Kang Ruyung bawa disimpan rapi dalam sespan Vespa tank “bajanya”. Tidak berselang lama Vespa dan Kang Ruyung tiba di lokasi, ternyata kawan-kawan Kandang Maca(n) mendorongnya menggunakan kaki, istilah disini di-‘step’.
Alhamdulillah, waktu masih cukup dan suasana masih kondusif walau harus terlambat 1 jam setengah. Kawan-kawan yang datang sangat antusias menunggu dan mengikuti proses workshop. Kang Ruyung dengan cekatan membagikan media cetak berupa kayu berukuran A4, pisau cukil, dan pensil untuk menggambar pola pada kayu sebagai media.
Kang Ruyung menjelaskan teknis, trik, dan tips untuk memulai mencukil. Sudah berjalan 30 menit, peserta sudah langsung mempraktikannya di media masing-masing. Aneka ide dan konsep tertuang dalam gambar yang mereka lukis dengan pensil sebelumnya. Setelah itu baru kemudian dimulai dengan mencukil menggunakan pisau khusus untuk mengikuti pola yang sudah dibuat.
Perlu kesabaran, keuletan, ketelitian dan kehati-hatian dalam menggoreskan pisau yang tajam ke dalam permukaan kayu berjenis MDF. Kayu ini seperti kayu ‘press’ tetapi memiliki permukaan yang lunak sehingga sangat banyak digunakan untuk media teknik sablon cukil.
Di sela tangan-tangan yang sudah merasakan pegal karena harus mencukil setiap bagian yang sudah dipolakan, para peserta beristirahat untuk melemaskan jemarinya dengan mengunjungi setiap jengkal sudut ruang pamer. Mereka sangat kagum dengan konsistensi Mbah Nun di usia 70 tahun masih sangat produktif berkarya.
Mereka sangat bersemangat kembali untuk menyelesaikan karya di bidang kayu tersebut yang nantinya setelah tercukil semua baru bisa ditaburi tinta berjenis khusus, seperti tinta untuk mesin cetak offset. Selanjutnya media yang akan kita cetak ditumpuk dengan media kayu cukil ditekan-tekan dengan cara diinjak. Perlu perjuangan ekstra memang dalam proses ini. Injakan-injakan menuntukan berhasilan dari proses pentransferan cat ke objek media yang kita inginkan.
Setelah pukul 16.00 WIB, kawan – kawan grup musikalisasi puisi bernama Kandang Maca(n) menambah daya bakar semangat peserta workshop dan yang hadir mengunjungi pameran dengan lagu-lagu andalan mereka dari album mereka sendiri yang dirilis beberapa waktu lalu.
Kandang Maca(n) juga menampilkan musikalisasi dari karya puisi Mbah Nun, di antaranya sebuah puisi tahun 1987 yang didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba. Puisi terebut berjudul “Satu”.
Penonton yang hadir sangat kagum ketika vokalis dengan lantang meneriakan “Tuhan sudah sangat populer” berkali-kali, seolah menampar siapa yang mendengar. Mengajak kita semua merenung tentang arti dan olah pikir di tengah budaya komersialisme, materialisme, dan popularitas saat ini.
Mereka bermain musik hampir 1 jam lebih, dan di sisi lainnya workshop yang tadinya terjadwalkan selesai pukul 17.30 WIB harus dilanjutkan setelah waktu Isya. Masih banyak hasil karya peserta yang baru separuh jadi. Setelah adzan Isya dengan masih bersemangat menyelesaikan karya mereka yang kemudian dituangkan dalam media kertas karton untuk dijadikan poster.
Pukul 23.00 WIB mereka masih bertahan, sangat terlihat antusias dari wajah-wajah yang terpancar. Padahal beberapa dari mereka ada yang harus bekerja dan bersekolah di Senin pagi. Bukan hanya peserta saja, tapi para penggiat pun merasa berpuluh kali lipat tenaganya karena masih ada 2 hari ke depan untuk penyelenggaraan pameran.
Saat kami mulai loyo, semakin terpikir dan teringat tentang apa yang sedang kami pamerkan. Hal apa saja yang sudah Mbah Nun lakukan sehingga mempunyai karya yang sangat banyak, padahal satu hari yang lalu beliau berusia 70 tahun.
Karya tersebut mampu mencungkil ruang-ruang kemalasan dan kebodohan dalam diri, menjadi tamparan keras bagi siapapun saja untuk “bangun” dari tidur lelapnya.
(Redaksi Maiyah Cirrebes)